Dalam suasana bulan puasa Ramadhan, sebagian warga Kecamatan Pasar Kliwon berpartisipasi dalam Forum Silaturahmi dan Belajar Bersama yang diselenggarakan oleh Lembaga Percik Salatiga bekerjasama dengan Pemerintah Kecamatan Pasar Kliwon, Kota Surakarta, tanggal 21 Mei 2019 yang lalu. Forum ini membahas tentang praktik pengelolaan kemajemukan di Aras Lokal, khususnya di tiga kelurahan di kecamatan Pasar Kliwon, yakni Kelurahan-kelurahan Sangkrah, Semanggi, dan Joyosuran.
Sekitar 30 orang yang terdiri tokoh-tokoh masyarakat, agama, perempuan, pemuda, perwakilan LPMK, lembaga swadaya masyarakat, dan pemerintah kelurahan bertemu di Hotel Grand Amira, Kecamatan Pasar Kliwon.
Camat Pasar Kliwon membuka forum ini dengan menegaskan bahwa forum-forum yang menghadirkan lintas aktor seperti ini penting untuk menggali potensi-potensi yang ada di Kecamatan Pasar Kliwon. Menurutnya, Kota Surakarta yang telah mendapatkan predikat kota nyaman ini tentu berkat upaya bersama seluruh aktor yang ada, sehingga upaya bersama ini perlu terus dilakukan.
Untuk memancing diskusi dalam proses belajar bersama, dua orang pemancing gagasan atau narasumber diundang, yakni KH. Shofwan Faisal Sifyan dari Forum Komunikasi Lintas Kultural (FKLK) Solo Raya dan Pdt. Ratna Prajati dari Gereja Dagen Palur Karanganyar.
Pdt. Ratna Prajati berpendapat bahwa “Dalam masyarakat Jawa, kita semua perlu belajar tentang unggah-ungguh dan tepa selira. Selain itu kita harus belajar saling menerima dan saling berbagi untuk kebersamaan,”. Untuk itu apabila masyarakat Pasar Kliwon hendak mengadakan kegiatan, kegiatan itu hendaknya yang bisa diperuntukkan bagi semua orang tanpa membedakan latar belakangnya. Lebih khusus untuk lingkungan gereja dan umat Kristen, dia mendorong agar gereja lebih peduli pada upaya-upaya penegakan Hak Asasi Manusia dan proses demokratisasi.
Sementara itu dalam paparannya, KH. Shofwan Faisal memberikan gambaran Kecamatan Pasar Kliwon yang cukup beragam, misalnya saja adanya berbagai etnis seperti Arab, Tionghoa, Jawa, dan Madura. Selain keberagaman etnis, keberagaman agama dan aliran keagamaan; dan perbedaan taraf ekonomi masyarakat juga cukup mewarnai Pasar Kliwon. Hal itu di satu sisi memperkaya budaya lokal di Pasar Kliwon, di sisi lain kadangkala juga menimbulkan peristiwa-peristiwa yang mengarah ke kekerasan. Karena itulah menurut KH. Shofwan Faisal diperlukan adanya satu ‘musuh’ atau isu bersama seperti kemiskinan dan keterbelakangan untuk bersama-sama diselesaikan untuk mempererat relasi masyarakat di Kelurahan-kelurahan Sangkrah, Joyosuran, dan Semanggi.
Tanggapan dari para peserta dalam sesi diskusi cukup hangat. Sularso, Lurah Semanggi misalnya berpendapat bahwa gambaran yang diberikan oleh narasumber tentang Pasar Kliwon ada benarnya. Meski demikian, menurutnya tidak seluruh gambaran mengenai Pasar Kliwon diwarnai peristiwa-peristiwa yang kelam saja. Banyak contoh praktek baik yang ada di Pasar Kliwon dalam hal mengelola kemajemukan. Di Semanggi misalnya, upaya penyelesaian sengketa tanah pemerintah yang ditinggali oleh masyarakat atau sering disebut HP-16 berjalan dengan baik. Menurut Sularso “yang penting adalah pemerintah pro aktif jika ada permasalahan dan tidak segan-segan untuk membangun komunikasi dengan masyarakat.”
Di ujung acara forum ini disepakati bahwa akan ada pertemuan kembali sebagai tindak lanjutnya. Kemudian ketika tanda buka puasa telah terdengar, forum silaturahmi dan belajar bersama ini pun ditutup dengan buka bersama. (AMB)