Program Community Oriented Policing (COP)/Perpolisian Masyarakat (Polmas):
Menyemai Benih Saling Percaya antara Polisi dan Masyarakat
Setelah jatuhnya rezim Orde Baru, terjadi tuntutan perubahan (reformasi) di berbagai bidang kehidupan di Indonesia, sebagai salah satunya tuntutan perubahan di institusi Kepolisian Republik Indonesia. Sebab, di masa Orde Baru, Polri mendapatkan sorotan dari dalam maupun luar negeri mengenai pelanggaran HAM di masa lalu dan pelayanan publik yang belum memuaskan masyarakat.
Tuntutan itu direspon oleh pemerintah dengan terlebih dahulu memisahkan Polri dari TNI (dulu ABRI), dan mendorong reformasi instrumental, struktural dan kultural. Namun demikian, dorongan tersebut tidak serta merta merubah watak dan perilaku Polri begitu saja. Perlu dukungan berbagai pihak untuk mewujudkan polisi sipil yang professional.
Percik sebagai bagian dari bangsa ingin turut serta dalam mewujudkan polisi sipil yang professional, dengan melibatkan partisipasi masyarakat melalui Program Community Oriented Policing (COP)/Perpolisian Masyarakat (Polmas), dengan dukungan The Asia Foundation.
Memajukan Polisi Sipil yang Profesional di Aras Lokal Melalui Program COP
Upaya untuk mereformasi Polri tidak bisa dibebankan kepada Polri dan Pemerintah. Diperlukan partisipasi masyarakat luas mewujudkan polisi sipil dan professional. Dukungan dari masyarakat tidak bisa diwujudkan begitu saja karena citra polisi di tengah-tengah masyarakat masih buruk. Padahal Polri sedang berupaya untuk mereformasi dirinya.
Salah satu program yang dianggap efektif untuk mendekatkan relasi antara polisi dan masyarakat yaitu melalui Program Community Oriented Policing (COP) agar tercipta kemitraan yang dilandasi oleh saling percaya dan saling membutuhkan. Atas pertimbangan itu, Percik berupaya untuk mengkampanyekan Program COP. Ide dasar program ini disambut baik oleh Kapolda Jateng (ketika itu Irjen. Chairul Rasjid). Selain itu, dukungan program juga diberikan oleh Irjen. Farouk Muhammad (eks. Gubernur PTIK Jakarta). Dan Percik menginisiasi program COP di wilayah Kepolisian Resor (Polres) Salatiga, sebagai sebuah pilot project, pada akhir tahun 2004.
Untuk mengetahui aspek-aspek yang dibutuhkan dalam membangun relasi antara polisi dan masyarakat, Percik melaksanakan kegiatan need assessment. Pasca penelitian itu, ada berbagai kegiatan untuk mendekatkan masyarakat dan sekaligus mengontrol kinerja polisi. Kegiatan-kegiatan itu di antaranya sosialisasi COP melalui cultural event dan olah raga, seminar, workshop dan process documentation research untuk mendokumentasikan kegiatan-kegiatan yang telah terlaksana. Selain itu, Percik juga menerbitkan Buletin Kenthongan sebagai media untuk mengkampanyekan Program COP.
Percik juga menginisiasi terbentuknya Kelompok Kerja (Pokja) untuk merancang dan mengimplementasikan kegiatan-kegiatan antara polisi dan masyarakat. Pokja secara berkala -paling tidak sebulan sekali- mengadakan pertemuan berkala untuk membahas isu-isu di seputar pelayanan publik oleh polisi kepada masyarakat, dan partisipasi masyarakat untuk turut serta dalam menjaga keamanan lingkungannya.
Pengembangan Kapasitas Anggota Polri dan Penggiat COP mengenai COP
Percik tidak saja mengkampanyekan COP/Polmas tapi juga mengajak belajar bersama mengenai COP . Selain itu, materi yang didiskusikan yaitu tentang Penegakan Hak Asasi Manusia, Membangun Komunikasi, Penggalian dan Penyampaian Aspirasi, serta Isu di seputar Pelayanan Publik dan Manajemen Konflik.
Dalam belajar bersama ini, Percik bekerja sama dengan Kepolisian Daerah Jawa Tengah, dan beberapa Kepolisian Resor (Polres) di Salatiga, Semarang dan Magelang. Selain itu, Percik juga mengajak penggiat Polmas (tokoh masyarakat, tokoh agama, birokrat dan tokoh perempuan) untuk turut serta dalam proses belajar mengajar mengenai COP. Sementara itu, peserta belajar bersama dari kepolisian tidak saja dari fungsi Binmas (dulu Fungsi Bina Mitra), tapi juga berasal dari fungsi-fungsi lain, seperti Fungsi Lalu Lintas, Reserse dan Kriminal, Sabhara, Babinkamtibmas dan SPK. Proses belajar bersama ini telah terselenggara sejak tahun 2006/2007, di Kota Salatiga dan di tahun-tahun berikutnya merambah ke wilayah Semarang dan Magelang.
Materi yang didiskusikan berupa Modul COP yang disusun oleh Percik bersama-sama Polres Salatiga, yang kemudian dimodifikasi sesuai dengan konteks yang melingkupinya, dan digunakan untuk kepentingan belajar bersama di wilayah Semarang dan Magelang. Proses belejar bersama dilaksanakan dalam kurun waktu dua hari, yang rata-rata diikuti oleh 30 s/d 40 peserta.
Bagi Penggiat COP, proses belajar bersama ini dimaksudkan agar Penggiat COP memahami mengenai substansi COP. Bahwa Penggiat Polmas merupakan mitra polisi dalam menjaga Kamtibmas dan mendorong polisi untuk memberikan pelayan public yang lebih baik kepada masyarakat. Sementara itu, bagi anggota Polri, proses belajar bersama ini dimaksudkan agar anggota Polri lebih memahami mengenai kebijakan Polri tentang Polmas, dan lebih terdorong untuk memberikan pelayanan public yang lebih baik serta menghargai Hak Asasi Manusia.
Percik telah melaksanakan proses belajar bersama COP bagi beberapa penggiat Polmas di 22 kelurahan di Kota Salatiga,Penggiat Polmas di tiga kecamatan di Kabupaten Magelang (Kecamatan Borobudur, Kecamatan Tempuran, dan Kecamatan Srumbung) dan Penggiat Polmas di beberapa kecamatan di Kabupaten Semarang (Kecamatan Suruh, Kecamatan Tuntang dan Kecamatan Banyubiru).
Percik juga sedang bekerjasama dengan beberapa perguruan tinggi, seperti Sekolah Tinggi Agama Islam Negeri (STAIN) Salatiga, Universitas Muhammadiyah Megelang (UMM) dan UNDARIS Ungaran. Kerjasama ini dimaksudkan agar perguruan tinggi melalui mahasiswa menjadi fasilitator dan katalisator masyarakat dalam pelayanan keamanan oleh polisi dan pemerintah setempat, melalui program COP.
COP , Advokasi Kebijakan dan Promosi Kebebasan Beragama
Promosi dan pengembangan COP bukan merupakan tanggung jawab institusi kepolisian, tapi juga stakeholder lainnya, seperti masyarakat, kelompok keagamaan dan pemerintah (pusat s/d kelurahan). Selain kemitraan, salah satu tujuan COP yaitu mendorong pelayanan pemerintah yang lebih prima di sector keamanan. Pada fase awal, Percik bersama Polres Salatiga mendorong Pemerintah Kota Salatiga untuk memberikan dukungan atas pelaksanaan program COP di Kota Salatiga. Pemkot Salatiga merespon secara positif dan mendukung pelaksanaan Program COP di Kota Salatiga, baik berupa sarana dan prasara maupun stimulasi anggaran untuk kegiatan para penggiat Polmas.
Pada fase selanjutnya, Percik bekerjasama dengan Polda Jateng dan Pemprov. Jateng, mendorong seluruh Pemerintah Kabupaten/Kota dan seluruh Polres di Jateng agar membangun kerjasama dalam pelaksanaan Program COP di wilayah kerjanya masing-masing. Saat ini, Polda dan Pemprov Jateng sedang mengembangkan Memorandum of Understanding (MOU) mengenai pelaksanaan Polmas di Jateng.
Percik juga bekerjasama dengan Polda Jateng, Polres Salatiga, Polres Magelang, Polres Semarang, Tokoh dan Lemabaga Keagamaan, Masyarakat dan Pemerintah Daerah untuk memperomosikan nilai-nilai pluralisme di tengah masyarakat. Dukungan Polda Jateng atas program ini disampaikan oleh mantan Kapolda Jateng Irjen. Alex Bambang Riatmodjo ketika menjadi keynote speaker dalam Sarasehan Tokoh Lintas Agama, dengan tema: “Mendorong Kemitraan antara Polri, Toma dan Tokoh Lintas Agama dalam Polmas guna Mewujudkan Keamanan serta Menumbuhkan Sikap Toleransi Kehidupan Beragama”.
Percik menyadari bahwa konflik keagamaan tidak bisa ditangani oleh institusi Polri, tetapi harus melibatkan berbagai pihak. Untuk itu, Percik juga mendorong kerjasama berbagai komponen seperti pemerintah, tokoh dan lembaga keagamaan, tokoh masyarakat, LSM, Penggiat Polmas dan perguruan tinggi. Ada pula kegiatan seperti semiloka tentang “Mengembangkan Pengelolaan Keamanan yang Damai dalam Masyarakat Multikultural”, Perempuan Dalam Perspektif Keamanan dan Kebebasan Beragama di Tingkat Lokal”, termasuk pelatihan bagi anggota polisi dalam penanganan konflik keagamaan.
Percik memandang bahwa pengembangan COP dikaitkan dengan kebebasan beragama dilatarbelakangi oleh masih adanya problem serius dalam kaitan dengan kehidupan keagamaan di Indonesia yang masih diwarnai oleh tindak kekerasan. Padahal UUD 45 telah memberikan jaminan mengenai kebebasan dalam memeluk agama dan kepercayaan setiap warga negara. Karena itu perlu upaya untuk mensinergikan berbagai komponen tadi mendorong pelaksanaan kebebasan memeluk agama dan kepercayaan setiap warga negara, serta mencegah radikalisasi keagamaan di tengah-tengah masyarakat.