Oleh: SINGGIH NUGROHO
Pandemi Covid-19 telah memunculkan fenomena kekompakan warga dari tingkat rukun tetangga (RT) dan rukun warga (RW). Kekompakan itu adalah modal sosial untuk menghadapi situasi pandemi.
Di minggu kedua Februari 2022, kami di tim Satgas Penanganan Covid-19 RW mendapat pesan singkat via aplikasi Whatsapp dari dokter senior di puskesmas terkait konfirmasi dua warga kami yang dinyatakan positif Covid-19. Kedua warga tersebut melakukan tes PCR secara mandiri di satu laboratorium di Salatiga. Tidak lama berselang, petugas bhabinkamtibmas dan babinsa berkontak untuk minta didampingi berdialog dengan warga yang sedang menjalani isolasi mandiri di rumahnya.
Kasus itu menjadi pembuka beberapa kasus positif Covid-19 di kampung kami. Semua sudah divaksin dua kali dan dalam status severity (tingkat keparahan) ringan. Di luar itu, kami mendapati situasi warga yang mengalami gejala sakit mirip gejala mirip Covid 19. Mereka tidak tes usap antigen ataupun PCR, karena merasa terkait cuaca di musim hujan. Warga menyebutnya musim masuk angin, sehingga memilih berobat mandiri dan membatasi pergerakan sosial hingga menuai sembuh.
Dalam merespons situasi gelombang ketiga pandemi Covid-19, dengan varian Omicron ini, situasi kesiapan warga sudah relatif lebih baik. Sekurangnya tidak ada suasana kepanikan ataupun sikap mengucilkan warga yang sakit. Pengalaman dua tahun menjalani masa pandemi Covid-19 dengan segala dinamikanya dan juga didukung sebagian besar (70 persen) warga kami sudah divaksin dua kali, dan vaksin ketiga (dalam jumlah terbatas) merupakan bagian penting dari terciptanya kondisi ini.
Situasi ini terasa berbeda di masa awal pandemi. Selama dua tahun, kami turut merasakan betapa hari-hari menjalani situasi pandemi Covid-19 membutuhkan energi besar agar bisa beradaptasi dengan kehidupan baru. Selain di bidang kesehatan, dampak itu juga begitu terasa di bidang ekonomi, termasuk sosial keagamaan dan budaya. Mandat kami di Satgas Penanganan Covid-19 tingkat RW, memberi kesempatan merasakan situasi, baik sebagai pribadi maupun menjadi bagian tumpuan warga di lingkungan kami.
Dinamika di masyarakat
Satgas penanganan Covid-19 tingkat RW secara formal dimulai pada 7 April 2020, berdasarkan Surat Edaran Sekda Kota Salatiga. Berselang tiga minggu, muncul Instruksi Gubernur Jateng Nomor 1 Tahun 2020 tertanggal 22 April 2020 tentang pemberdayaan masyarakat dalam percepatan penanganan Covid-19 di tingkat rukun warga (RW) melalui pembentukan Satgas Jogo Tonggo.
Sebagai bagian terkecil dari jejaring tim penanganan Covid-19 di tingkat bawah, pengurus organisasi ini berasal dari pengurus RT, RW, PKK, dan Karangtaruna setempat. Satgas ini memiliki tugas, antara lain, sosialisasi sejumlah regulasi dan pedoman pemerintah terkait pencegahan dan penanganan pasien Covid-19, fasilitasi program perlindungan sosial bagi warga terdampak ekonomi, baik dari bansos pemerintah maupun lumbung RW; serta mitigasi konflik antarwarga karena pandemi.
Pejabat pemerintahan setingkat presiden hingga bupati/wali kota dan cabang pemerintahannya menyiratkan harapan besar ke Satgas Covid-19 RW agar menjadi garda terdepan penanggulangan wabah ini di komunitasnya. Meski demikian, sejauh ini belum banyak laporan riset yang memberi fokus pada organ ini.
Sebagai pihak yang diharapkan menjadi ujung tombak, acap kali harapan itu memberi beban tanggung jawab yang tidak berbanding lurus dengan kondisi riil kami. Sebagian besar kami masih memiliki sejumlah keterbatasan, terutama kualitas sumber daya manusia (SDM), daya literasi kesehatan, dan sumber jaring pengaman sosial. Di bidang kualitas SDM, tidak semua kami memiliki kapasitas pendidikan, keorganisasian, dan pengalaman mitigasi bencana non-alam secara merata.
Situasi bertambah pelik, karena saat itu aparat pemerintahan juga masih belajar dalam situasi baru. Komunikasi dan koordinasi lintas pemerintahan yang kurang baik dan masifnya berita bohong turut berdampak antara lain variasi dalam menyampaikan informasi tentang Covid-19 kepada warga dan juga dalam mekanisme penanganan warga terdampak Covid-19 (kesehatan dan nonkesehatan). Akibatnya, dalam mengawal sejumlah kebijakan pemerintah di bidang kesehatan dan nonkesehatan, sebagian kami acap kali harus menghadapi dilema di antara mengikuti tafsir atas aturan tertulis pemerintah dengan kondisi obyektif dan subyektif di lapangan.
Situasi itu mendorong kami di tingkat bawah harus mencari solusinya secara mandiri, antara lain dengan belajar dari praktik di lapangan. Di setiap tahapan itu, ada kendala dan tantangan yang demikian kompleks. Kami belajar dari praktik bersama warga dalam mencari solusinya, antara lain dengan belajar cepat dari berbagai sumber bacaan, surat edaran, dan pedoman pemerintah, serta testimoni satgas di RW lain, para penyintas Covid-19, dan koordinasi dengan otoritas supra kampung terdekat.
Sebagaimana sering dinyatakan berbagai pihak, pandemi Covid-19 telah memunculkan fenomena kekompakan warga dari tingkat rukun tetangga (RT) dan rukun warga (RW). Kekompakan itu adalah modal sosial untuk menghadapi situasi pandemi (www.kompas.id, 5/6-2020).
Hal itu seturut dengan bagian laporan Bappenas berjudul, “Studi Pembelajaran Penanganan Covid-19 di Indonesia (2021)”, mengakui, di awal terjadi pandemi Covid-19 direspons secara lambat di Indonesia sehingga melahirkan ketidakpastian, baik di kalangan pemerintah, dunia bisnis, maupun masyarakat. Akibatnya, terjadi krisis kepercayaan publik terhadap kredibilitas pemerintah yang akan melahirkan reaksi masyarakat yang berlebihan dan menghambat implementasi kebijakan.
Laporan itu juga merekomendasikan, di bidang kesehatan dan non-kesehatan. Di bidang kesehatan, perlu penguatan koordinasi krisis yang melibatkan berbagai modal sosial, mulai dari level mikro seperti di tingkat RT/RW hingga masyarakat luas dengan penguatan fokus ke penanganan pandemi secara simultan. Rekomendasi penanganan Covid-19 bidang nonkesehatan, antara lain, perlunya penguatan, penyempurnaan, dan adaptasi kebijakan di berbagai sektor, yang didukung dengan koordinasi dan kerja sama yang lebih baik, tidak saja di antara lembaga pemerintah di sejumlah tingkat pemerintahan, tetapi juga dengan seluruh elemen masyarakat, termasuk organisasi masyarakat sipil dan sektor swasta.
Kesiapan menuju endemi
Awal Maret 2022 ini menjadi penanda penting perjalanan pandemi Covid-19 di Indonesia. Momentum ini ditandai saat Presiden Jokowi pada 2 Maret 2020 mengumumkan dua warga positif Covid-19, sebagai kasus kasus Covid-19 pertama di Indonesia.
Dalam memperingati dua tahun pandemi ini, sejumlah media mengulas perjalanannya. Tajuk Rencana Kompas (4/3/2022) misalnya, mengulas tentang dampak pandemi dan capaian penanganannya sebagai modal penting memasuki tatanan normal baru. Pandemi telah berdampak, terutama di bidang kesehatan, dengan tiga gelombang penularan (varian awal, Delta, dan Omicron). Kasus penularan ditengarai akan terus berlangsung secara fluktuatif dengan tingkat kematian menurun.
Selain itu, ada kemajuan dalam kemampuan manusia beradaptasi di masa pandemi, baik di bidang kesehatan maupun nonkesehatan. Cakupan vaksinasi itu, bersama dengan peningkatan kualitas penanganan dan tata laksana pengobatan serta tingkat kesiapan masyarakat, merupakan modal penting bagi perubahan status pandemi ke endemi.
Sejauh ini, Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) belum memberikan isyarat untuk mengakhiri pandemi. Pasalnya, situasi penanganan Covid-19 di tingkat global masih diwarnai oleh cakupan vaksinasi yang masih rendah, terutama di negara berkembang dan miskin. Masih ada 56 negara di Afrika yang tidak mampu membeli vaksin.
Meski begitu, banyak negara sudah bersiap menuju endemi. Pemerintah Indonesia juga sedang menyiapkan peta jalan peralihan status ke endemi, dengan indikator transmisi komunitas level 1 selama 6 bulan, angka reproduksi virus kurang dari satu, dan percepatan vaksinasi dosis dua (70 persen).
Berakhirnya masa pandemi menjadi harapan banyak pihak. Meski demikian, pencabutan pandemi di Indonesia hendaknya dilakukan secara bijak, tidak terburu-buru, dan mengacu pada protokol kesehatan. (Tajuk Rencana Kompas, 15 dan 23/3-2022; Tempo, edisi 20/3/2022).
Penguatan modal sosial di masyarakat
Sebagai upaya memasuki masa endemi, pemerintah tengah menyusun peta jalannya berdasarkan indikator WHO. Tentu saja, kabar akan diakhirinya masa pandemi Covid-19 merupakan harapan semua pihak, termasuk kami di Satgas Penanganan Covid-19 tingkat RW. Belum tampak jelas, ke depan apakah dalam penyusunan dan pengawalan peta jalan itu akan tetap melibatkan Satgas Covid di tingkat bawah. Namun seandainya kami dilibatkan, ada beberapa usulan yang perlu diperhatikan berdasarkan pengalaman lapangan.
Pertama, kebijakan yang dipilih mestinya berdasarkan kajian mendalam, melalui proses dialog dengan pelaksana di lapangan. Selama pandemi, telah tersedia banyak praktik baik dari sejumlah kalangan, baik pemerintah maupun masyarakat sipil. Forum-forum dialog itu perlu diperbanyak, baik dengan metode luring maupun daring, agar terjadi gerak seirama dari para pemangku kepentingan di tingkat atas hingga bawah, sehingga pengatasan pandemi ini akan berjalan lebih baik.
Kedua, adanya regulasi tentang posisi dan kewenangan satgas. Hal ini menjadi legitimasi formal bagi satgas dalam layanannya ke warga dan koordinasi dengan otoritas negara di bawah. Surveri BPS (16-25/2/2022) mencatat keberadaan Posko Satgas Covid-19 hanya diketahui oleh 63,7 persen responden. Dalam hal pelaporan ke Satgas RT/RW, mayoritas warga positif (82,8 persen) melapor dan masih ada sebagian warga (17,2 persen) yang tidak melaporkannya.
Ketiga, pemerintah perlu memberi pembekalan pengetahuan dan teknis (bidang kesehatan dan nonkesehatan) kepada tim Satgas Covid tingkat RW agar bisa bekerja lebih baik. Hubungan baik yang sudah terbangun di antara Satgas RW dengan para pemangku kepentingan kesehatan di tingkat lokal menjadi modal sosial penting. Materi pelatihan itu seperti literasi kesehatan, regulasi penanganan wabah menular, manajemen SDM, dan kampanye pencegahan dengan cara-cara kreatif.
Pada akhirnya, keberhasilannya juga bergantung pada komitmen pemerintah dan masyarakat saat hidup bersama Coronavirus Disease (Covid-19). Pemerintah pusat dan daerah perlu memaksimalkan tingkat kepercayaan masyarakat yang cukup tinggi dalam penanganan wabah ini, dan juga kepatuhan masyarakat terhadap protokol kesehatan yang sudah membaik. Gerak seirama di tingkat pusat dan bawah dari berbagai kalangan akan menjadi kunci bagi keberhasilan dan kegagalan melewati fase ini.
Singgih Nugroho, Peneliti di Lembaga Percik (Persemaian Cinta Kemanusiaan) dan Ketua RW di Salatiga
Sumber: https://www.kompas.id/baca/artikel-opini/2022/03/28/pembelajaran-penanganan-pandemi-covid-19-berbasis-masyarakat?fbclid=IwAR0Z632yBFdJnNxJyCk4qDXPdI2JRMXsCsL6oo7Mw9f1TqQ7Qaa2DxzR-vc