Penggunaan teknologi digital seperti internet dan video game sudah tidak asing lagi bagi sebagian besar anak-anak yang tergolong Generasi Z. Mereka yang lahir setelah tahun 1995 inilah yang biasa dikenal sebagai Generasi Z. Teknologi digital memang menawarkan berbagai kemudahan seperti mencari informasi ataupun menambah teman. Namun di sisi yang lain tak terelakan juga berbagai tantangan yang dihadapi anak-anak Generasi Z ini. Anak-anak Generasi Z, khususnya mereka yang sedang memasuki masa pubertas juga memiliki persoalan tersendiri.
Menanggapi kondisi demikian, Yayasan Percik-Salatiga bekerjasama dengan SD Marsudirini 77 Salatiga menyelenggarakan sarasehan dan belajar bersama tentang Kesehatan Reproduksi dan Penggunaan Gawai yang Tepat bagi Anak-anak. Materi pembelajaran menyangkut mengenal organ-organ reproduksi pada laki-laki dan perempuan, bagaimana menjaga kesehatan organ reproduksi, peran orang tua dalam mendampingi anak-anak yang memasuki masa pubertas, serta penggunaan gawai yang tepat sesuai perkembangan usia anak. Ikut hadir dalam kegiatan ini adalah siswa-siswi terutama kelas 5, para orang tua siswa dari SD Marsudirini 77. Selain itu beberapa guru dan orang tua dari Madrasah Ibtidaiyah Ma’arif turut hadir dalam kegiatan ini. Kegiatan yang diselenggarakan pada Sabtu, 13 April 2019 bertempat di Kampoeng Percik Salatiga.
Mengenalkan organ reproduksi kepada anak-anak
Margaretta Erna S., MA., Psi. dosen Fakultas Psikologi UKSW Salatiga bersama sejumlah mahasiswa memfasilitasi anak-anak untuk mengenal organ-organ reproduksi pada laki-laki dan perempuan serta bagaimana menjaga organ reproduksi. Tidak bisa dipungkiri bahwa trend anak-anak masa kini telah akrab dengan gawai. Oleh karena itu bagaimana sebaiknya anak-anak memanfaatkan gawai sesuai usia perkembangannya juga menjadi bagian materi yang tak terpisahkan.
Untuk membangun suasana rileks, beberapa mahasiswa mengawali acara dengan sebuah permainan yang melibatkan anak-anak. Dan terciptalah gelak tawa serta keceriaan anak-anak memenuhi salah satu ruangan joglo di Kampoeng Percik.
Di sebuah dinding terpampang gambar tubuh manusia. Satu per satu anak yang ditunjuk diminta maju. Lalu, anak-anak tersebut menempelkan tulisan nama organ yang ditanyakan. Apakah organ tubuh laki-laki ataupun perempuan. Tidak semua anak yang maju menempel tulisan nama organ dengan benar. Dan keriuhan pun menjadi sebuah pemandangan di kelas itu.
Selanjutnya anak-anak diajak untuk mengenali perubahan-perubahan fisik yang terjadi ketika memasuki masa pubertas. Seperti menstruasi pada perempuan, mimpi basah dan tumbuh bulu kaki pada laki-laki. Kemudian diantara anak-anak ada yang bersedia menceritakan pengalaman-pengalamannya. Melalui sebuah tayangan film kartun, anak-anak diberikan pengetahuan tentang bagaimana seharusnya menjaga tubuh mereka. Bagian tubuh mana yang merupakan area privat yang tidak sembarangan orang boleh melihat atau bahkan memegangnya.
Materi yang juga penting disampaikan adalah tentang penggunaan gawai yang sesuai perkembangan usia mereka. Belum saatnya pada usia mereka membuka situs-situs yang mengarah pada pornografi. Materi ini penting diberikan sebab diantara anak-anak cenderung telah akrab dengan gawai. Tak terelakkan anak-anak bisa mengakses situs-situs dewasa yang berseliweran, yang sebenarnya tidak sesuai usia mereka. Kepada anak-anak Margaretta Erna menyampaikan bahwa belum saatnya anak-anak mengetahui tentang pornografi. Pornografi adalah hal yang masih di luar jangkauan anak-anak. Bahaya konten pornografi antara lain akan menimbulkan ikatan emosional dengan dunia maya, meniru apa yang dilihat, dan otak menuntut pemenuhan kebutuhannya (kecanduan). Sebab jika anak-anak sering mengakses pornografi, bisa menjadi kecanduan yang akan merusak otak bagian depan (pre–frontal cortex), yang berfungsi sebagai pusat dalam pengambilan keputusan.
Aktivitas anak-remaja adalah belajar. Kemajuan teknologi berupa internet sebaiknya dipergunakan anak-remaja untuk hal-hal yang sehat, seperti mencari informasi dan menambah teman. Di akhir diskusi kelompok, anak-anak diajak berkomitmen bersama dengan bergandengan tangan sambil mengatakan “say no to porn” dan mengisi masa anak remaja dengan hal-hal yang positif. Margaretta Erna menekankan kepada anak-anak yang saat ini sedang memasuki masa remaja yang membawa tanggung jawab tidak hanya secara akademis tetapi juga tentang kehidupan sosial.
Peran Orang Tua
Tantangan yang dihadapi anak-anak Generasi Z saat ini antara lain adalah orang tua (yang dalam usia produktif) makin sibuk dengan pekerjaan. Kondisi demikian menjadikan relasi dengan anak/keluarga semakin berkurang. Atau bahkan juga orang tua yang semakin asyik dengan gawainya sendiri. Salah satu yang perlu dikhawatirkan adalah paparan konten pornografi yang bisa saja melingkupi tumbuh kembang anak-anak.
Menurut Dr. Wahyuni Kristinawati, M.Si., Psi. – dosen Fakultas Psikologi UKSW Salatiga, konten pornografi bisa membahayakan anak. Antara lain bisa menimbulkan ikatan emosional anak dengan dunia maya. Ikatan dengan dunia maya dapat semakin meningkat terutama bila relasi interpersonal dengan orang lain semakin renggang. Selanjutnya, meniru apa yang dilihat – anak adalah peniru yang baik. Secara umum anak lebih mudah melakukan apa yang dilihat daripada apa yang didengar. Dampak yang paling ditakuti adalah terjadinya kecanduan, yang berakibat otak menuntut pemenuhan kebutuhannya. Studi menunjukkan bahwa fungsi otak berubah pada seseorang yang memiliki kecanduan – sama dalam semua kecanduan: alkohol, obat-obatan, atau pornografi. Kecanduan menyebabkan kerusakan otak pada pre-frontal cortex (otak bagian depan) yang berfungsi sebagai pusat pengambilan keputusan, pusat konsentrasi, pusat berpikir kritis, pusat pertimbangan, dan perencanaan.
Memang kerapkali kita mendapati anak-anak seusia Sekolah Dasar telah memiliki gawai (Handphone/Smartphone) sendiri. Namun seberapa penting gawai bagi mereka? Tentang hal ini Prof. Dr. Ir. Eko Sediyono., M. Kom – dosen Fakultas Teknologi Informasi UKSW Salatiga berpendapat bahwa semua tergantung dari tujuan pengasuhan anak-anak dalam keluarga. Gawai bisa memberi dampak positif sekaligus negatif. Seberapa sering anak menggunakan gawai? Apakah anak sudah disiapkan untuk bertanggung jawab dalam menggunakan gawai?. Seberapa jauh orang tua bisa mendampingi anak-anak dalam menggunakan gawai? Jika pertanyaan-pertanyaan itu bisa dijawab orang tua maka anak-anak akan memperoleh dampak positifnya.
Lebih lanjut, Wahyuni Kristinawati berpendapat untuk meminimalisir dampak negatif, maka yang bisa dilakukan orang tua antara lain adalah : meningkatkan dukungan sosial (social support) antar orang tua. Upaya ini dapat dilakukan dengan cara : saling mendukung dan mengingatkan; mengoptimalkan fungsi WhatsApp grup/media sosial lain; serta saling meningkatkan wawasan parenting yang efektif di jaman milleneal.
Salah seorang orang tua membagi pengalamannya. Di dalam keluarganya menyepakati aturan dalam bermain gawai bagi anak-anaknya. Keluarganya menyepakati penentuan suatu ruangan bagi anak-anak yang sedang bermain gawai. Ruangan tersebut dipilih yang letaknya memudahkan anggota keluarga untuk bisa saling bertemu, berinteraksi, dan berkomunikasi. Cara ini dipilih supaya fungsi pendampingan dan kontrol juga bisa diterapkan saat anak-anak sedang bermain gawai.
Suasana pagi hingga siang hari itu ditandai dengan cuaca yang berubah dari panas menjadi hujan. Namun hujan yang sempat mengguyur Kampoeng Percik pada hari itu tak menyurutkan semangat untuk saling belajar bersama. Anak-anak dengan penuh ceria dan semangat mengikuti acara hingga usai. Begitu pun para orang tua tampak antusias menyimak, mendiskusikan, dan membagi pengalaman dalam pengasuhan anak-anak. [Bernadeta Rorita Dewi, Cicilia Dwi Wuryaningsih]