Penguatan Masyarakat Sosial
Masyarakat secara umum berada pada posisi lemah dalam menghadapi sistem dan kultur kekuasaan yang korup, sehingga masyarakat cenderung apatis. Agenda penguatan kapasitas aktor-aktor kunci di masyarakat tentang pengetahuan hukum, hak ekonomi, sosial, budaya dan politik, menjadi kebutuhan untuk memperkuat kapasitas masyarakat dalam lingkup lebih luas. Selain itu, penyadaran masyarakat akan hak-hak politik masih sangat dibutuhkan karena partisipasi masyarakat dalam proses-proses politik cenderung masih terbatas pada pemenuhan aspek prosedural. Dalam menghadapi berbagai kepentingan dari luar, masyarakat juga pada posisi tidak mampu bersikap kritis terhadap intervensi kepentingan tersebut. RPJMDes sebenarnya berpotensi menjadi alat untuk mengelola berbagai kepentingan lokal dan kepentingan luar yang masuk ke desa. Tapi potensi ini bisa terjadi dengan sejumlah syarat tertentu seperti, adanya kebebasan dari desa dalam menyusun RPJMDes sesuai kebutuhan desa dengan menekankan potensi desa dan prinsip partisipasi; adanya dukungan politik (diakui) pemerintah daerah;
Pengembangan Komunitas
Kehadiran forum-forum warga baik aras desa maupun supra desa yang memberi wadah bagi berkumpulnya aktor-aktor yang memiliki kepedulian terhadap berbagai isu lokal (keamanan, HAM, konflik, pluralisme, kemiskinan, dll), memiliki peran penting dalam menampung berbagai inovasi dan inisiatif lokal. Selain itu, forum juga berguna mendialogkan berbagai isu dan kepentingan melalui forum-forum multi-stakeholders, memiliki peran penting untuk meningkatkan kualitas pemberdayaan masyarakat yang lebih luas. Dalam pembentukan BPD misalnya, perwakilan basis kelompok sosial jauh lebih representatif dibanding basis kewilayahan karena lebih jelas basis yang terwakili, pada tataran proses penentuan kebijakan akan langsung bersentuhan dengan sektor-sektor riil dalam masyarakat Public pressure yang dibangun melalui berbagai forum warga ini memiliki kemampuan untuk mendesakkan agar kepentingan masyarakat dalam berbagai bidang seperti hak atas rasa aman, kebebasan beragama, pendidikan dan pekerjaan yang layak, hak pengelolaan SDA, dll memperoleh perhatian dalam kebijakan publik.
Kesetaraan Gender
Peningkatan partisipasi perempuan yang terjadi di dalam forum-forum pengambilan keputusan lebih cenderung merupakan mobilisasi kehadiran. Upaya-upaya pengarusuatamaan gender yang seringkali dibawa oleh program-program berskala nasional baru sebatas meningkatkan kehadiran perempuan namun belum mampu meningkatkan keberanian mereka untuk bersuara. Faktor peningkatan pendidikan dan intervensi program-program pemberdayaan perempuan telah memfasilitasi munculnya aktor-aktor perempuan. Kiprah mereka di dalam berbagai forum maupun kelembagaan formal telah meningkatkan posisi tawar perempuan di dalam struktur sosial dan kekuasaan yang bias gender. Sebagai contoh keaktifan perempuan dalam lembaga-lembaga desa menjadi modal politik bagi kemenangan calon perempuan di dalam pilkades Desa Plumbon, Kacamatan Suruh, Kabupaten Semarang. Selain itu, keberadaan forum-forum khusus perempuan yang diinisiasi oleh aktor-aktor perempuan telah menjadi bagian penting dari gerakan pengarusutaman gender dan civil society dalam skala yang lebih luas. Isu-isu pemberdayaan perempuan dan juga kesetaraan gender yang banyak dibicarakan di dalam forum-forum ini telah menjadi sarana untuk meningkatkan kapasitas perempuan dan kualitas partisipasi mereka di dalam forum-forum yang lebih luas.
Desentralisasi
Era desentralisasi telah membawa berbagai perubahan di dalam tata kelola kepemerintahan yaitu (P2PL): adanya perubahan pusat-pusat kekuasaan, perubahan basis relasi politik, meluasnya gejalan faksionalisme, perubahan pola kepemimpinan, perkembangan lembaga lokal. Era ini juga diwarnai dengan fenomena maraknya pemekaran daerah yang dipengaruhi oleh peran aktor lokal dalam menentukan dinamika dan perspektif lokal (DRSP). Berbagai ambisi dan kepentingan tanpa memperhitungan kebutuhan, kapasitas, potensi wilayah seringkali menjadi latar belakang pemekaran suatu daerah. Sehingga banyak juga ditemui kasus-kasus yang menunjukkan tujuan otonomi daerah yang mana salah satunya adalah peningkatan pelayanan publik tidak tercapai. Dalam beberapa studi yang dilakukan oleh Percik terlihat kapasitas pemerintah daerah dalam menyediakan pelayanan publik di bidang pendidikan dan kesehatan masih rendah (LGSP). Selain itu, pemerintah daerah belum cukup transparan dan akuntabilitas dalam mengalokasikan budget di sektor keamanan dan ketertiban umum (IRDA). Selain permasalahan kapasitas pemerintah daerah yang masih rendah, desentralisasi juga masih diperhadapkan dengan persoalan tidak tersedianya ruang yang cukup untuk berkembangnya kerangka hukum inisiatif lokal karena terganjal oleh sistem tata urutan perundang-undangan. Beberapa perda seperti swakelola yang merupakan kebutuhan lokal cukup sulit direalisasikan oleh karena berbenturan dengan aturan di atasnya (STS-PSF).