Pandemi Covid-19 dan Solidaritas Sosial Komunitas Warga
Lintas Batas[1]
Oleh: Singgih Nugroho
(Peneliti Yayasan Percik dan Ketua Satgas Penanganan Covid-19 Tingkat RW di Salatiga)
Pandemi Covid-19 telah berdampak kepada terjadinya krisis kesehatan dan ekonomi di tingkat global, termasuk di Indonesia. Dalam situasi muram itu, pandemi juga telah memantik munculnya solidaritas sosial masyarakat dari berbagai kalangan dan tingkatan, termasuk komunitas lokal. Tulisan ini hendak mendokumentasikan beragam pemantik dan bentuk kesetiakawanan sosial tersebut.
Pandemi Covid-19 Belum Usai
Pada saat tulisan ini disampaikan, kita telah menjalani kehidupan masa pandemi Covid-19 kurang lebih 2,5 tahun. Wabah Coronavirus Disease atau Covid-19 telah ditetapkan WHO (World Health Organization), badan kesehatan PBB, sebagai pandemi global pada 11 Maret 2020 lalu. Keputusan WHO itu dikeluarkan ketika virus corona telah menyebar di 118 negara dan menginfeksi lebih dari 121.000 orang di Asia, Eropa, Timur Tengah, dan Amerika. (Kompas.com, 11/03/2021).
Sejumlah literatur ilmiah menunjukkan bahwa Covid-19 berasal dari kelompok virus korona mematikan (SARS-CoV-2) yang awalnya hanya menginfeksi kelelawar dan trenggiling di Asia dan Asia Tenggara. Virus ini lalu terdeteksi menginfeksi manusia di Wuhan, China, akhir 2019 lalu. Pandemi Covid-19 menjadi bukti bahwa pola relasi manusia dengan hewan dan lingkungan yang eksploitatif, tidak seimbang, dan tidak berkelanjutan, bisa menghadirkan ancaman kesehatan global yang berdampak luas. Sehingga demi kelangsungan hidup manusia dan planet bumi, maka relasi kita dengan makhluk hidup lain dan lingkungan perlu diperbaiki. (Ahmad Arif/Deonisia Arlinta, Kompas, 28/06/2022).
Meski sudah berjalan lebih landai daripada masa awal kemunculan wabah ini, tapi sejauh ini WHO belum mengubah status pandemi ke endemi. Berdasarkan laporan WHO, per tanggal 23 Agustus 2022 (pukul 5:10 pm CEST), masih ada 5.174,305 kasus terbaru yang dilaporkan ke WHO di tujuh hari terakhir. Secara global kasus Covid-19 ini telah menginfeksi 594.367.247 orang, termasuk 6.451.016 kasus kematian.
Secara terperinci data per wilayah kerja WHO, kasus konfirmasi positif Covid-19 di wilayah Eropa (246.426.020 orang), Amerika (174.492.276 orang), Pasifik Barat (81.367.219 orang), Asia Tenggara (59.877.206 orang), Mediterania Timur (22.934.311 orang), dan Benua Afrika (9.269.451 kasus). Dalam kasus di Indonesia, data per 24 Agustus 2022 (jam 12.00 WIB), tercatat total konfirmasi positif Covid-19 mencapai 6.329.143 kasus, dengan angka kesembuhan mencapai 6.123.342 kasus, dan angka kematian mencapai 157.430 jiwa. (https://covid19.who.int/; https://covid19.go.id).
Ketimpangan Vaksinasi Covid-19
Satu alasan pokok mengapa WHO belum mencabut status pandemi Covid-19 adalah cakupan vaksinasi secara global masih timpang, Selama 2,5 tahun, varian Covid-19 bertambah terus dan evolusinya semakin cepat. Sementara itu ketersediaan vaksin dan program vaksinasi Covid-19 tak secepat evolusi virus. Para ahli kesehatan mempunyai konsensus, bahwa memastikan ketersediaan vaksin dan obat-obatan secara setara di seluruh dunia merupakan upaya penting dalam dalam mengakhiri pandemi. Prakteknya masih ada gab luar biasa diantara program vaksinasi di negara-negara maju dengan negara-negara miskin.
Data WHO per 16 Agustus 2022, vaksin yang telah diberikan mencapai 12.409.086.286 dosis. WHO mencatat hanya 1 persen vaksin yang disuntikkan di negara-negara miskin. Ngenes-nya, data per Juni 2022, memperlihatkan masih ada 2,8 miliar penduduk bumi yang sama sekali belum menerima satu dosis vaksin Covid-19. Situasi di Indonesia jauh lebih baik. Data pemerintah Indonesia, mencatat program Vaksinasi 1 telah diikuti 203.161.073 jiwa, Vaksinasi kedua (170.751.095 jiwa), Vaksinasi ketiga (59.717.883 orang) dan Vaksinasi ke-empat (279.574 jiwa). Meski demikian, karena relasi ketimpangan global itu masih terjadi, maka maka resiko mutasi virus SARS-CoV-2 menjadi galur baru yang tidak bisa dikurangi. (Lihathttps://covid19.who.int/; https://covid19.go.id; dan Luki Aulia dan Laraswati Ariadne Anwar, Kompas, 28/06/2022).
Dampak Ekonomi
Pandemi Covid-19 juga telah berdampak luas di berbagai bidang kehidupan manusia sejagat. Dampak itu antara lain pada terjadinya krisis kesehatan dan perekonomian global. Uraian di atas telah memperlihatkan bagaimana situasi suram dalam krisis kesehatan global sedang dipertaruhkan. Di bidang ekonomi, kebijakan pemerintah di banyak negara, termasuk Indonesia, dalam pengendalian virus Covid-19, antara lain dengan kebijakan pembatasan mobilitas/sosial berskala besar hingga mikro, telah menyebabkan resesi ekonomi global.
Sebagian besar negara maju mengalami krisis ekonomi, termasuk negara-negara berkembang, apalagi negara-negara miskin. Hanya ada tiga negara yang tercatat masih mengalami pertumbuhan ekonomi positif di masa awal pandemi tahun 2020, yaitu China (2,3 persen), Vietnam (2,9 persen), dan Taiwan (2,98 persen). Sementara negara-negara maju seperti, AS (minus 3,5 persen), Jerman (minus 5 persen), Inggris (minus 9 persen), Jepang (minus 4,9 persen), Perancis dan Jerman terkontraksi sebesar 8,2 dan 8,9 persen. Serupa dengan negara maju tersebut, kondisi perekonomian Indonesia juga mengalami pertumbuhan negatif, terkontraksi sebesar 2,07 persen. (https://kompaspedia.kompas.id/, 23/08/2021).
Di saat pandemi belum berakhir, kestabilan global diguncang perang Rusia-Ukraina, yang berdampak kepada kenaikan harga energi dan pangan, sehingga kian memperumit perekonomian global. Dampak nyata adalah jumlah penduduk miskin dan penganggur bertambah, serta kesenjangan pun melebar. Laporan Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat, persentase penduduk miskin di Indonesia sebesar 9,54% (26,16 juta orang) per Maret 2022. Angka ini turun 0,17 poin dari September 2021 yang sebesar 9,71%, terendah sejak pandemi Covid-19 melanda Tanah Air. Pada Maret 2020, misalnya, persentase penduduk miskin tercatat sebesar 9,78%. Persentase penduduk miskin terus mengalami peningkatan pada September 2020 sebesar 10,19% dan Maret 2021 sebesar 10,14%. Meski demikian, turunnya angka kemiskinan Indonesia belum mampu mencapai angka yang lebih rendah dibandingkan sebelum pandemi Covid-19. Pada September 2019, jumlah penduduk miskin tercatat 9,22 persen (24,78 juta). (Lihat Cindy Mutia Annur, https://databoks.katadata.co.id/, 21/07/2022).
Sementara angka penganggur di Indonesia, pada Februari 2022 mencapai 8,4 juta orang (5,83 persen). Angka masih cukup tinggi dibandingkan sebelum masa pagebluk. Di bulan Februari 2020, tingkat penganggur mencapai 6, 93 juta orang (4,94 persen). Angka itu sedikit lebih baik daripada di masa pandemi, Februari 2021, yang mencapai 8,75 juta jiwa (6,26 persen). Situasi itu berpengaruh besar kepada rasio gini untuk mengukur ketimpangan atau kesenjangan pendapatan penduduk. Sebelum pandemi Covid-19 pada September 2019, data BPS memperlihatkan angka rasio gini nasional sebesar 0,380. Angka itu lantas meningkat selama pandemi. Di bulan September 2020 mencapai 0,385 dan turun di September 2021 dengan skor 0,381. (Cyprianus Anto Saptowalyono dan Nina Susilo, Kompas, 28/06/2022).
Selain angka kemiskinan yang meningkat, juga muncul fenomena kontras di tengah pandemi yaitu jumlah orang kaya dan sangat kaya Indonesia tercatat meningkat. Sebagaimana diberitakan media Kontan.co.id (12/07/ 2021), dengan melansir data dari lembaga keuangan Credit Suisse, melaporkan jumlah penduduk Indonesia dengan kekayaan bersih US$ 1 juta atau lebih tercatat sebanyak 171.740 orang di tahun 2020. Jumlah ini meningkat 61,69% year on year (yoy) dari jumlah pada tahun 2019 yang sebanyak 106.215 orang. Sedangkan jumlah orang Indonesia sangat kaya atau dengan kekayaan tercatat lebih dari US$ 100 juta di tahun 2020 sebanyak 417 orang atau meningkat 22,29% (yoy) dari jumlah di tahun 2019.
Dengan situasi ini maka pemerintah di semua negara se-dunia berupaya mati-matian mengendalikan pandemi dan mengurangi orang yang tertular. Selain itu, pemerintah di banyak negara juga berupaya mengatasi kemiskinan dan mengurangi kesenjangan untuk mencegah ketegangan sosial. Pemerintah Indonesia hingga 24 Juni 2022, melaporkan total realisasi anggaran penanganan COVID-19 dan pemulihan ekonomi nasional (PC-PEN) mencapai Rp. 118,2 triliun (25,9% dari alokasi anggaran).
Secara terperinci, realisasi anggaran ini digunakan untuk sektor penanganan kesehatan sebesar Rp. 29,2 triliun (23,8%), utamanya untuk pembayaran klaim dan insentif tenaga kesehatan, insentif perpajakan vaksin/alat kesehatan, serta penanganan COVID-19 melalui Dana Desa. Selain itu, juga untuk program perlindungan masyarakat sebesar Rp. 58,9 triliun (38,1%), yang digunakan untuk berbagai program seperti Program Keluarga Harapan (PKH), Kartu Sembako, Kartu Prakerja, BLT (Bantuan Langsung Tunai) Desa, BLT Minyak Goreng, dan BT-PKLWN (Bantuan Tunai Pedagang Kaki Lima, Warung dan Nelayan). Di sektor penguatan pemulihan ekonomi dengan realisasi sebesar Rp. 30,1 triliun (16,9%) dan digunakan terutama untuk program padat karya, pariwisata dan ekonomi kreatif, ketahanan pangan, teknologi informasi dan komunikasi, kawasan industri, dukungan UMKM (subsidi bunga dan IJP), dan insentif perpajakan. (https://covid19.go.id/ 02 July 2022).
Pandemi Covid-19 dan Solidaritas Sosial
Selain peran pemerintah, upaya penanggulan pandemi dan dampaknya juga telah memantik partisipasi kelompok warga masyarakat untuk saling membantu antar sesama. Solidaritas masyarakat Indonesia di tengah berbagai kesulitan dan bencana justru tampak semakin kuat. Pandemi Covid-19 telah memunculkan fenomena kekompakan warga dari tingkat rukun tetangga (RT) dan rukun warga (RW). Kekompakan itu adalah modal sosial untuk menghadapi situasi pandemi. Sebagian aksi sosial warga itu dilakukan melalui organisasi yang diinisiasi pemerintah seperti Satgas Penanggulangan Covid-19 Tingkat Desa/Kelurahan, atau berbasis individu, komunitas hobi, dan organisasi sosial keagamaan.
Pembentukan Satgas Covid-19 itu merupakan kolaborasi antara dorongan pemerintah melalui kerangka formal kebijakan dan inisiatif kultural masyarakat. Pada Juni-Agustus 2021 lalu, Perkumpulan Prakarsa Jakarta pernah melakukan studi terhadap Satgas Penanganan Covid-19 di tingkat Desa/Kelurahan di 12 desa/kelurahan yang ada di Jakarta Selatan, Salatiga, Pandeglang, Surakarta, Mamuju, dan Kupang Tengah. Dalam laporannya berjudul, “Penanganan Covid-19 di Tingkat Desa/Kelurahan (Persepsi dan Partisipasi Masyarakat” (2022), ditemukan fakta, meski keaktifannya bervariasi tapi secara umum masyarakat menilai bahwa pemerintah dan Satgas Covid-19 tingkat desa/kelurahan lebih berperan dibanding pemerintah level kabupaten/kota, provinsi, dan pusat. Ini disebabkan karena keduanya dapat menjangkau masyarakat secara langsung, memberikan lebih banyak informasi dan sosialisasi, serta berbagai inovasi dan pendekatan lebih efektif kepada masyarakat.
Satgas Covid-19 beserta warga desa, tanpa menunggu aba-aba pemerintah, berinisiatif gotong royong dan improvisasi dalam menanggulangi Covid-19 hingga berhasil menarik Indonesia keluar dari masa kritisnya pada Juni-Agustus 2021. Improvisasi Satgas Covid-19 di desa/kelurahan antara lain ialah, (a) melakukan edukasi dan sosialisasi Covid-19 dan prtokol kesehatan, salah satunya menggunakan mobil keliling; (b) membuat media penyemprotan disinfektan seperti pada becak; (c) menggalang dan mengelola bantuan warga seperti sedekah jumat, cantelan sembako, atau lumbung pangan; (d) melakukan pendekatan persuasif kepada pelanggar kebijakan di lingkungan mereka, dan lain sebagainya. Inovasi-inovasi tersebut dapat menjadi acuan untuk penanganan Covid-19 di tingkat kabupaten/kota, pemerintah pusat, bahkan global.
Inisiatif-inisiatif ini tidak hanya dilakukan oleh mereka yang memiliki privilese atau berada pada posisi sosial yang lebih mampu. Aksi kolektif juga dilakukan oleh berbagai kelompok marginal dan rentan. Kesulitan yang mereka hadapi tidak membuat mereka berhenti peduli terhadap sesama. Sejumlah contoh, sebagaimanana didokumentasikan di laman programpeduli.org, antara lain ialah, Srikandi Peduli Covid-19 dari komunitas waria di Kabupaten Ciamis (Srikandi Panjalu dan Srikandi Patroman), dengan kegiatan pembagian masker-masker kepada warga di tempat-tempat publik. Di Aceh, Relawan Perempuan untuk Kemanusiaan (RPuK) bersama-sama menjahit masker kain untuk dibagikan ke pedagang kaki lima, tukang becak, tukang parkir, petugas kebersihan, pedagang keliling dan masyarakat kurang mampu yang rentan terpapar Covid-19.
Di daerah Duri, Jakarta Barat, komunitas waria Sanggar Swara mengumpulkan donasi untuk dibelikan sembako dan menggelar dapur umum. Pondok pesantren (Ponpes) waria Al-Fatah Yogyakarta, dibantu alumni Fisipol UGM juga menggalang dana, untuk pembelian paket sembako bagi kalangan santri waria, waria pengamen, dan waria lansia selama masa jaga jarak sosial (social distancing). Barista Inklusif, dari komunitas difabel, juga ikut memberi dukungan moril bagi tenaga kesehatan dengan mengirimkan kopi yang telah ditulisi pesan-pesan semangat dari warganet.
Salah satu gerakan yang cukup fenomenal adalah gerakan yang dinamai Sambatan Jogja (Sonjo), yang diinisiasi oleh Rimawan Pradiptyo (Dosen Fakultas Ekonomika dan Bisnis UGM). Sonjo dalam bahasa Jawa berarti silaturahmi atau berbincang-bincang informal yang umum terjadi di pedesaan. Sambatan dalam bahasa Jawa adalah bentuk gotong-royong di pedesaan untuk membangun rumah warga/sarana umum. Sonjo ini merupakan gerakan kemanusiaan fokus pada upaya membantu masyarakat yang rentan dan beresiko terhadap dampak penyebaran Covid-19 di wilayah DIY dan Jawa Tengah. Mereka menfasilitasi pertemuan para pihak yang membutuhkan bantuan (demand) dan para pihak yang ingin menyalurkan bantuan (supply). (Kompas.com – 03/04/2020)
Partisipasi kelompok masyarakat itu telah dimulai tidak lama setelah ada pengumuman resmi pemerintah tentang kasus konfimasi positif Covid-19 pada tanggal 2 Maret 2020. Laporan studi Marya Yenita Sitohang, Angga Sisca Rahadian, Puguh Prasetyoputra, peneliti Pusat Penelitian Kependudukan, Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI)—sekarang BRIN—dalam Jurnal Kependudukan Indonesia (Edisi Khusus Demografi dan COVID-19, Juli 2020: 33-38), menyebutkan kegiatan-kegiatan yang diinisiasi masyarakat di awal masa pandemi COVID-19 dapat dikelompokkan menjadi dua. Pertama, berbagai upaya mencegah penyebaran COVID-19 dan kedua adalah upaya mengurangi dampak COVID-19.
Ragam bentuk inisiatif yang dilakukan masyarakat untuk mencegah penyebaran COVID-19 antara lain ialah, (1) Melakukan karantina wilayah dengan menutup pintu portal kawasan pemukiman; (2) Penerapan protokol kesehatan yaitu penggunaan masker, mencuci tangan, jaga jarak, desinfeksi, serta adanya surat kesehatan bagi pekerja informal yang beraktivitas; (3) Penyediaan bangunan untuk isolasi mandiri bagi pendatang berupa gedung sekolah; (4) Pembuatan dan pembagian masker, handsanitizer, dan APD bagi tenaga kesehatan; (5) Penggalangan dana untuk APD tenaga kesehatan; (6) Edukasi door to door terkait perilaku hidup bersih dan sehat (PHBS) serta gerakan #dirumahaja di media sosial; (7) Selanjutnya, upaya pengurangan dampak ekonomi dari pandemi COVID-19 dilakukan melalui penggalangan dana, pemberian bantuan sembako, dan menyediakan makanan gratis bagi masyarakat terdampak yaitu pekerja sektor informal dan keluarga pra sejahtera.
Sebagian besar inisiatif yang dilakukan masyarakat muncul secara mandiri tanpa dikoordinasikan dan dikomandoi oleh pihak tertentu baik itu pemerintah daerah maupun otoritas kesehatan setempat misalnya puskesmas. Respons ini timbul dari reaksi untuk bertahan hidup dalam kondisi tidak menyenangkan dan juga pemahaman bahwa pandemi COVID-19 merupakan masalah bersama, bukan hanya individu. Selain itu, masyarakat Indonesia juga telah dilengkapi oleh modal sosial berupa budaya gotong royong serta pengalaman menghadapi bencana di masa lalu.
Sikap kedermawanan sosial warga Indonesia itu tercermin dari data CAF WORLD GIVING INDEX 2021 A global pandemic special report June 2021. Indonesia, menurut laporan yang dilansir di laman cafonline.org, merupakan negara paling dermawan di dunia. Indonesia menduduki peringkat pertama CAF World Giving Index dengan skor dari 69, naik dari 59 terakhir kali Indeks tahunan diterbitkan pada 2018, ketika itu juga menempati peringkat pertama dalam Indeks serupa. Lebih dari delapan dari 10 orang Indonesia menyumbangkan donasi uang di tahun 2020 dan tingkat sukarelawan negara lebih banyak dari tiga kali rata-rata global.
Gambar 1: Negara dengan skor tertinggi pada tahun 2020
Menurut laporan ini, faktor pendorong penting dari kedermawan sosial itu adalah zakat. Zakat adalah bentuk amal tradisional Islam yang dipraktikkan secara luas di Indonesia, yang hasilnya didistribusikan kembali kepada piha yang membutuhkan. Laporan menunjukkan bahwa pembayaran Zakat secara global sangat tinggi di tahun 2020 sebagai respons terhadap pandemi. Di Indonesia, ada seruan dari otoritas agama agar orang-orang menggunakan pembayaran tersebut untuk membantu orang-orang di komunitasnya yang mengalami kesulitan sebagai akibat dari keterpurukan ekonomi yang disebabkan pandemi.
Krisis Kepercayaan dan Partisipasi Kelompok Keagamaan
Dalam rangkaian upaya pengatasan pandemi Covid-19, penting juga dicatat partisipasi dari pusat otoritas keagamaan di Indonesia. Posisi mereka demikian vital dalam mendukung kebijakan pemerintah di masa-masa awal pandemi, program vaksinasi, dan mendorong penggalangan donasi untuk menumbuhkan solidaritas sosial. Di masa awal pandemi, masyarakat mengalami krisis kepercayaan terhadap pemerintah atas penyediaan informasi terpercaya terkait COVID-19.
Laporan Studi Pembelajaran Penanganan COVID-19 di Indonesia oleh Kementerian Perencanaan Pembangunan Nasional/Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (2021) menyebut kondisi itu banyak dipengaruhi oleh lemahnya sistem komunikasi publik yang terpercaya sehingga melahirkan ketidakpastian, baik di kalangan pemerintah sendiri, dunia bisnis, maupun masyarakat. Akibatnya, timbul situasi kekacauan, hilangnya kepercayaan publik terhadap kredibilitas pemerintah yang akan melahirkan reaksi masyarakat yang berlebihan dan tidak pada tempatnya dan menghambat implementasi kebijakan.
Dampak krisisi kepercayaan itu antara lain terlihat dari surver Litbang Harian Kompas pada Februari 2021 tentang pola pengelompokan responden dalam menyikapi pandemi Covid-19, menemukan data 41% warga yang pesimistis menghadapi kehidupan semasa pandemi. Hasil survei lain lembaga Indikator juga mencatat masih banyak masyarakat Indonesia yang tidak takut terpapar Covid-19. Hanya 10,8% orang yang selalu takut terpapar Covid-19, 33,7% sering takut terpapar, 33,7% kadang-kadang takut dan 14,9% jarang merasa takut. Sebanyak 6,5% responden bahkan tidak pernah takut terhadap Covid-19. (Kompas, 2/3-2021 dan cnbcindonesia.com, 21/3/2021).
Situasi itu juga terjadi di masa awal program vaksinasi Covid-19. Survei ITAGI, Kemenkes dengan dukungan UNICEF dan WHO, menemukan alasan dari sebagian warga menolak vaksinasi. Sebagaimana dilansir di laman covid19.go.id, survei itu menemukan alasan penolakan vaksin COVID-19 paling umum terkait keamanan vaksin (30%); keraguan efektifitas vaksin (22%); ketidakpercayaan terhadap vaksin (13%); kekhawatiran efek samping seperti demam dan nyeri (12%); dan alasan keagamaan (8%). Sehingga perbaikan pola komunikasi vaksinasi menjadi bagian tantangan yang harus diatasi oleh pemangku kebijakan, di samping ketersediaan stok vaksin, perbaikan infrastruktur dan sumber daya manusia (Kompas, 18/3-2021).
Belakangan setelah pemerintah memperbaiki kinerjanya, kepercayaan masyarakat mulai ebih meningkat. Di sisi lain, dukungan masyarakat itu juga tidak bisa dilepaskan dari peran-peran organisasi keagaamaan. Di organisasi NU misalnya, Lembaga Bahtsul Masail Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (LBM PBNU) menyatakan, pembangkangan atas imbauan pemerintah terhadap kebijakan penundaan shalat Jumat di zona merah, perkumpulan yang melibatkan massa banyak, dan sejumlah imbauan lain dalam pencegahan Covid-19, dapat dinilai sebagai bentuk maksiat zhahiran bathinan (lahir dan batin). Larangan ini cukup kuat karena dimulai dengan kewenangan pemerintah mengambil kebijakan demi keselamatan orang banyak meskipun dengan melarang hal yang semula wajib. (https://www.nu.or.id, 23/3/2020).
Sebelumnya, PBNU juga telah mengeluarkan “Sebelas Maklumat PBNU terkait Pengelolaan Posko NU Peduli Covid-19”. Dalam maklumat itu, sebagaimana dilansir dari laman nu.or.id (18/03/21), PBNU menginstruksikan kepada Pengurus Wilayah Nahdlatul Ulama (PWNU), Pengurus Cabang Nahdlatul Ulama (PCNU, dan Pengurus Lembaga dan Badan Otonom Nahdlatul Ulama, Pondok Pesantren untuk membentuk Posko NU Peduli Covid-19 dan pengelolaanya. Instruksi tersebut tertuang dalam Surat Keterangan Nomor 3945/C.I.34/03/2020 yang diterbitkan di Jakarta pada Kamis, 12 Maret 2020.
Serupa dengan PBNU, Pimpinan Pusat (PP) Muhammadiyah juga mengeluarkan maklumat terkait Wabah Covid-19, melalui surat maklumat Pimpinan Pusat Muhammadiyah, Nomor 02/mlm/i.0/h/2020 tentang Wabah Corona Virus Disease 2019 (Covid-19). Dalam laman covid19.muhammadiyah.id (16/03/2020), maklumat berisi antara lain himbauan kepada anggotanya agar kKegiatan-kegiatan di seluruh lingkungan Muhammadiyah yang melibatkan massa atau jumlah orang yang banyak seperti pengajian, seminar, pertemuan dan kegiatan sosial agar ditunda pelaksanaannya atau diselenggarakan dengan cara lain yang bersifat terbatas dan atau menggunakan teknologi informasi.
Selain itu, kegiatan-kegiatan ibadah seperti shalat berjamaah dan shalat Jumat di masjid tetap dilaksanakan dengan ketentuan, bagi yang sakit disarankan untuk beribadah di rumah, dan apabila dipandang darurat, pelaksanaan Sholat Jumat dapat diganti dengan sholat Dhuhur di rumah, dan pelaksanaan sholat berjamaah dapat dilakukan di rumah. Muhammadiyah juga telah membentuk Muhammadiyah Covid-19 Command Center (MCCC) yang bertugas mengoordinasikan pelaksanaan program dan aksi penanganan Covid-19.
Di kalangan ormas gereja, pada tanggal 6 Maret 2020, Majelis Pekerja Harian Persekutuan Gereja-Gereja di Indonesia (MPH-PGI) merilis surat himbauan kepada jemaatnya. MPH-PGI, seperti dilaporkan laman pgi.or.id (6/03/2020) menghimbau kepada seluruh Gereja-gereja di Indonesia untuk tidak panik atau memberikan reaksi yang berlebihan, senantiasa tenang dan berdoa, serta melaksanakan tugas dan tanggung jawab sebaik-baiknya. Adapun beberapa hal yang perlu diperhatikan, antara lain ialah, Gereja sebaiknya menyediakan hand sanitizer pada beberapa titik di sekitar tempat ibadah, serta menyediakan pelindung mikrofon sekali pakai (berbentuk foam) yang sewaktu-waktu dapat diganti. Sebaiknya pula aktivitas kontak langsung sesama warga jemaat dalam persekutuan dan pelayanan dapat diupayakan dengan cara yang lebih aman. Selaian itu juga menghimbau agar memperhatikan informasi dan panduan resmi dari Pemerintah atau lembaga-lembaga terpercaya terkait pencegahan dan penanganan penularan COVID-19.
Sementara itu, di kalangan gereja Katolik, juga mengeluarkan surat gembala. Salah satunya seperti Surat Gembala Nomor: 0332/A/X/20-13, yang dikeluarkan oleh Keuskupan Agung Semarang, pada 19 Maret 2020. Surat itu antara lain berisi keputusan Mgr. Robertus Rubiyatmoko (Uskup Agung Keuskupan Agung Semarang) dalam rapat bersama Kuria KAS, serta memperhatikan kebijakan Pemerintah Pusat dan Daerah: Bahwa selama 15 hari, mulai tanggal 20 Maret sd 3 April 2020, semua kegiatan kegerejaan yang melibatkan banyak orang berikut ini ditiadakan. Berkaitan dengan Misa Mingguan akan disiarkan online (Doa Komuni Batin atau Spiritual Communion). Di bagian akhir surat itu, beliau mengajak para Romo dan seluruh umat Katolik KAS untuk bersama-sama meningkatkan rasa solidaritas, kepedulian, dan tanggungjawab sosial kita. (https://kas.or.id/surat-gembala-berkaitan-dengan-covid-19/).
Partisipasi Gerakan Interfaith dan Forum Lintas Iman “SOBAT”
Dukungan dan partisipasi pusat otoritas keagamaan sebagaimana disampaikan di atas, turut mendukung munculnya partisipasi banyak pihak lebih luas. Salah satunya adalah para pegiat organisasi lintas iman di berbagai tempat. Para aktivis organisasi ini, merupakan para pimpinan, dan tokoh kunci di setiap organisasi keagamaan tersebut. Mereka melakukannnya dalam ragam bentuk program dan aktivitas. Alissa Wahid, putri mantan presiden Abdurrahman Wahid misalnya, memanfaatkan platform media sosialnya dan kanal kitabisa.com untuk menggalang donasi memberi berbagai bantuan medis, seperti tabung oksigen, alat pelindung diri, dan obat-obatan, kepada tenaga kesehatan di puskesmas dan rumah sakit dan pasien COVID-19 di lokasi isolasi mandiri. Program donasi itu dinamakan “Saling Jaga”, yang merupakan kerja sama antara lembaga filantropi untuk kemanusiaan yang dipimpinnya, GUSDURian Peduli, Gerakan Islam Cinta, dan kitabisa.com. Di masa awal pandemi, ia berhasil mengumpulkan donasi senilai Rp. 5,8 miliar dari puluhan ribu donatur. (https://www.dw.com/id/ 9/07/2021).
Donasi dalam jumlah besar oleh warga pelbagai kalangan juga terjadi dalam even Konser Amal Dari Rumah Sobat Ambyar Peduli, yang digelar oleh KompasTV bersama Didi Kempot pada Sabtu (11/3/2020). Konser Amal itu berhasil mengumpulkan total donasi hingga mencapai Rp. 7.641.046.346. Jumlah tersebut didapat dari akumulasi donasi yang masuk melalui Kitabisa.com dan rekening KompasTV. Seluruh hasil donasi diberikan kepada masyarakat yang terdampak ekonominya akibat wabah Covid-19. Donasi disalurkan melalui sejumlah lembaga sosial dan jaringan komunitas relawan diantaranya, LAZIS Muhammadiyah, LAZIS Nahdatul Ulama, Sobat Ambyar, Jaringan Lintas Iman Untuk Covid-19 (JIC) dan relawan-relawan dari karyawan KG Media. (Kompas.com 22/04/2020)
Gerakan Lintas Iman “SOBAT”
Partisipasi serupa juga dijalankan jaringan Gerakan Lintas Iman “SOBAT”. Gerakan ini diinisiasi oleh Yayasan Percik, Pondok Pesantren Edi Mancoro dan Sinode Gereja Kristen Jawa (GKJ), melalui Sarasehan Ulama dan Pendeta yang berlangsung pada tgl 27-28 Juni 2002 di Pondok Pesantren Edi Mancoro, Gedangan, Tuntang. Sarasehan tersebut dihadiri oleh 35 pendeta dan kyai sebagai wujud keprihatinan bersama terhadap eskalasi ketegangan sosial, konflik, kerusuhan dan bahkan kekerasan bernuansa agama di awal tahun 2000 an yang marak di banyak tempat di Indonesia.
Forum ini bertujuan membangun citizen based organization lintas agama di tingkat lokal yang mampu mencari penyelesaian bersama terhadap berbagai ketegangan dan konflik yang muncul dalam masyarakat. Salah satu prinsip yang dipakai adalah “Local problems are solved by local people (local resources)”. Gerakan Sobat kini telah memiliki 32 simpul lokal di Jawa Tengah dan DIY. Simpul pada dasarnya merupakan jaringan lintas iman lokal yang terbentuk secara sukarela. Dalam jaringan tersebut bergabung beberapa individu yang umumnya adalah para tokoh dan aktifis lintas iman dan lintas golongan setempat. Para anggota jaringan ini bisa berbeda-beda diantara satu simpul dengan simpul lainnya tergantung dari konteks lokal masing-masing tempat.
Jaringan SOBAT telah berkembang menjadi jaringan multi guna khususnya dalam berbagai upaya untuk mengatasi permasalahan-permasalahan lokal dengan memakai sumber-sumber lokal yang tersedia. Persoalan-persoalan seperti pendirian tempat ibadah, mengatasi bencana alam, mengembangkan pengamanan bersama dalam menghadapi kerusuhan dan kekerasan, melestarikan lingkungan hidup yang baik, jaringan Sobat ikut membantu dalam mencari jalan keluar. Dengan demikian jaringan Sobat telah berkembang menjadi jaringan lokal multiguna. Sobat juga telah menginisiasi Forum Lintas Iman Perempuan “Kata Hawa”, Sobat Muda, dan Sobat Anak. (Lihat: https://percik.or.id/program/gerakan-interfaith-sobat/ dan Pradjarta Dirdjosanjata, https://percik.or.id/2022/06/27/perjalanan-bersama-membangun-persahabatan-lintas-iman-sobat/
Dalam merespon pandemi Covid-19, jaringan Sobat di berbagai daerah terlibat aktif melalui melakukan ragam kegiatan seperti terlibat dari Satgas Penanganan Covid-19 di basisnya, Gerakan literasi keagamaan tentang pandemi Covid-19 (aspek penafsiran ayat kitab suci dan teologi bencana), Gerakan literasi kesehatan sebagai upaya melawan berita bohong tentang Covid-19, Respons terhadap kebijakan pembatasan sosial di bidang ibadah keagamaan termasuk acara pemakaman warga terinfeksi Covid-19, melakukan kajian dan memberi masukan tentang kebijakan pemerintah dalam program perlindungan sosial agar berkeadilan sosial.
Selain itu, di kalangan Forum Kata Hawa dan Sobat Muda juga melakukan aksi-aksi sosial. Aktivis Sobat Muda berkerjasama dengan alumni SMA Katolik di Magelang mendistribusikan bantuan makanan untuk warga yang kehilangan penghasilan (PHK atau di rumahkan) karena kebijakan pembatasan mobilitas, di Desa Gedangan, Kecamatan Tuntang, Kabupaten Semarang. Forum Kata Hawa dan jaringannya di masa awal pandemi, menginisiasi penyediaan face shield (pelindung wajah) yang dibuat oleh pengrajin dari kalangan perempuan pegiat gerakan lintas agama. Face shild itu dibagikan kepada tukang becak, dan pekerja informal, dan jaringan intitusi keagamaan.
Kegiatan lain adalah, pelatihan berkebun bagi aktivis Sobat Muda untuk ketahanan pangan dengan menanam sayuran di area Kampoeng Percik Salatiga. Pelatihan ini mengambil konsep Permablitz (Permaculture Blitz), dengan memanfaatkan sampah organik. Laman permablitzjogja.net (27/11/213), menyebutkan Perma berasal dari kata “permaculture,” sebuah sistem yang menyelaraskan pola kegiatan dan kebutuhan manusia dengan lingkungan sekitarnya, demi menciptakan lingkup-lingkup kehidupan yang saling mendukung secara berkelanjutan. “Blitz,” seperti lampu kilat pada kamera, menunjukkan betapa singkat kegiatan ini berlangsung—biasanya satu atau dua hari. Meski hasilnya belum berhasil karena sayurannya dimakan ulat, tapi inisiatif ini patut diapresiasi sebagai bagian dari edukasi ketahanan pangan mandiri.
Di saat pandemi semakin mengamuk, muncul kesadaran bahwa perempuan harus kuat karena mereka harus menghidupi anak-anaknya. Di sisi lain, perempuan tergolong kelompok sangat rentan saat pandemi. Atas dasar itu, Katahawa (Forum Lintas Iman Perempuan) membuat webinar dengan mengundang psikolog, dokter, tokoh agama, tokoh pemerintahan lokal, pegiat kemanusian, dan penyintas Covid-19. Webinar bertema, “Perempuan Saling Menguatkan: Refleksi Iman dan Psikologis dalam Masa Pandemik”, diselenggarakan dua seri (7 dan 14 September2021). Webinar itu bertujuan agar perempuan harus lebih adaptif dalam situasi kritis, belajar dari keadaan dan mencari solusinya. Selain itu juga untuk menguatkan, memberikan well-being (keadaan pada individu yang digambarkan dengan adanya rasa bahagia, kepuasan, tingkat stres yang rendah, sehat secara fisik dan mental, serta kualitas hidup yang baik).
Penutup
Hari-hari menjalani situasi pandemi Covid-19 membutuhkan energi besar agar bisa beradaptasi dengan kehidupan baru. Meski pandemi masih belum berakhir, tapi (mungkin) sebagian besar kita telah merasa jenuh dengan suplai informasi terkait Covid-19, pun yang datang dari pemerintah. Selain berdampak di bidang kesehatan, pandemi itu juga begitu terasa antara lain di bidang ekonomi, termasuk sosial keagamaan dan budaya. Tulisan ini telah mencoba menguraikan situasi pandemi, dampak-dampak ikutannya, serta reaksi atau respon para pihak warga di berbagai belahan dunia, di berbagai tingkatan (baik dunia, regional, nasional, dan komunitas lokal.
Untuk memahami hiruk pikuk masa pagebluk ini, ijinkan saya mengutip catatan reflektif Romo Dr. Budi Subanar, SJ., dalam diskusi terkait perkembangan Covid-19 di group WhatsApp alumni Program Ilmu Religi dan Budaya, Universitas Sanata Dharma Yogyakarta (26 Juni 2021). Kiranya kutipan itu bisa memberi kerangka berpikir bersama. Menurutnya, berdasarkan konsep iatrogenesis (asal usul kekuasaan untuk menentukan sehat dan sakit), ada tiga hal yang sejak awal pandemi Covid-19 berusaha memberi penjelasan (implisit) dan melakukan usaha-usaha yang dapat ditempuh yaitu.
Pertama, iatrogenesis kultural, mendefinisikan pandemi dari perspektif kultural. Usaha yang dibuat adalah memunculkan berbagai obat/jamu tradisional sebagai penangkal, dan melakukan ritual tolak pandemi secara tradisional antara lain melalui tembang, upacara tertentu (kegiatan kultural, sosial-keagamaan-pen), untuk mencegah meluasnya pandemi.
Kedua, Iatrogenesis sosial, mendefinisikan pandemi dari perspektif sosial. Perspektif ini diwujudkan melaui pengaturan masyarakat dengan kebijakan protokol kesehatan (semula 3M, lalu menjadi 5M) dan pembentukan Satgas Penanganan Covid-19 dengan berbagai kewenangan dan kegiatannya. Dan ketiga, iatro genesis klinis mendefinisikan pandemi dan mencegahnya ditempuh dengan berbagai tes PCR, Swab Antigen dan vaksin, serta penelitian laboratorium yang terus berjalan.
Mengakhiri tulisan ini, saya tidak hendak memberi rekomendasi, terutama karena selama dua setengah tahun menjalani masa pandemi Covid-19 ini, kita telah memperoleh banyak pembelajaran bersama yang muncul dari pengalaman praksis, kajian ilmiah, dan riset-riset berbagai pihak. Sehingga ada kebutuhan (sekaligus tantangan) bersama, bagaimana antar kita bisa saling sharing, saling bekerjasama, diantara para pihak pihak (pemerintahan, masyarakat sipil, dan kelompok bisnis) dalam menanggulangi masa pandemi, bersiap menuju endemi, dan bersiap menjalani siklus pandemi akan berulang di masa depan.
*** Kampoeng PERCIK, Salatiga, 25 Agustus 2022 (saat Adzan Salat Dhuhur berkumandang)
[1] Materi disampaikan pada acara Webinar bertema, “Peduli Kehidupan dan Penghidupan (Mata Pencaharian): Memperkuat Jaring Pengaman Sosial dan Ekologis”, yang diselengarakan oleh Yayasan PERCIK Salatiga dan Environmental Science for Social Change (ESSC) Philippines, pada Kamis, 25 Agustus 2022