Penguatan RT-RW dan Pembangunan Berbasis Komunitas
Ditulis Oleh Singgih Nugroho (Peneliti dan Ketua RW di Salatiga)
Awal tahun 2021, di kampung kami ada polemik antar warga terkait rencana ijin pembukaan toko ritel. Cerita bermula saat ada seorang warga akan mengontrakkan rumahnya kepada jaringan toko ritel besar. Di saat sudah ada deal, untuk urusan perjinan usaha, pihak ritel membutuhkan persetujuan warga setempat, disertai pengesahan Ketua RT dan RW. Belakangan muncul penolakan dari sebagian warga yang memiliki usaha warung kelontong.
Mereka khawatir terdampak omzet warungnya. Pengurus RW mencoba melakukan mediasi dengan melibatkan para pihak, Ketua RT dan tokoh masyarakat. Satu dua kali mediasi belum cukup. Masing-masing masih bersikukuh dengan pendapatnya. Akhirnya dilakukan langkah-langkah untuk pemetaan dan pendekatan aktor, sehingga masalah ini akhirnya bisa menemukan solusi bersama.
Cerita ringkas ini merupakan bagian kecil dari pengalaman penulis dalam penanganan konflik dan membangun perdamaian saat menerima mandat sebagai Ketua RW di Kota Salatiga. Sebelumnya kami telah turut menfasilitasi penyelesaian kasus-kasus lain yang karena tidak sebagian bisa diatasi dari dalam, maka harus melibatkan aparat supra kampung baik dari unsur pemerintah daerah, dan kepolisian setempat.
Bagi yang pernah atau sedang menjabat sebagai perangkat RT/RW, tentu juga memiliki pengalaman serupa. Sebagai pegiat organisasi sosial, mengelola kehidupan masyarakat di tingkat bawah tidaklah selalu mudah, dan membutuhkan seni komunikasi yang acapakali berbeda dengan literatur terkait.
Duta Pemerintah
Kelembagaan RT/RW dipahami secara luas telah menjadi bagian kehidupan sehari-hari di masyarakat desa maupun perkotaan. Meski tidak termasuk struktur resmi, tapi RT/RW telah jamak dipersepsikan masyarakat sebagai perwakilan pemerintah terdekat. Bila mengacu kepada dua regulasi terbaru seperti Permendagri 18/2018, serta PP No 73/ 2005, disebutkan RT dan RW sebagai bagian lembaga kemasyarakatan di tingkat desa/kelurahan yang dibentuk atas dasar prakarsa masyarakat melalui musyawarah dan mufakat.
Organisasi membantu tugas lurah/kepala desa dalam pelaksanaan urusan pelayanan pemerintahan, menyediakan data kependudukan dan perizinan, perancangan dan implementasi pembangunan, sosial kemasyarakatan (pemeliharaan keamanan, ketertiban dan kerukunan hidup antar warga), serta pemberdayaan masyarakat.
Ketentuan lebih rinci mengenai RT-RW diatur melalui Peraturan Daerah Kabupaten/Kota atau Peraturan Gubernur bagi daerah tertentu. Di Kota Salatiga misalnya, regulasi terbaru mengenai RT dan RW adalah Perda No 10/2018 dan Perwali No 22/ 2021. Keduanya mengatur antara lain mengenai tugas dan fungsi, prosedur dan mekanisme pemilihan Ketua RT-RW, serta periode masa baktinya yang diubah dari 3 tahun menjadi 5 tahun.
Sejarah RT-RW
Keterlibatan RT dan RW dalam isu pembangunan di Indonesia sudah berjalan lebih panjang dari usia negeri ini, dan dinamikanya sangat dipengaruhi oleh karakteristik pemerintahan di jamannya. Sejumlah tulisan menguraikan sejarah kelembagaan RT-RW memiliki keterkaitan dengan sejarah pendudukan Jepang di Indonesia.
Aiko Kurasawa (1993: 195-208) dalam bukunya, Mobilisasi dan Kontrol: Studi tentang Perubahan Sosial di Pedesaan Jawa 1942-1945, menyebut sejarah RT berasal dari sistem penguasa militer Jepang semasa Perang Dunia II berdasarkan pengalaman di Jepang dan Taiwan. Tonarigumi (Rukun Tetangga) dan Azazyookai (Dukuh/ Rukun Warga) di Aza (kampoeng), secara resmi mulai diperkenalkan ke Jawa pada 11 Januari 1944.
Tonarigumi Azazyookai ini berlaku untuk memperketat cengkeraman pemerintah atas penduduk serta untuk meningkatan komunikasi dengan mereka. (Lihat juga misalnya, Tempo.co, 15/10-2021, Kompas.com, 14/02/2022).
Nico G Schulte Nordholt, dalam Philip Quarles van Ufford (1988: 31-53), mencatat sesudah Perang Dunia II, RT tetap dipertahankan dan Ketua RT yang dipilih menjadi penasehat serta orang kepercayaan tetangga. Dekade 1950-an, di saat di desa masih ada struktur Lembaga Sosial Desa (LSD) yang kuat, pengaruh Ketua RT ini dalam LSD sangat besar dan memberi jaminan LSD akan bersifat otonom, walaupun ada bimbingan pemerintah. Konsep LSD masa itu berbertujuan untuk menempa kerjasama antara pemerintah dan masyarakat dalam masalah sosial di pedesaan yang kala itu masih di luar jangkauan pemerintah pusat.
Memasuki dekade 1970-an, atas dasar dinamika politik de-otonomi desa, maka corak keorganisasian LSD (termasuk RT/RW) yang otonom telah banyak berubah. Pada era Orde Baru, posisi RT/RW bahkan sebagai ”mata dan telinga” penguasa. Pada tahun 1980-an, lembaga RT/RW bahkan digunakan untuk ”menyisir” para aktivis maupun simpatisan yang ditengarai terlibat dalam G30S. RT/RW kemudian benar-benar menjadi ”kepanjangan” tangan penguasa untuk melakukan kontrol politik terhadap warga negaranya. (Sinar Harapan, 1/11-2004)
Sesuai Kebutuhan
Di masa awal reformasi muncul Keppres No 49/2001 tentang Penataan Lembaga Ketahanan Masyarakat Desa (LKMD) termasuk RT-RW, agar coraknya lebih demokratis dan sesuai dengan kebutuhan desa/kelurahan. Regulasi ini belakangan menjadi acuan mengenai regulasi kelembagaan RT dan RW di fase selanjutnya.
Di dorong semangat reformasi, pemerintah berupaya menjadikan RT/RW sebagai organisasi komunitas yang mandiri sebagai bentuk pemberdayaan masyarakat. Dalam studi Eko I. Survianto (2002; 2008), upaya itu belum sepenuhnya berhasil. Dia menemukan data, RT/RW di lokasi studinya, meski telah mampu berperan dalam kehidupan sosial komunitasnya dengan beragam fungsi yang dijalankan, tapi itu belum bisa menjadikan kesan organisasi RT/RW sebagai “mobilization type organization” atau imperatif dengan birokrasi sebagaimana dipraktekkan di masa dua rezim pemerintahan sebelumnya.
Dalam rangkaian kebijakan pemerintah penanganan pandemi Covid-19 misalnya, para pegiat organisasi RT/RW melalui Satgas Penanganan Covid-19 tingkat RW, telah turut berpartisipasi di komunitasnya. Ada banyak kisah baik yang telah diwartakan banyak pihak. Tanpa mengurasi apresiasi, nuansa mobilisasi itu masih kentara, RT/RW lebih banyak diminta mengawal kebijakan pemerintah yang didorongkan dari atas. Nuansa itu bersanding dengan cerita-cerita inisiatif dari bawah.
Peningkatan Kapasitas
Sebagai organisasi yang diharapkan membantu tugas pemerintah di lingkup terbawah, ada harapan cukup besar, RT/RW bisa berperan bagi pembangunan di komunitasnya. Menurut Valent Hartadi RT/RW punya potensi besar mendorong perubahan masyarakat menjadi lebih maju. Sehingga penting melakukan revitalisasi RT/RW untuk dikembangkan menjadi situs-situs pembangunan (Kompas.com, 14/04/2021).
Meski demikian, ada kebutuhan melakukan pendampingan dan pelatihan peningkatan kapasitas secara berkala oleh pemerintah daerah. Topik ini menjadi penting antara lain karena di lapangan, terjadi variasi kapasitas SDM yang dipengaruhi karakteristik wilayahnya, pengalaman keorganisasian dan pendidikan, serta juga regulasi pemerintah yang berkembang dinamis. Beberapa usulan materi yang bisa disampaikan, antara lain sebagai berikut.
Pertama, manajemen organisasi dan kepemimpinan. Sebagai pemimpin komunitasnya, mereka perlu memahami tugas pokok dan fungsi RT/RW serta kecakapan memimpin di komunitasnya, membentuk kepengurusan yang baik, dan juga kemampuan berkoordinasi dengan instansi vertikal. Hal ini penting karena meski bekerja di aras bawah, tapi dinamika kehidupan masyarakatnya terkadang sangat kompleks sehingga membutuhkan keahlian dalam koordinasi dengan aktor-aktor kunci yang memiliki pengaruh besar di komunitasnya.
Kedua, kemampuan pelayanan administrasi kependudukan dan pemerintahan. Kehadiran Perpres No. 96/2018 serta peraturan pelaksanaannya Permendagri No. 108/2019, telah mengurangi beban pelayanan RT/RW. Syarat surat keterangan RT/RW, mengacu pada kedua regulasi itu hanya dikecualikan bagi warga yang belum memiliki NIK, untuk memastikan validitas domisilinya. Meski demikian, dalam praktik, pengantar RT/RW masih dibutuhkan warga untuk sejumlah kepengurusan dokumen seperti saksi di akta kematian, kredit perbankan skala mikro, surat keterangan tidak mampu, dan KIS.
Prioritas Pembangunan
Ketiga, kemampuan penyusunan prioritas pembangunan, dan mengawalnya melalui program pemerintah, skema CSR atau swadaya warga. UU No. 25/ 2004 mengatur lima pendekatan perencanaan pembangunan yaitu: politik, teknokratik, partisipatif, atas-bawah (top-down), dan bawah-atas (bottom-up). Pengurus RT/RW diharapkan bisa memiliki kemampuan dalam perencanaan, implementasi, maupun monev pembangunan. Diharapkan ada program-program inovasi bagi upaya bersama untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakatnya.
Keempat, kemampuan manajemen konflik dan bina damai di komunitasnya. Diantara sejumlah fungsi yang dimandatkan ke pengurus RT dan RW, pengembangan hidup damai di komunitasnya merupakan bagian yang amat vital. Meski dari sisi volume pekerjaan, kalah jumlah dengan pelayanan di bidang administrasi kependudukan, tapi kerja menciptakan perdamaian merupakan hal vital karena penting mendukung agenda pembangunan. Ketua RT/RW seyogyanya perlu dibekali kemampuan mitigasi konflik seperti strategi-strategi pengatasan, pemetaan aktor, analisis relasi antar masyarakat, dan langkah-langkah mediasi.
Pada akhirnya implementasi sejumlah usulan itu banyak bergantung kepada komitmen pemerintah pusat/daerah, dalam mewujudukan kebijakan pemberdayaan masyarakat di tingkat bawah. Sebagai organisasi yang terbukti telah tumbuh berkembang dalam jangka panjang, penguatan RT/RW sebagai organisasi komunitas terbawah memiliki makna strategis dalam mendukung arah pembangunan partisipatif berbasis komunitas. (*)
Artikel ini telah tayang di TribunJateng.com dengan judul Opini Singgih Nugroho: Penguatan RT-RW dan Pembangunan Berbasis Komunitas, https://jateng.tribunnews.com/2022/08/15/opini-singgih-nugroho-penguatan-rt-rw-dan-pembangunan-berbasis-komunitas.