FASYA- (Senin-Selasa, 28-29 09/2020), Himpunan Mahasiswa Program Studi (HMPS) Hukum Keluarga Islam mengadakan acara seminar. Seminar terasa berbeda dari biasanya, sebab diselenggarakan dua sesi.
Sesi pertama Senin (28/9/2020) dan kedua Selasa (29/9/2020). Pelaksanaan seminar bertempat di Ruang Rapat Lantai 1 Fakultas Syariah.
Acara tersebut berjudul “Urgensi Pengesahan Rancangan Undang-undang Penghapusan Kekerasan Seksual (PKS)” yang sangat cocok diangkat lantaran kasus kekerasan seksual sudah merebak di masyarakat dan tak kunjung selesai penindakannya.
Kaprodi Hukum Keluarga Islam, Muhammad Zumar Aminuddin, S.Ag., M.H. dalam sambutannya pada sesi pertama mengatakan, “Seminar kali ini sangat bagus sebab di dalam kurikulum HKI yang baru terdapat bagaimana prodi HKI merespon kebijakan yang diambil oleh pemerintah,” ujarnya.
Pada sesi kedua, Wakil Dekan III Bagian Kemahasiswaan dan Kerja Sama, Dr. Aris Widodo, S.Ag., M.A. menambahkan, “Acara kali ini sangat sejalan dengan realita yang ada, yaitu bahwa RUU ini memang sangat penting segera disahkan untuk menangani kasus-kasus kekerasan seksual yang ada,” ungkapnya.
Tak lupa, ketua HMPS HKI, Roudhotul Jannah dan juga ketua panitia, Muhammad Nafis Adabi, mengucapkan terima kasih kepada peserta dan juga panitia yang telah memeriahkan seminar ini. Meskipun di masa pandemi, tak disangka antusias peserta sangat tinggi.
Sasaran utama peserta seminar ialah mahasiswa-mahasiswi Fakultas Syariah. Tampaknya mereka sangat antusias dalam mengikuti seminar. Sebab setelah pamflet disebar di beberapa jejaring media sosial dalam tenggang waktu hanya beberapa menit pendaftar sudah memenuhi kursi yang disediakan panitia. Ada banyak peserta yang tak kebagian kursi, lantaran jumlah kouta peserta sudah penuh.
Acara ini menghadirkan dua narasumber, yaitu Haryani Saptaningtyas, S.P., M.Sc., PhD Cand. dosen Fakultas Syariah juga Direktur Percik Institute dan Elizabeth Yulianti, S.H., M.Hum. yang merupakan advokat di Solidaritas Perempuan untuk Kemanusiaan dan Hak Asasi Manusia (SPEK-HAM) Surakarta.
Jika menilik pemaparan dari kedua narasumber, kita diajak untuk berkelok-kelok dalam mengupas kenapa sih RUU PKS ini perlu segara disahkan?
Haryani Saptaningtyas memaparkan dari jalan akademis bagaimana perempuan dari zaman Orde Baru diperlakukan sampai sekarang. Kemudian ia membeberkan secara gamblang bagaimana RUU ini terus dipermainkan oleh DPR dan tak kunjung disahkan.
Dengan menyebutkan pihak-pihak pro-kontra di balik belakang panggung RUU PKS. Sampai ia mengatakan bahwa, “Isu perempuan adalah panggung politik tingkat nasional.”
Sementara Elizabeth Yulianti memandang RUU PKS dari kacamata yang berbeda. Sebagai advokat di SPEK-HAM, ia menangani kasus kekerasan seksual.
Berbagai data ditampilkan dan ia menceritakan bagaimana keluh-kesah tatkala sedang menangani korban kekerasan seksual. Elizabeth seoalah mengajak peserta untuk merasakan menjadi dirinya–pendamping korban kekerasan seksual.
Jadi, kedua narasumber berhasil menelanjangi makna kenapa RUU PKS harus segera disahkan. Entah nama Rancangan Undang-Undang tersebut diganti dengan RUU Pungkas, itu tak masalah.
Sebab yang dibutuhkan sekarang adalah Undang-Undang khusus yang mengatur bagaimana kita harus mendengarkan suara korban kekerasan seksual bukan malah menyalahkan korban. Sebab yang sering digaungkan selama ini adalah “Pengakuan korban dianggap rendah derajatnya alih-alih pengakuan pelaku”. (MBU/MP/ Ed. dw)