PERCIKAN KASIH, KEDAMAIAN, DAN SUKACITA

Priscilla Wahyu Puspita Edennia

PERCIKAN KASIH, KEDAMAIAN, DAN SUKACITA

SEBUAH REFLEKSI PENGALAMAN SOCIAL IMMERSION DI LEMBAGA PERCIK YANG DIKAITKAN DENGAN HUKUM KASIH DALAM MATIUS 22: 37-39

Percik (Persemaian Cinta Kemanusiaan) adalah sebuah lembaga independen yang berfungsi sebagai tempat bagi peneliti sosial, demokrasi, dan keadilan sosial. Lembaga Percik didirikan pada 1 Februari 1996 oleh sekelompok ilmuwan di Salatiga yang terdiri dari sejumlah peneliti sosial, dosen, serta aktivis Lembaga Swadaya Masyarakat yang bergerak di bidang hukum serta pengorganisasian masyarakat. Menurut catatan sejarah, para dosen tersebut merupakan sebagian dari staf akademik sebuah universitas di Salatiga yang terpaksa keluar karena menolak beberapa kebijakan dari pengurus yayasan dan pimpinan universitas yang dinilai tidak demokratis, bertentangan dengan nilai-nilai kemanusiaan, tidak menjunjung tinggi kebebasan akademis serta otonomi perguruan tinggi. Tujuan mereka mendirikan lembaga Percik adalah menjadi wadah baru dalam mewujudkan idealisme mengenai masyarakat yang demokratis dan berkeadilan sosial. Kehadiran Percik di tengah masyarakat Jawa Tengah adalah menjadi perwujudan dari keinginan untuk menggulirkan proses demokratisasi politik pada aras lokal[1].

Sebab, sekalipun Indonesia dinilai sebagai negara yang menjunjung tinggi toleransi, namun pada kenyataannya tidak sepenuhnya begitu. Sampai saat ini masih saja terjadi aksi-aksi intoleransi baik dalam hal agama, suku, ras, warna kulit, dan lain sebagainya. Percik hadir sebagai salah satu lembaga yang akan menjembatani berbagai perbedaan tersebut, sehingga mereka dapat saling mengenal antara satu dengan yang lain dan diharapkan dapat meminimalisir terjadinya aksi intoleransi. Dalam perjalanannya Percik sempat mengalami berbagai macam tantangan. Namun, hal tersebut tidak memudarkan semangat para pekerja Percik dalam mewujudkan masyarakat yang demokratis dan berkeadilan sosial. Masyarakat yang tidak menganggap bahwasanya perbedaan adalah hal yang harus disamaratakan, melainkan perbedaan justru suatu hal yang menjadi dasar dari terbentuknya persatuan. Indonesia yang kaya akan keberagaman suku, ras, budaya, bahasa, warna kulit seharusnya menjadi Negara yang sempurna dengan keberagamannya tersebut.

                Saya mengangkat judul “Percikan Kasih, Kedamaian, dan Sukacita” karena selama saya magang di Lembaga Percik, saya belajar tentang arti ketiga hal tersebut. Memang waktu magang di Lembaga Percik tidak lama dan hanya satu bulan saja. Namun, hal tersebut tidak membatasi saya dalam memperoleh makna dari pengalaman satu bulan magang di Lembaga Percik. Pertama, mengenai “kasih”. Saya belajar tentang makna dari “kasih yang sesungguhnya di sana. Lembaga Percik yang menjembatani berbagai perbedaan agama di Jawa Tengah khususnya Salatiga, berhasil membuat hati saya terkagum akan kasih yang mereka berikan terhadap orang-orang yang memiliki keyakinan berbeda dengan mereka. Hal ini saya dapat dari pengalaman menjadi panitia “Sobat Anak”. Melalui kegiatan “Sobat Anak” tersebut, saya melihat bahwa Lembaga Percik mampu menanamkan dasar kepada setiap anak bahwasanya “perbedaan bukanlah hal yang harus disamaratakan, melainkan perbedaan adalah suatu hal yang menjadi dasar dari terciptanya persatuan”.

Anak-anak yang menjadi peserta acara “Sobat Anak” saat itu berasal dari berbagai instansi keagamaan, yaitu: TPA[2] Desa Padaan, TBB[3] Pondok Pesantren Edi Mancoro, SM[4] GKJ Menara Kasih, SM GKJ Salatiga Timur, SM GKJ Sidomukti, SM Khatolik Santo Paulus Miki, SM Katolik Kristus Raja, Komunitas Anak Lembaga Percik, Komunitas Muslim Ahmadiyah, SM GKJTU, serta anak-anak dari desa Tegalwaton. Penanaman nilai “menghargai yang berbeda atau liyan” menjadi wujud bahwa Lembaga Percik secara tidak langsung telah menanamkan nilai “kasih” kepada setiap anak agar mereka dapat menghargai liyan. Sikap menghargai liyan  diharapkan dapat melekat dalam diri anak-anak pada saat ini hingga di masa tua nanti.

Kedua, mengenai kedamaian. Kedamaian saya peroleh dari pengalaman berinteraksi dengan seluruh staf dan para pekerja di percik. Dimana pada saat saya datang pertama kali ke Percik, seluruh staf dan para pekerja menyambut saya dengan ramah. Hal tersebut tidak berhenti sampai disitu saja, “senyum dan sapa” yang ditunjukkan oleh para pekerja Percik yaitu: pak Man, pak Slamet, bu Sumiyati setiap pagi, menjadi pelajaran bagi saya bahwa “senyum dan sapa” merupakan hal yang sangat penting. Saya yang notabene adalah pribadi yang introvert, menjadi sadar akan pentingnya tersenyum dan menyapa orang yang berpapasan dengan saya. Sekalipun pada awalnya itu sulit untuk saya lakukan, namun lama kelamaan saya dapat melakukannya. Adanya aksi senyum dan sapa membuat situasi di Percik menjadi damai. Arti kedamaian juga saya peroleh pada saat menjadi panitia acara “Sobat Anak” dan turut menjadi cameraman dalam acara tersebut. Pada saat menjadi panitia saya belajar tentang “menghargai perbedaan pendapat dan menerima keputusan bersama”. Kemudian, pada saat acara, di sana saya mendapai bahwa anak-anak dapat berbaur antara satu dengan yang lain sekalipun berbeda keyakinan agama. Saya melihat bahwa Lembaga Percik telah berhasil menanamkan “toleransi pada yang liyan” kepada setiap anak yang mengikuti acara “Sobat Anak” saat itu.

                Ketiga, saya juga belajar tentang makna “sukacita”. Awalnya saya tidak mengira kalau pada akhirnya akan bertemu dengan teman-teman magang dari universitas lain. Pada saat sampai di Percik, saya baru mengetahui bahwasanya selain magang bersama teman-teman dari tim STFT dan UKDW, saya juga magang bersama dengan tiga teman laki-laki dari Universitas Kristen Satya Wacana (UKSW) dan empat teman perempuan dari Sekolah Tinggi Bibelvrouw HKBP. Keberagaman yang ada di antara kami mendorong kami untuk belajar akan budaya serta bahasa antara satu dengan yang lain. Berinteraksi dan melebur dengan budaya dan bahasa yang berbeda-beda membuat suasana di Percik menjadi penuh dengan sukacita. Setiap hari, canda dan tawa menghiasi Percik. Peristiwa yang paling berkesan mengenai sukacita bagi saya adalah pada saat kami bersama-sama berlatih menarikan tarian adat “Tor-Tor” lalu menampilkannya pada saat farewell party di depan seluruh staf, pekerja, serta teman-teman magang dari UIN Salatiga.

                Apabila dikaitkan dengan “Hukum Kasih” yang tertuang di dalam Matius 22: 37-40, yang berbunyi demikian : “Jawab Yesus kepadanya : “Kasihilah Tuhan, Allahmu, dengan segenap hatimu dan dengan segenap jiwamu dan dengan segenap akal budimu. Itulah hukum yang terutama dan yang pertama. Dan hukum yang kedua, yang sama dengan itu, ialah: Kasihilah sesamamu manusia seperti dirimu sendiri”.  Pengalaman saya selama magang di Lembaga Percik mengingatkan saya akan “Hukum Kasih”. Selama magang di Lembaga Percik, saya merasakan “Percikan Kasih, Kedamaian, dan Sukacita”. Seluruh pengalaman yang saya ceritakan sebelumnya menjadi pembelajaran bagi saya kedepannya tentang arti kasih, kedamaian, dan sukacita yang sesungguhnya. Selain itu,secara tidak langsung, Lembaga Percik telah mengajarkan kepada saya mengenai “Hukum Kasih”, bahwa sebagai manusia, kita harus mengasihi sesama manusia. Artinya, sekalipun kita memiliki keyakinan yang berbeda-beda akan tetapi hal itu jangan sampai memicu perpecahan. Dengan mengasihi sesama manusia yang liyan, maka hal tersebut mewujudkan bahwa kita juga mengasihi Tuhan sang empunya alam semesta. Jika kita belum bisa menerapkan sikap “toleransi” terhadap yang liyan, perbuatan kita tersebut mencerminkan bahwa kita adalah manusia yang tidak taat akan hukum kasih, tidak taat kepada Tuhan. Sebagai manusia yang dikasihi oleh Tuhan, maka sepatutnya kita taat akan perintahnya, yakni dengan mengasihi yang liyan, sebab dengan begitu akan kita dapat menjadi agen yang memercikkan “Kasih, Kedamaian, dan Sukacita” di bumi Indonesia.


[1] [1] Kampoeng Percik. Sejarah Percik. https://percik.or.id/profil/sejarah-percik/ . diakses pada 12 Juli 2022, pukul 18.00 WIB.

[2] TPA adalah Taman Pendidikan Al-qur’an.

[3] TBB adalah Tarbiatul Banin Wal Banat.

[4] SM adalah singkatan dari Sekolah Minggu.