Sebuah foto memperlihatkan seorang wanita Eropa yang mengenakan rok panjang warna gelap, blus putih, dan topi lebar tampak sedang berdiri di tepian kolam; sementara itu beberapa anak-anak Eropamenikmati segarnya air yang jernih di kolam renang Kalitaman Salatiga pada tahun 1920-an. Foto-foto lainnya memperlihatkan keindahan beberapa spot di wilayah itu pada masa kolonial silam. Eddy Supangkat, penulis buku Salatiga Sketsa Kota Lama, membawa para peserta talkshow dan forum belajar bersama dalam peringatan Hari Air Sedunia 2019 untuk menengok romantisme keindahan Kalitaman tempo dulu.
Setelah ditetapkan sebagai gemeente atau kotapraja pada masa kolonial,Salatiga memang menjadi daerah populer bagi orang-orang Eropa untuk tinggal. Wilayahnya yang sejuk, subur, dengan panorama Gunung Merbabu menjadi magnet tersendiri bagi kota ini pada masa itu. Berbagai fasilitas pun kemudian dibangun oleh pemerintah kolonial, dari pemukiman yang tertata dengan baik dan asri sampai dengan pusat-pusat rekreasi, sepertitaman dan Kolam Renang Kalitaman.
Namun sayang sekali, fasilitas-fasilitas yang ada pada masa itu, hanya diutamakan dan bahkan eksklusif untuk orang-orang Eropa. Hotel Kalitaman kala itu bahkan memiliki papan pengumuman yang bertuliskan verboden voor hoden en inlanders (anjing dan pribumi dilarang masuk). Dari foto-foto yang ditunjukkan oleh Eddy di Kolam Renang Kalitaman pun tak tampak ada seorang pribumi yang berenang bersama dengan orang-orang Eropa. Ada semacam diskriminasi rasial yang cukup kentara dalam hal penataan kota dan pengelolaan air pada saat itu.
Aspek pengelolaan air di Kalitaman pada masa kolonial itu menjadi salah satu pokok bahasan acara talk showdan belajar bersama mengenai “Air untuk Semua”yang merupakan bagian dari rangkaian kegiatan peringatan Hari Air Sedunia di Kota Salatiga pada tanggal 23-24 Maret 2019.
Kegiatan ini diselenggarakan oleh Warga RW 04 Kalitaman bekerja bersama dengan Pemerintah Kotadan berbagai Komunitas, antara lain Tanam Untuk Kehidupan (TUK), Ijo Lumut, Salatiga Peduli, 1001 Pendaki Tanam Pohon, Komunitas Punk, Clean The City, Forum Lintas Iman Sobat Muda, Lembaga Percik, dan berbagai komunitas berbasis kesenian di Salatiga.
Tahun 2019 ini, Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) mengusung tema “Leaving No One Behind” (jangan ada yang tertinggal) dalam peringatan Hari Air Sedunia. Air adalah hak asasi bagi siapapun dan dimanapun. Apapun warna kulit, agama, bahasa, budaya, semuanya berhak untuk air bersih. Di Salatiga, tema peringatan ini diadaptasi menjadi “Air Bersih Untuk Semua”.
Para peserta cukup antusias dalam berpartisipasi dalam talkshow ini. Seorang peserta memberi tanggapan bahwa masyarakat memang perlu belajar dari sejarah. Indonesia telah menjadi negara merdeka dan air sangat mungkin bisa dikelola sendiri dan dimanfaatkan untuk semua. Oleh sebab itu, sudah menjadi kewajiban moral bersama agar keberlanjutan kelestarian sumber air tetap terjaga untuk generasi-generasi selanjutnya.
Kalitaman Belajar dari Persoalan di Sungai Citarum
Selain Eddy Supangkat, narasumber lain dalam talkshow ini adalah Haryani Saptaningtyas, peneliti Lembaga Percik dan kandidat doktor di Radboud University, Nijmegen, Belanda. Haryani melakukan penelitian untuk disertasinya seputar tantangan dan persoalan di Sungai Citarum, salah satu sungai paling tercemar di dunia.
Penanganan pencemaran Sungai Citarum telah dilakukan selama bertahun-tahun dengan berbagai teknologi yang digunakan. Meskipun penanganan itu saat ini telah menunjukkan hal yang menggembirakan, namun harus diakui bahwa hasilnya belumlah maksimal. Salah satu aspek yang kurang mendapatkan perhatian yaitu persoalan perilaku manusia. Contoh menarik adalah ketika sebuah program sanitasi digulirkan dengan membangun toilet-toilet bersama agar orang-orang tidak buang air di sungai, toilet yang telah dibangun tidak terpakai karena orang-orang terutama Muslim tidak bersedia buang air di toilet yang menghadap ke arah kiblat. Walhasil, buang air besar tetap saja dilakukan sembarangan di sungai. Ini menunjukkan bahwa pelaksanaan program harusnya mempertimbangkan perilaku-perilaku manusia.
Persoalan lain adalah tentang cara pandang pengelolaan air. Pengelolaan Sungai Citarum telah diupayakan secara terintegrasi, namun sayangnya tidak holistik. Penyelesaian masalah hanya berpusat pada air danmelupakan keterkaitan sungai, tanah dan hak hidup makhluk diatasnya.
Menurut Haryani, masyarakat Kalitaman Salatiga telah memiliki modal sosial untuk mengelola sumber daya air. Komitmen awal untuk memulai menjaga kelestarian air telah muncul dari masyarakat.Perilaku manusia dan cara pandang yang holistik perlu diberi perhatian agar inisatif bersama pelestarian sesuai dengan tujuannya. Budaya dan agama-agama bisa menjadi sumber inspirasi bagi pengelolaan air yang pro lingkungan dan keadilan. (Ambar Istiyani)