Surga Kecil di Kampoeng Percik

Oleh: Maria Hartiningsih

Bulan seiris timbul-tenggelam di antara pohon-pohon sengon yang menjulang. Awan berarak di antara dedaunan. Hujan baru saja jatuh. Sisa tetesannya di rumput terlihat gemerlapan dalam keremangan.

Suasana malam di Kampoeng Percik, di Dukuh Turusan, Salatiga, itu menghalau lelah seharian. Tak ada tempat bagi keributan di pikiran, ketika seluruh labirin rasa dipenuhi keheningan. Suara daun jatuh pun terasa seperti getaran nada yang melayang di udara, dan saya ingin menangkapnya. Ting..!

Ketika menginjakkan kaki di tempat itu suatu siang, saya merasakan perasaan aneh yang tiba-tiba mengetuk pintu ruang ingatan. Saya mengenali sudut-sudutnya; sungai kecil di samping depan; tanaman cleresdeae sebagai pagar hidup; dua kompleks pekuburan yang mengapitnya. Rasanya saya pernah tinggal di situ berpuluh waktu lalu. Saya bahkan mengenali orang-orangnya, meskipun baru pertama kali bertemu. Rasanya seperti pulang. Ah, déjà vu….

Kejutan-kejutan kecil yang mengembalikan ingatan ke masa kanak-kanak tercecer di mana-mana. Suasana itu melemaskan dahi berkerut setelah mengikuti diskusi sepanjang hari mengenai dinamika (politik) penataan daerah yang penuh intrik.

Suatu siang saya menemukan sekumpulan telur ayam di sebuah kotak kayu dialasi serpihan kertas bekas di balik risban di pojok rumah, bertuliskan, “Jangan ambil telurku ya….”

Ayam-ayam itu bertelur di mana saja. “Dulu ada 20-an ekor. Banyak hilang, mungkin dimakan musang,” ujar Nick, salah satu warga Kampoeng Percik, menunjuk dua ayam kate blirik yang berkeliaran bebas di lahan sekitar satu hektar itu.

Sudah tiga malam saya menginap di surga kecil itu. Sudah saatnya pergi. Terasa berat, meski “kepala kampoeng”, Pak Pradjarta (60), berkali-kali mengatakan, saya boleh datang kapan saja saya mau.

Rumah sederhana tempat saya menginap itu memang disediakan bagi yang ingin mengambil jarak dengan keseharian kota besar. Ada bangku di mana-mana. Ada waktu berlimpah untuk diam, untuk menyibak kejernihan pikiran. Tak usah risau dengan deadline. Waktu berjalan mengikuti kehendak hati.

Simbol kebebasan

Kampoeng Percik lebih tepat disebut padepokan. Kehidupan kampung disemai dan dihidupi dalam tata pergaulan sehari-hari. Mereka yang datang adalah saudara yang dipersatukan oleh identitas kemanusiaannya dan, kalau mau, boleh menjadi bagian dari komunitas.

Empat rumah di dalam kompleks yang berfungsi sebagai ruang administrasi, perpustakaan, ruang makan, dan balai pertemuan itu memang berasal dari rumah kampung.

Setyo Handoyo dan Halomoan Pulungan, dua warga Kampoeng Percik, pernah ikut berburu mencari rumah desa. Mereka menemukan rumah-rumah yang sudah hampir tak ada wujudnya, malah ada yang bekas kandang kerbau.

“Saya bilang, jangan dilihat fisiknya. Nanti kita bersihkan dan kita permak lagi,” kenang Pradjarta.

Siang itu kami bercakap-cakap di beranda kantornya ditingkahi desir angin, gemericik air sungai yang mengalir di bawah sana dan… suara tokek.

Alasan pemilihan rumah- rumah dusun berarsitektur Jawa itu sebenarnya sederhana. Uang mereka memang hanya cukup untuk itu. Uang tabungan habis untuk membeli tanah di dusun yang lumayan murah pada awal tahun 2000 itu karena terletak agak jauh dari kota dan masih sepi. Dekat kuburan, lagi.

Tetapi, ada soal lain. Pradjarta dikenal piawai memindahkan rumah desa untuk dijadikan kantor, meski tak jarang harus berdebat keras dengan sahabatnya, I Made Samiana.

Rumah pertama adalah “Rumah Bapak Suparso”, menempati halaman depan kanan, setelah tanjakan yang cukup tinggi di jalan masuk ke Kampoeng Percik. Rumah Pak Lurah Desa Tinapan, Kecamatan Todanan, Blora, yang dibeli dengan harga Rp 16 juta itu resmi digunakan untuk perpustakaan dan tempat kerja berbagai program pada awal Januari tahun 2002, meskipun lantainya belum bertegel.

Rumah kedua adalah “Rumah Bapak Sidan”, berasal dari desa sama, digunakan untuk kegiatan administrasi, publikasi, dokumentasi, dan ruang pimpinan. Rumah ketiga untuk pendapa seminar adalah “Rumah Bapak Sarwo Gunarso”, merupakan gabungan dua rumah, dibeli dari dua dusun di Salatiga dan Blora. “Rumah Bapak Saman” adalah pendapa kecil, digunakan untuk ruang makan. Letaknya berdekatan dengan dapur.

Melalui diskusi intensif dengan para tokoh agama di Salatiga, di Kampoeng Percik dibangun rumah untuk sarana ibadah bersama. Rumah seluas lima kali lima meter persegi itu berdiri tahun 2003 dan terbuat dari kayu jati kuno. Di samping rumah disediakan empat set tempat air wudu dari gerabah.

Di tengah situasi kebersamaan yang terkoyak, tak heran rumah ibadah bersama ini sempat mengundang masalah dari luar. Kepada mereka yang tidak setuju, Kiai Mahfudz Ridwan dari Gedangan, Salatiga, menegaskan, Bumi ini adalah tempat ibadah kita semua. Ketika ada tuduhan Percik akan membuat agama baru, Kiai Mahfudz pula yang membela.

Lereng mendaki

Suasana di Kampoeng Percik membuat saya menjadi lebih sentimental, khususnya ketika mendengarkan kisah Pak Pradjarta tentang perjalanan mereka, tentang bagaimana komunitas itu melangkah menapaki lereng-lereng licin kemanusiaan.

Saya menangkap kesederhanaan dan kebersahajaan sikap yang tercermin dari pengalaman saling mengalami dalam kehidupan sehari-hari di situ. “Saya bisa minum teh sama Pak Pradjarta, ngobrol apa saja,” ujar Oman, tukang kebun yang bekerja di situ sejak Kampoeng Percik berdiri tahun 2002.

Namun, di balik semuanya yang terasa “serba kampung”, di dalam setiap rumah desa itu, serangkaian kehidupan intelektual terus berkembang. Sejumlah tema penelitian dirancang. Advokasi demi advokasi digerakkan. Seminar internasional tentang dinamika politik lokal sudah 11 kali digelar oleh komunitas itu. Artinya sudah 11 tahun mereka bergelut dengan persoalan itu.

Peralatan kantornya modern. Perkakas teknologi informasi canggih menempati rumah- rumah kuno itu. Daya listrik 11 KV mengalir di perkampungan, PABX dioperasikan untuk mendukung fleksibilitas komunikasi. Jaringan internet tanpa kabel dapat diakses di semua titik di kampung kecil itu.

Sampai di sini, saya berhenti mengembara ke masa lalu, dan membawanya melompat ke mimpi-mimpi di masa depan. Ciaaaat….

(Kompas, 5 Agustus 2007, Rubrik PERJALANAN, Hal 25)

 

Perjalanan

Minggu, 05 Agustus 2007

Sejarah

Suluh Kegelapan

Kampoeng Percik didirikan oleh Komunitas Percik: Persemaian Cinta Kemanusiaan, lembaga independen di bidang penelitian sosial, demokrasi, dan keadilan sosial.

Lembaga itu didirikan pada 1 Februari 1996 oleh sekelompok ilmuwan di Salatiga, terdiri dari sejumlah peneliti sosial, pengajar di universitas, serta aktivis di bidang bantuan hukum dan pengorganisasian masyarakat.

Mereka adalah sebagian dari staf akademik sebuah universitas di Salatiga yang dipaksa keluar karena ketidaksesuaian prinsip. Komunitas yang pada masa Orde Baru dituduh sebagai organisasi tanpa bentuk oleh penguasa militer di Jawa Tengah itu terus memperjuangkan proses demokratis di setiap lini kehidupan.

Percik memberi perhatian pada politik lokal, pluralisme masyarakat dan budaya, civil society dan hukum, serta hak asasi manusia yang dituangkan dalam tiga kegiatan, yaitu penelitian (politik dan agama lokal), seminar-diskusi- lokakarya, serta advokasi.

Istilah lokal dipilih untuk memberi penegasan pada pentingnya kepekaan terhadap realitas setempat menyangkut kehidupan sehari-hari.

Mereka memberi tempat terhormat pada teologi lokal, yakni semua bentuk atau jenis refleksi iman yang menggunakan sumber-sumber lokal. Di situ ditemukan sumber-sumber kearifan dalam hubungan-hubungan di dalam semesta; antarmanusia, manusia dengan alam, dan manusia dengan Sang Maha Pencipta.

Seperti dikatakan empu hukum di Indonesia, Prof Soetandyo Wiryosoebroto saat ulang tahun ke-10 Percik. Percik, katanya, ibarat lilin kecil yang mencoba menyuluhi kegelapan di sekitarnya. Lilin melambangkan otonomi dan keberdayaan manusia. Percik telah membuktikannya di masa lampau dan semoga akan seterusnya demikian…. (MH)

 http://www.kompas. co.id/

(Kompas, 5 Agustus 2007, Rubrik PERJALANAN, Hal 25)

Tentang Penulis

Berita lainnya