Siapakah Sesamaku Manusia? Refleksi Social Immersion

SIAPAKAH SESAMAKU MANUSIA?

REFLEKSI SOCIAL IMMERSION: MENGAITKAN PENGALAMAN SOCIAL IMMERSION DI LEMBAGA PERCIK TERHADAP KISAH ORANG SAMARIA YANG MURAH HATI (LUKAS 10:25-37)

oleh: Bintang Holy Junior

Pembuka
Percik adalah akronim dari “Persemaian Cinta Kemanusiaan”. Dari akronimnya sendiri kita sama-sama tahu, Percik mengusahakan perdamaian dalam setiap aktivitas lembaganya. Lembaga yang terbentuk pada 1 Februari 1996 itu, bergerak dari banyak segmen masyarakat. Mengusahakan kedamaian sosial masyarakat, berperan penting dalam beragam usaha advokasi, dan berbagai aksi lainnya yang memperjuangkan kedamaian.

                Latar belakang atau tujuan utamanya, mengerucutkan bentuk cinta kemanusiaan, salah satunya dengan memberikan nilai-nilai toleransi antar manusia yang berbeda latar belakang. Mari kita sama-sama sadari, bahwa Indonesia memiliki kekayaan yang beragam. Terbentang luas dari Sabang sampai Merauke. Telisik sedikit tentang budaya Indonesia, contohnya, tinggal suku Batak di beberapa bagian di Sumatera. Banyak tradisi dan kebiasaan yang unik seperti kain ulos, tari tor-tor, bika ambon dan lain sebagainya. Pulau jawa yang didominasi oleh masyarakat jawa, tidak sedikit masyarakatnya menghidupi budaya kejawen.

Indonesia sungguh kaya! Tidak terlepas dengan keberagaman agamanya. Kenyataan ini menjadi bagian dari kekayaan Indonesia juga. Islam, Kristen, Katholik, Hindu, Budha, Kong Hu Cu membawakan ajaran baik untuk para pengikutnya. Selain agama resmi, ada juga penghayat kepercayaan yang tersebar, seperti Sapta Darma, Sunda Wiwitan, Agama Malim, dan masih banyak lagi.

Keragaman di Indonesia membuktikan kepada kita semua, bahwa warga Indonesia adalah warga yang berkeyakinan teguh pada agamanya. Nilai-nilai hidup dari masing-masing agama membentuk karakteristik masyarakat Indonesia. Karena agama-agama yang berbeda, sudah barang tentu nilai kehidupan yang baik itu, memiliki latar belakang yang berbeda juga sesuai dengan agamanya.

Tidak sedikit kenyataan di Indonesia, nilai baik yang diajarkan masing-masing agama punya interpretasi yang berbeda juga. Dalam kehidupan sehari-hari, tidak jarang kita saling bertemu dengan masyarakat yang berbeda agama. Hal paling dekat ada pada keluarga kita. Sering kali, perjumpaan dengan keluarga yang berbeda agama menyiratkan rasa sinis hanya karena berbeda agama. Hal lain, tetangga yang berbeda agama. Tidak jarang juga, ditemui kesinisan satu dengan yang lain hanya karena berbeda agama. Perselisihan, perang dingin terkadang terjadi hanya karena perbedaan. Padahal untuk melakukan yang baik, rata-rata diajaran agama tidak perlu memandang bulu. Kebaikan tidak hanya diberikan untuk kalangan agama sendiri, bahkan agama mengajarkan kebaikan juga untuk orang lain yang berbeda.

                Sebagai orang Kristen, ada satu kisah menarik dari Injil Lukas. Injil Lukas menulis satu-satunya perumpamaan yang tidak ditulis oleh ketiga Injil lainnya. Perumpamaan itu diberi judul oleh LAI : “Orang Samaria yang murah hati”. Jika mengenal perumpamaan ini, banyak orang Kristen yang klik dengan cerita ini. Yesus ditanya oleh ahli Taurat kala itu, menanyakan bagaimana memperoleh hidup kekal. Kemudian, Yesus menjawab dengan pertanyaan kepada ahli Taurat itu, mengenai apa yang ahli Taurat itu baca dalam hukum Taurat. Berujung pada pertanyaan ahli Taurat kepada Yesus, siapakah sesamanya manusia? Kemudian perumpamaan tentang Orang Samaria yang baik hati itu diceritakan.

Isi

Lukas 10:25-37 

25Pada suatu kali berdirilah seorang ahli Taurat untuk mencobai Yesus, katanya: “Guru, apa yang harus kuperbuat untuk memperoleh hidup yang kekal?” 26Jawab Yesus kepadanya: “Apa yang tertulis dalam hukum Taurat? Apa yang kaubaca di sana?” 27Jawab orang itu: “Kasihilah Tuhan, Allahmu, dengan segenap hatimu dan dengan segenap jiwamu dan dengan segenap kekuatanmu dan dengan segenap akal budimu, dan kasihilah sesamamu manusia seperti dirimu sendiri.” 28Kata Yesus kepadanya: “Jawabmu itu benar; perbuatlah demikian, maka engkau akan hidup.” 29Tetapi untuk membenarkan dirinya orang itu berkata kepada Yesus: “Dan siapakah sesamaku manusia?” 30Jawab Yesus: “Adalah seorang yang turun dari Yerusalem ke Yerikho; ia jatuh ke tangan penyamun-penyamun yang bukan saja merampoknya habis-habisan, tetapi yang juga memukulnya dan yang sesudah itu pergi meninggalkannya setengah mati. 31Kebetulan ada seorang imam turun melalui jalan itu; ia melihat orang itu, tetapi ia melewatinya dari seberang jalan. 32Demikian juga seorang Lewi datang ke tempat itu; ketika ia melihat orang itu, ia melewatinya dari seberang jalan. 33Lalu datang seorang Samaria, yang sedang dalam perjalanan, ke tempat itu; dan ketika ia melihat orang itu, tergeraklah hatinya oleh belas kasihan. 34Ia pergi kepadanya lalu membalut luka-lukanya, sesudah ia menyiraminya dengan minyak dan anggur. Kemudian ia menaikkan orang itu ke atas keledai tunggangannya sendiri lalu membawanya ke tempat penginapan dan merawatnya. 35Keesokan harinya ia menyerahkan dua dinar kepada pemilik penginapan itu, katanya: Rawatlah dia dan jika kaubelanjakan lebih dari ini, aku akan menggantinya, waktu aku kembali. 36Siapakah di antara ketiga orang ini, menurut pendapatmu, adalah sesama manusia dari orang yang jatuh ke tangan penyamun itu?” 37Jawab orang itu: “Orang yang telah menunjukkan belas kasihan kepadanya.” Kata Yesus kepadanya: “Pergilah, dan perbuatlah demikian!”

KISAH ORANG SAMARIA YANG MURAH HATI

                Kisah ini hanya akan sebatas kisah, jika kita tidak mengenali latar sosial didalam teksnya. Perlu kita ketahui, lokus sosial atau strata sosial yang terjadi pada kala itu memiliki tiga tingkatan. Tingkatan itu membentuk segitiga yang mengerucut ke atas. Tentu saja, bagian paling atas adalah yang paling puncak, paling tengah, dan kemudian paling bawah.

                Tingkatan pertama adalah para orang-orang Farisi, dan ahli-ahli Taurat. Jika kita melihat kenyataannya, mereka adalah kaum yang sangat terpelajar. Mereka selain mempelajari kitab Taurat, kitab nabi-nabi, mereka juga bagian dari pemerintah kala itu. Pemerintah setempat mengizinkan mereka untuk menjadi pemimpin umat, sekaligus penasihat pemerintahan pada kala itu. Itu artinya dalam tingkatan pertama ini diduduki oleh orang yang terpelajar, juga orang yang menduduki pemerintahan. Hidupnya bisa terbilang cukup makmur karena disokong oleh pemerintah.

                Tingkatan kedua adalah orang-orang Lewi. Orang-orang Lewi sebagai kaum yang juga aktif di Bait Allah. Mereka memiliki tugas untuk menyanyikan, dan mengiringi pujian di Bait Allah, menjaga Bait Allah. Tingkatan kedua ini memiliki peran yang kurang lebih sama dengan tingkatan pertama. Bedanya, tingkatan kedua bertanggung jawab kepada urusan Bait Allah dan masyarakat, tanpa ada koneksi dengan pemerintahan seperti yang ada pada tingkatan pertama.

                Tingkatan ketiga adalah am-haaretz (dalam bahasa Ibrani artinya, rakyat jelata, pribumi). Pada tingkatan yang paling bawah ini, rakyat jelata adalah orang-orang Yahudi yang mendiami kota, istilahnya masyarakat biasa. Masyarakat pada waktu itu tidak pandai baca tulis seperti tingkatan kedua, dan pertama yang jelas-jelas terpelajar. Tidak terkecuali orang Samaria. Orang Samaria adalah suku yang dianggap sudah menjauh dari keyahudian. Suku yang terbentuk dari orang-orang yang tidak diangkut saat bangsa Israel Selatan dibuang ke Babel. Background dari orang Samaria ini merupakan orang-orang yang terbilang ‘bodoh’ pada saat pembuangan, sehingga mereka tidak diangkut ke Babel.

Melalui pemaparan strata atau tingkatan sosial pada masa itu, kita bisa melihat bagaimana latar belakang masyarakat  yang terjadi. Semakin ke atas, maka golongan tersebut bisa dibilang semakin pintar, semakin terpelajar, semakin makmur, bahkan semakin berkuasa. Kenyataan bahwa kehidupan masyarakat tidak lepas juga dari strata atau golongan tertentu yang berdiri di atasnya, sehingga akan menciptakan nilai superiorisme antar golongan. Pada intinya, akan selalu ada kesenjangan sosial diantara tiga golongan tersebut hingga membentuk adanya perbedaan.

                Tidak terlepas dengan Indonesia. Kemajemukan Indonesia itu tidak akan lepas dari golongan-golongan masyarakat tertentu yang terbentuk di lingkungan. Dapat kita temui terkadang di pergaulan-pergaulan sekitar kita. Mulai dari kesamaan frekuensi dari interaksi beberapa individu, menciptakan interaksi yang intens, kemudian menjadi satu golongan. Golongan yang terbentuk ini rata-rata bersifat eksklusif dari masyarakat. Mereka akan selalu mementingkan kelompoknya, bahkan bersikap fanatik.

                Hal tersebut merupakan salah satu contoh kecil dari terbentuknya suatu golongan. Tidak jarang golongan yang besar tercipta juga dari kesamaan agama. Faham agama yang dibalut dengan sikap fanatik, bahkan radikal akan menciptakan satu golongan juga sama seperti pada kisah orang Samaria yang murah hati. Golongan pada waktu itu juga terbentuk karena kesamaan agama, golongan yang terbilang sangat terpandang dan besar kala itu. Fenomena ini kerap juga terjadi dalam masyarakat Indonesia. Kenyataan golongan eksklusif terbentuk karena kesamaan faham-faham tertentu. Seperti pada contoh sebelumnya, ketika faham yang sudah sefrekuensi ini akan menimbulkan sikap fanatisme bahkan radikalisme.

                Kisah orang Samaria yang baik hati memiliki klimaks atau masalah. Masalahnya ada pada golongan-golongan masyarakat yang melewati orang yang terampok dan sekarat setengah mati itu. Orang pertama atau golongan pertama yang melewati orang itu adalah seorang imam. Pada pembahasan sebelumnya, imam ini adalah golongan teratas pada segitiga sosial masyarakat Yahudi ala itu. Kembali mengingat, imam adalah orang yang terpelajar di bait Allah. Seumur hidupnya hingga sampai umur 30 tahun mengabdikan dirinya untuk melayani di Bait Allah. Imam merupakan pribadi atau golongan yang juga memimpin iman jemaat di Bait Allah. Tentulah, narasi yang dimunculkan di hadapan jemaat adalah yang positif agar jemaat menghidupi nilai-nilai hidup. Suka menolong, misalnya.

                Masyarakat yang menikmati kisah Yesus ini, tidak salah jika kecewa. Kenapa? Karena seorang yang terpandang saleh di depan jemaatnya, tidak menolong orang yang sekarat itu. Ironisnya, dia hanya melewatinya saja dari seberang jalan.

                Golongan kedua yang melewati juga, sama seperti imam itu adalah orang Lewi. Suku Lewi atau orang Lewi, seperti pada penjelasan sebelumnya merupakan suku yang tugasnya atau pelayanannya memuji dan menyembah Allah di bait Allah. Mari kita imajinasikan, orang-orang yang memuji dan memuliakan nama Tuhan juga terlatih untuk hidup saleh atau benar di bait Allah (minimal). Pengabdian suku Lewi terhadap Allah sudah ada sejak lama, bahkan bisa dikatakan mereka mewarisi semangat para leluhurnya untuk setia memuji dan memuliakan nama Tuhan.

                Tidak jauh beda dengan imam, orang Lewi hanya melewati orang itu saja. Membiarkan orang itu terkapar lemas dan miskin di sana. Tidak ada yang membantu, tidak ada yang menolong. Orang itu hanya membutuhkan uluran tangan seseorang yang lewat saja untuk dibantu sampai ke tempat tujuannya.

                Cerita belum usai. Orang itu masih berharap pada orang terakhir yang lewat. Orang Samaria. Seseorang yang golongannya dipandang rendah oleh dua golongan atasnya, bahkan bisa dikatakan mereka adalah penyesat oleh orang-orang Yahudi. Dikucilkan dari masyarakat, tidak disenangi, dan tidak dipandang. Pada kenyataan kisah ini, dialah yang menolong orang itu.

                Kisah ini menyatakan, orang Samaria ini tidak tahu siapakah dia, orang yang dirampok itu. Orang Samaria itu hanya yakin jika orang itu memerlukan pertolongannya. Dengan sungguh, orang Samaria ini menolong dan memintanya untuk menginap di suatu penginapan agar dirawat oleh orang setempat. Bahkan, orang Samaria itu mau membayar penginapan orang ini, sehingga mendapatkan perawatan dan penginapan yang layak sampai orang itu sembuh.

Pendalaman kisah orang Samaria yang murah hati ini membangun refleksi penulis selama magang di Lembaga Percik. Pertanyaan, “siapakah sesamaku manusia?” sudah seharusnya bukan lagi menjadi persoalan di benak penulis sejak belajar mendalami nilai kemanusiaan di Lembaga Percik.

Ketika penulis tinggal di Percik, interaksi dengan banyak orang, menciptakan beragam pengalaman nyata dimana penulis dapat melihat kenyataan ‘manusia’ dalam hidupnya. Penulis akan memaparkan pengalamannya selama magang di Lembaga Percik yang sekiranya dapat mengubah pemikiran dan nilai hidup penulis.

Berinteraksi diri dengan banyak warga di Percik, penulis sangat menyadari akan adanya profesi dari masing-masing warga Percik. Ada yang mereka bertugas sebagai penjaga kebersihan, jaga malam, hingga menuju ke administrasi lembaga. Kita sama-sama bisa melihat bagaimana profesi ini bisa saja membedakan warga Percik. Tidak sedikit kita yang kemudian berpikir ke ranah kesulitan kerjanya, atau ke arah gaji dari warga. Banyak sekali persepsi yang muncul ketika melihat ke ranah ini.

Perbedaan profesi sering kali memunculkan gab-gab. Pada kenyataannya, di Percik sendiri semua lini lembaga saling berinteraksi layaknya seorang saudara. Tidak melihat seberapa pekerjaan dan tanggung jawab dari masing-masing warga, rasa guyub dalam lingkungan Percik sangat terasa. Tidak jarang juga, penulis sering ditawarkan untuk membuat kopi dan menikmati Percik bersama para karyawan.

Hal sepele dalam hidup juga ada pada senyuman. Dilansir dari golife.id yang membuat artikel berjudul 8 Fakta Psikologis Tentang Senyum yang Jarang Diketahui, senyuman memiliki makna psikologis yang juga dirasakan penulis. Seperti senyum memantulkan ekspresi yang sama dari orang lain, ketika penulis banyak bertemu dengan warga Percik, senyuman dari warga Percik juga tidak sengaja ditiru oleh penulis. Praktek kecil tentang senyuman bukan hanya semata memantulkan saja, tapi juga membuat penulis kemudian tergugah juga untuk memberikan senyuman kepada orang lain. Senyuman juga memberikan efek bahagia. Senyuman menghasilkan emosi positif dalam diri.

                Dari senyuman saja yang bisa dikatakan banyak orang sepele, sebetulnya memiliki manfaat yang sangat besar. Ketika senyuman itu didapat selama penulis di Percik, hal memberi senyuman menjadi bagian penting dalam kehidupan penulis. Kenyataan bahwa tidak hanya orang-orang tertentu saja yang memberikan senyuman, berbagi tawa, penulis mulai merefleksikannya dan teringat dengan kisah orang Samaria yang baik hati.

REFLEKSI

                Seperti sebelumnya, kenyataan mengenai strata sosial yang bisa sangat terjadi dalam lingkungan manusia. Dipicu dari kesamaan frekuensi saja, strata sosial dapat terbentuk dengan mudah. Sama seperti kisah orang Samaria yang murah hati, terdapat tiga golongan yang terbentuk. Mari kita berfokus pada orang Samaria ini. Orang Samaria yang murah hati mau menolong orang lain tanpa pandang bulu. Hatinya tergerak oleh belas kasihan akan ketidakberdayaan orang yang dirampok itu.

                Penulis melihat kenyataan di Percik sama seperti orang Samaria itu. Warga Percik sama seperti orang Samaria yang murah hati itu untuk menolong mahasiswa magang dalam menemukan arti toleransi dan kemanusiaan dalam dunia ini. Bagi penulis, dunia ini sudah keruh dengan manusia-manusia yang terlalu mementingkan dirinya sendiri, sampai-sampai tercermin juga dalam diri penulis. Keinginan penulis adalah untuk melihat kenyataan bahwa dunia tak seburuk itu. Penulis masih percaya dengan banyaknya ‘manusia baik’ di belahan dunia ini.

                Keinginan penulis tersebut diinterpretasikan sebagai orang yang akan turun ke Yerikho. Penulis dihajar oleh kenyataan dunia yang tidak mesti baik. Banyak aksi intoleransi yang pernah dirasakan, aksi-aksi radikal, bahkan persekusi yang pernah dialami oleh penulis. Penulis mengharapkan cinta kasih dari siapapun yang ditemuinya.

                Golongan pertama dan kedua yang lewat adalah representasi hidup kita yang terkadang masih sulit menjadi pribadi yang toleran terhadap satu dan yang lain. Ditambah golongan pertama dan kedua merupakan kritik kepada kita yang sudah memiliki ‘pangkat’ atau jabatan tertentu. Terkadang kita lupa dengan nilai hidup yang sudah dipelajari di gereja. Tidak jarang merasa sudah cukup dibekali di gereja, sehingga lupa membawakan bekal itu juga kepada orang lain. Pesan nyata yang ingin dikatakan oleh Lukas sebetulnya, cinta kepada Tuhan seharusnya juga cinta kepada ciptaan-Nya.

Golongan terakhir, orang Samaria itu menolong penulis untuk melihat kenyataan. Kenyataan dunia yang tak seburuk itu dinyatakan dalam tindakan nyata dari orang Samaria tersebut. Orang Samaria yang baik hati itu memperlihatkan belas kasihan yang nyata. Tidak hanya merasakan saja secara simpati, tapi juga aksi nyata yang diberikan kepada orang yang dirampok itu.

Dalam konteks Percik, dinamika bersama warga Percik menolong penulis melihat kenyataan. Manusia yang melihat sesamanya harus terus mengusahakan memanusiakan manusia. Jika kembali kepada pertanyaan, “siapakah sesamaku manusia?”, sesama kita adalah manusia yang rela mengasihi, menolong, memberi, dan mencintai tanpa melihat latar belakang orang lain.

Kenyataan kita tidak bisa punya banyak waktu untuk membangun relasi yang dalam antara satu sama lainnya dalam perjumpaan yang singkat, paham mengenai kemanusiaan yang benar merupakan salah satu cara menumbuhkan cinta kasih terhadap sesama. Mencontoh kisah orang Samaria yang murah hati, orang Samaria yang mau menolong sekalipun ia dipandang rendah oleh golongan yang lain, dan tidak memandang latar belakang orang lain dalam hal menolong, perlu kita praktikkan dalam kehidupan. Dalam akhir cerita tersebut, ketika Yesus kembali bertanya kepada seorang ahli Taurat itu, ia tidak langsung menjawab orang Samaria. Cerita yang diberikan Yesus sudah cukup membuat mereka malu dengan realita saat itu (orang Yahudi tidak suka bergaul dengan orang Samaria).                                                                               

Penutup

                Akhir dari kisah orang Samaria yang murah hati, penulis mendapatkan insight dalam kisah tersebut dan realita hidup di Lembaga Percik. Kisah yang Yesus berikan menjawab “siapakah sesamaku manusia?” dengan cukup elegant. Melihat konteks kehidupan sosial pada masa itu, strata sosial yang memang benar adanya juga sering terjadi dalam kehidupan masa kini. Orang Samaria dalam kisah Yesus menegaskan, bahwa untuk mengasihi orang lain tidak perlu memperdulikan dari mana dirinya, dan kepada siapa ia harus mengasihi. Tetapi cukup perlu menyatakan diri sebagai manusia yang mengasihi manusia lainnya tanpa melihat latar belakang dan memberikan nilai tertentu pada orang lain saat pertama kali bertemu.

                Pengalaman penulis selama di Percik membuahkan kasih yang sama teladannya dengan orang Samaria dalam kisah Yesus. Percik berhasil membuahkan kasih dalam diri penulis, sehingga penulis saat ini harus terus berusaha menumbuhkan cinta kasih kemanusiaan kepada yang lain. Cinta kepada manusia tidak melulu harus melewati proses pengenalan yang panjang. Bagi penulis, mengasihi sebagai manusia, memberikan senyuman kepada semua orang merupakan dua cara yang baik untuk menumbuhkan dan menularkan cinta kemanusiaan.

Tentang Penulis

Kamu mungkin juga mencari ini