Kurang lebih hanya tiga puluh menit dari Kota Salatiga, para peserta live-in lintas iman Sobat Muda diajak menuju ke sebuah desa majemuk di Kabupaten Semarang.
Adalah Desa Plumbon, sebuah desa di Kabupaten Semarang yang setahun silam meraih predikat desa terbaik pelaksana kegotongroyongan tingkat Jawa Tengah. Dinilai dari aspek usaha ekonomi produktif warga, mutu lingkungan hidup, sosial budaya, dan aspek kemasyarakatan, Desa Plumbon paling unggul di antara ribuan desa lainnya di Jawa Tengah.
Tidak hanya pada momentum tertentu, nilai-nilai gotong royong tercermin pada semangat guyup rukun sehari-hari warga Desa Plumbon. Kesenian kreasi masyarakat pun cukup berkembang di desa ini, termasuk drumblek dan rodatan (semacam paduan suara dengan lagu-lagu religi).
Desa Plumbon adalah desa yang cukup majemuk dalam hal latar belakang agama penduduknya. Terdapat beberapa tempat ibadah yang berdiri di desa ini, antara lain Masjid Nur Khasanah, Gereja Katolik Santo Petrus, dan Vihara Kanti Dhamma. Meskipun majemuk, masyarakatnya hidup berdampingan dengan toleran dan damai.
Untuk itulah live in lintas iman dan belajar bersama Sobat Muda tahun 2019 ini dilaksanakan di Desa Plumbon, Kecamatan Suruh, Kabupaten Semarang mengambil tema “Gotong Royong untuk Merawat Toleransi dan Perdamaian.” Sobat Muda adalah gerakan lintas iman yang terinspirasi oleh gerakan Sobat yang diprakarsai oleh Lembaga Percik Salatiga, Pondok Pesantren Edi Mancoro, dan Sinode Gereja Kristen Jawa di Salatiga. Live in lintas iman adalah kegiatan tahunan yang digagas oleh gerakan Sobat Muda.
Belajar Langsung dari Sumbernya
Kegiatan live in lintas iman Sobat Muda ini dilaksanakan tanggal 27-29 September 2019 yang diikuti oleh 40 orang peserta yang terdiri dari berbagai perwakilan lembaga/komunitas di Salatiga dan sekitarnya. Mereka tinggal di rumah-rumah masyarakat Dusun Seban, salah satu dusun yang paling majemuk di Desa Plumbon.
Bagi sebagian peserta, kegiatan lintas iman bukanlah hal yang baru. Meski demikian, live in lintas iman ini agak berbeda dengan kegiatan lintas iman lainnya. Linda dari Sekolah Tinggi Agama Buddha (STiAB) Smaratungga Ampel, misalnya mengatakan bahwa “saya pernah mengikuti kegiatan lintas iman sebelumnya, tapi di sini para peserta bisa belajar langsung tentang praktek sehari-hari hubungan masyarakat berbeda agama.”
Para peserta juga diajak untuk mempraktekkan langsung gotong royong kerja bakti membersihkan lingkungan dusun, dan tempat-tempat ibadah yang ada, termasuk tiga musholla dan satu vihara. Rudi, mahasiswa Sekolah Tinggi Agama Buddha Syailendra, Kopeng memberi kesan bahwa “Pada hari kedua merupakan hal yang tidak bisa ditemui setiap hari karena pada hari itu kita bisa belajar tentang agama Islam dan Buddha. Selain itu, yang beragama Islam bisa membersihkan vihara dan itu merupakan hal yang tidak bisa dijumpai setiap hari.”
Selepas gotong royong kerja bakti, pada sesi tertentu para peserta diajak berdialog bersama dengan tokoh agama di masing-masing tempat ibadah. Dialog bersama yang langsung dari sumbernya, diharapkan dapat meminimalisir prasangka-prasangka yang ada di antara kaum muda lintas iman.
Setelah mendengarkan paparan dua narasumber dari perspektif Islam dan Kristen, Sofi Rahman, seorang dari Pondok Pesantren Edi Mancoro menyimpulkan bahwa: “Ajaran Kristen mengajarkan kasih sayang baik sesama manusia maupun Tuhan; serta mengajarkan budi pekerti. Ajaran Islam juga mengajarkan ukhuwah Islamiyah, Insaniyah, dan Wathaniyah. Sehingga, sesungguhnya dalam hal kasih sayang, keduanya mengajarkan hal yang sama yaitu sama-sama mengajarkan kasih sayang sesama manusia meskipun berbeda iman.” (amb)