PERBEDAAN SEHARUSNYA BUKANLAH MENJADI BENALU

Bernadhion Paskah Risa Dwi Putra

SAYA MENGASIHIMU SESAMA MANUSIA

REFLEKSI SOCIAL IMMERSION: “PERBEDAAN SEHARUSNYA BUKANLAH MENJADI BENALU TETAPI JUSTRU MENJADI SEBUAH KEKUATAN PERSATUAN UNTUK MEMBANGUN KEHIDUPAN SOSIAL YANG LEBIH BAIK.” – DHION,2022

Awal saya datang ke Lembaga Percik, rasanya begitu berat hati ini karena harus meninggalkan kota Jakarta yang penuh dengan pergumulan. Saat itu Ibu saya terbaring di rumah sakit dengan kondisi yang cukup parah sementara di satu sisi tanggung jawab sebagai mahasiswa harus saya penuhi juga. Begitu saya sampai, hujan menyambut seakan-akan kesedihan saya di Jakarta terbawa ke Salatiga, tepatnya di Lembaga Percik ini. Satu sisi saya senang akhirnya saya bisa bertemu dengan teman-teman kelompok yang sebelumnya hanya bisa berjumpa secara online, ada Holy, Ocha, dan Cilla. Saya mencoba beradaptasi dengan hidup di tempat baru yang sangat berbanding terbalik dengan kehidupan di kota. Di sini saya tinggal, bisa dibilang di tengah hutan yang sejuk dan indah, di satu sisi saat malam gelap dan juga menyeramkan. Saya berekspektasi ketika masih dalam perjalanan bahwa akan tinggal di tempat pemukiman warga kampung yang ramai karena Lembaga Percik dikenal juga dengan sebutan atau nama “Kampoeng Percik”. Akan tetapi saya bingung mengapa dari tadi saya tidak dapat menemukan tanda-tanda kehidupan di sini. Saya memisahkan diri dari teman-teman kelompok dan berjalan sendiri di tengah hutan dan hujan untuk mencari penghuni Lembaga Percik karena ada banyak hal yang ingin saya tanyakan. Syukurnya saya bertemu dengan Bapak Slamet, beliau menyapa saya dengan begitu ramah dan memberikanku sebuah payung. Hal tersebut membuat saya sedikit lega karena keramahan yang ia berikan. Kemudian beliau menunjukkan tempat tinggal sekaligus memberikan saya sebuah kunci tempat tinggal tersebut. Tempat tinggal saya sangat sederhana, tapi sangat nyaman untuk ditempati. Saat itu saya pikir hanya ada kami berlima termasuk Pak Slamet di Lembaga Percik ini, tapi kemudian Cilla yang sudah lebih dulu tiba mengajak saya untuk bertemu dengan mahasiswa magang dari STB (Sekolah Tinggi Biblevrouw HKBP Laguboti), mereka tinggal di tempat yang sama dengan Cilla dan Ocha. Kami memulai membangun kedekatan dan komunikasi satu sama lain agar kami terus bisa saling tolong – menolong selama di Lembaga Percik ini. Hal tersebut membuat saya lebih lega lagi karena bisa merasakan kedekatan dan kehangatan di antara kita, meskipun kita memiliki latar belakang yang berbeda-beda.

Hari berganti hari kulalui bersama dengan mereka. Kemudian suatu hari saya terkejut ada tiga orang laki-laki yang duduk di pendopo dekat dengan tempat tingal saya. Mereka tersenyum dan menyapa saya. Seketika itu saya menyapa mereka juga dan tergerak untuk berjalan mendekati mereka. Saya tanya pada mereka dari mana mereka berasal dan apa yang mereka lakukan di sini. Mereka mengatakan bahwa mereka berasal dari UKSW (Universitas Kristen Satya Wacana), yaitu universitas Kristen yang cukup terkenal di Salatiga ini. Kemudian mereka bercerita kalau mereka sedang magang untuk keperluan akademis di Lembaga Percik ini. Mendengar logat mereka, saya paham betul bahwa mereka bukan berasal dari Pulau Jawa. Tanpa perlu saya tanya akhirnya mereka mengatakan bahwa mereka berasal dari Indonesia bagian Timur, dua orang dari Halmahera (Maluku Utara) dan satu orang dari Papua. Keramahan dan kehangatan mereka lagi-lagi membuat saya tambah lega, karena saya bisa mendapatkan teman baru dari latar belakang suku yang berbeda. Hari-hari di Lembaga Percik kami lalui bersama, kami memiliki tugas yang berbeda-beda dari kampus kami, dan kebetulan kampus saya STFT Jakarta berkolaborasi dengan UKDW untuk membuat projek film dokumenter. Sementara kakak-kakak dari STB dan UKSW membuat semacam laporan akhir atau paper dengan topik yang berbeda-beda. Walaupun tugas kami berbeda-beda, tapi kami menyatukan hati kami dan pikiran kami untuk bersama-sama menyukseskan tugas dan tanggung jawab ini.

Di kampus, saya memilih topik kearifan lokal sehingga kampus menempatkan saya di Salatiga tepatnya di Lembaga Percik ini. Saya mengenal kearifan lokal Salatiga dari mulut ke mulut yaitu memiliki toleransi yang sangat baik. Tahun 2020 sempat dinobatkan menjadi kota toleran nomor satu di Indonesia, dan tahun 2022 mengalami penurunan menjadi nomor tiga. Akan tetapi, menurut saya itu bukanlah masalah yang besar, karena pada kenyataannya saya sendiripun merasakan bahwa toleransi itu benar hidup di tengah-tengah kota Salatiga ini. Toleransi itu luas, tidak melulu soal agama, saya merasakan bahwa adanya toleransi antar suku, antar pikiran, antar ide, dan lain-lain. Hal tersebut menjadi tonggak perdamaian di kota Salatiga ini. Kemudian, suatu hari saya bertemu salah satu aktivis “Sobat Muda” yang bernama Zein, awalnya saya tidak tahu bahwa dia itu memiliki agama yang berbeda dengan saya. Karena sejauh ini saya lebih sering bertemu dengan teman-teman yang seagama dengan saya. Kemudian kami menanyakan soal program “Sobat Muda”, secara singkat “Sobat Muda” adalah perkumpulan anak-anak muda yang cinta dengan toleransi, kemanusiaan, dan perdamaian. Setelah kami melakukan sedikit wawancara dan mengetahui bahwa latar belakang Zein adalah seorang Muslim bahkan lulusan filsafat Islam. Saya cukup kagum, karena masih ada seorang yang berlatar belakang Islam yang dibilang cukup taat, memiliki kemauan untuk menghidupkan toleransi, kemanusiaan, dan perdamaian. Mulai saat itu karena rasa penasaran, saya banyak bertanya soal agama Islam pada Zein, dan membuat pikiran saya terbuka, bahwa seperti inilah penganut agama Islam yang hidup di kota Salatiga ini. Di tempat saya berasal, kedekatan orang yang beragama Kristen dan orang yang beragama Islam sedikit canggung dan terkesan kurang baik. Tapi di sini, saya merasakan kedekatan itu begitu baik, membangun, dan tidak ada rasa curiga satu sama lain. Lembaga Percik sempat mempertemukanku juga dengan seorang teman perempuan yang berasal dari luar negeri yaitu dari Belanda. Ibu Yani selaku direktur Lembaga Percik, menitipkan dia padanya karena Ibu Yani merasa saat itu saya yang paling mampu berbahasa Inggris dengannya. Saya belajar banyak budaya Eropa dari percakapan dan kegiatan yang kami lalui bersama. Saya senang bisa bertemu dengannya dan sempat menghabiskan waktu bersama di Yogyakarta, walaupun hanya sebentar tapi kenangan tersebut begitu membekas di pikiran dan hati saya.

Prestasi kota tertoleran ternyata bukan hanya sebuah wacana publik di Salatiga ini, tetapi saya sendiri merasakan perjumpaan toleransi itu begitu nyata. Ditambah lagi, saya baru tahu bahwa ternyata di Lembaga Percik petugas kebersihan dan penjaga malam, yang selama ini membantu saya dalam banyak hal, mereka semua berasal dari agama yang berbeda. Mereka semua tulus membantu kami tanpa memandang agama kami, suku kami, dan siapapun kami di mata mereka. Mereka memandang kami sebagai manusia yang layak untuk dicintai, dikasihi, dan diperlakukan sebagaimana layaknya seorang manusia. Sebagai orang yang beragama Kristen dalam setiap perjumpaan toleransi yang saya alami di Salatiga, saya dapat merasakan bahwa kasih yang Yesus ajarkan adalah untuk memanusiakan manusia terlebih lagi untuk menunjukan sikap bahwa kita benar mengasihi-Nya dengan cara mematuhi perintah dan hukum-Nya seperti yang tertulis dalam, Yohanes 15:17 “Inilah perintah-Ku kepadamu: Kasihilah seorang akan yang lain.”, Matius 22:39 “Dan hukum yang kedua, yang sama dengan itu, ialah: Kasihilah sesama manusia seperti dirimu sendiri.”, dan Efesus 4:2 “Hendaklah kamu selalu rendah hati, lemah lembut, dan sabar. Tunjukkanlah kasihmu dalam hal saling membantu.”

Banyak hal yang saya pelajari di Lembaga Percik ini, membuat pikiran saya semakin terbuka tentang betapa penting dan indahnya toleransi. Andai saja tidak hanya di Salatiga, tapi di seluruh Indonesia, paham betapa penting dan indahnya toleransi, pasti semboyan negara kita “Bhinneka Tunggal Ika” akan benar-benar hidup di hati dan pikiran setiap masyarakat. Saya merasakan bahwa masyarakat Indonesia terutama di tempat saya berasal masih banyak yang radikal, ekslusif, dan hanya mementingkan kepentingan kelompok dan golongan mereka sendiri. Hal tersebut pastinya akan menimbulkan konflik dan merusak indahnya kasih kemanusiaan. Harapan saya semoga masyarakat semakin teredukasi bahwa perbedaan seharusnya bukanlah menjadi benalu tetapi justru menjadi sebuah kekuatan persatuan untuk membangun kehidupan sosial yang lebih baik.

Tentang Penulis

Berita lainnya