Semarang, 27 Februari 2025 – Lembaga Percik turut hadir dalam acara talkshow dan penanaman mangrove bertajuk “Selamatkan Pesisir Jawa dari Krisis”, yang diselenggarakan di TPQ/Masjid Al Firdaus, Tambakrejo, Semarang. Acara ini merupakan kolaborasi antara WALHI, Disaster Management Center (DMC) – Dompet Dhuafa, ID Humanity, serta berbagai komunitas dan organisasi masyarakat pesisir yang peduli terhadap kelestarian lingkungan.
Menyoroti Krisis Pesisir Jawa
Acara yang dimulai pukul 10.00 WIB ini diawali dengan talkshow yang menghadirkan berbagai narasumber untuk membahas tantangan yang dihadapi masyarakat pesisir akibat perubahan iklim, abrasi, dan degradasi lingkungan. Salah satu narasumber utama adalah Ibu Sittatun, delegasi dari Research and Advocacy for Climate Policy and Action (RACPA) Indonesia, yang baru saja mengikuti exchange visit ke Filipina untuk mendalami strategi adaptasi perubahan iklim.
Dalam sesi diskusi, Ibu Sittatun membagikan pengalaman masyarakat Tambakrejo dalam menghadapi ancaman abrasi dan banjir rob yang semakin besar. “Dulu rob hanya sampai di jalan-jalan kecil, sekarang rumah-rumah pun mulai tergenang lebih dalam. Banyak rumah rusak dan beberapa bahkan sudah tidak bisa ditinggali lagi,” ungkapnya.
Ia juga menyoroti dampak dari proyek reklamasi di daerah Marina serta pembangunan PLTU (Indonesia Power), yang semakin memperparah kondisi pesisir. “Reklamasi di Marina dan pengembangan PLTU tidak hanya membuat rob semakin parah, tapi juga menyebabkan abrasi yang mempercepat kerusakan lingkungan. Air laut terus mengikis daratan, membuat masyarakat semakin kehilangan tempat tinggal,” tambahnya.
Selain itu, Ibu Sittatun menjelaskan bagaimana masyarakat pesisir berusaha beradaptasi dengan kondisi yang semakin sulit. Salah satu upaya yang dilakukan adalah meninggikan rumah mereka setiap lima tahun sekali untuk menghindari genangan rob. “Ini bukan solusi murah. Untuk meninggikan rumah, mereka harus mengeluarkan biaya sekitar 50 hingga 80 juta rupiah. Itu angka yang besar bagi masyarakat nelayan,” jelasnya.
Namun, meskipun sudah melakukan berbagai cara, kondisi tetap tidak membaik. “Kami terus bertahan, tapi setiap kali rumah ditinggikan, rob datang lebih tinggi lagi. Ini seperti perlombaan yang tidak ada habisnya,” tambahnya dengan nada prihatin.
Dampak lain yang dirasakan adalah rusaknya habitat laut akibat pembangunan PLTU. Menurut Ibu Sittatun, pembuangan limbah dan perubahan ekosistem pesisir akibat proyek ini berkontribusi besar terhadap penurunan hasil tangkapan nelayan. “Dulu nelayan bisa pulang dengan perahu penuh ikan, sekarang hasilnya jauh berkurang. Ini semakin diperparah dengan masuknya nelayan modern yang menggunakan alat tangkap tidak ramah lingkungan, membuat sumber daya ikan semakin menipis,” ujarnya.
Inspirasi dari Filipina: Kesadaran Tinggi dalam Menjaga Lingkungan
Dalam kesempatan tersebut, Ibu Sittatun juga membagikan pengalamannya selama kunjungan ke Filipina dalam program pertukaran belajar terkait adaptasi perubahan iklim. Salah satu hal yang sangat berkesan baginya adalah kesadaran masyarakat Filipina dalam menjaga lingkungan tetap bersih dari sampah.
“Saya benar-benar kagum dengan cara mereka mengelola sampah di wilayah pesisir. Di sana, setiap orang memiliki kesadaran tinggi untuk tidak membuang sampah sembarangan. Mereka punya sistem pengelolaan sampah yang baik, bahkan anak-anak kecil sudah terbiasa memilah dan mendaur ulang sampah sejak dini,” jelasnya.
Menurutnya, di beberapa desa pesisir yang dikunjungi, warga secara aktif bekerja sama untuk menjaga wilayah mereka tetap bersih. Ini membuat lingkungan mereka lebih sehat dan lebih tahan terhadap dampak perubahan iklim.
Ibu Sittatun berharap kesadaran semacam ini bisa diterapkan di Indonesia, terutama di Tambakrejo. “Kalau masyarakat kita bisa lebih sadar untuk tidak membuang sampah sembarangan dan mulai mengelola limbah dengan lebih baik, itu akan sangat membantu dalam menjaga ekosistem pesisir dari kerusakan yang lebih parah,” ujarnya.
Harapan Baru: Ketahanan Ekonomi Melalui Wisata Bahari
Selain membahas tantangan lingkungan, Ketua RT 6 Tambakrejo juga berbagi pandangannya tentang pentingnya membangun ketahanan ekonomi masyarakat pesisir melalui pengembangan wisata bahari. Menurutnya, wisata bahari bisa menjadi solusi bagi warga untuk meningkatkan kesejahteraan mereka di tengah krisis lingkungan dan penurunan hasil tangkapan ikan.
“Kalau kita hanya mengandalkan hasil tangkapan ikan, sulit untuk bertahan karena jumlahnya semakin sedikit. Tetapi dengan wisata bahari, kita bisa mengembangkan sektor lain, seperti jasa wisata perahu, kuliner hasil laut, dan kerajinan tangan berbasis sumber daya pesisir,” jelasnya.
Ia menambahkan bahwa dengan adanya wisata bahari, warga memiliki peluang untuk menjual hasil tangkapan mereka dengan nilai jual yang lebih baik melalui pengolahan hasil laut. “Sekarang kalau jual ikan segar harganya bisa sangat murah, apalagi kalau hasil tangkapan melimpah. Tapi kalau kita olah dulu, misalnya jadi ikan asap, abon ikan, atau keripik hasil laut, harganya bisa lebih tinggi dan lebih mudah dipasarkan,” tambahnya.
Harapan warga Tambakrejo adalah adanya dukungan lebih lanjut dari berbagai pihak untuk mewujudkan wisata bahari yang berkelanjutan. Dengan begitu, masyarakat pesisir tidak hanya bertahan menghadapi tantangan lingkungan, tetapi juga bisa memiliki sumber penghasilan yang lebih stabil dan mandiri.
Aksi Nyata: Penanaman Mangrove dan Pemasangan Plang Edukasi
Setelah sesi diskusi, kegiatan dilanjutkan dengan aksi simbolis berupa pemasangan plang edukasi tentang mitigasi bencana dan pelestarian mangrove. Plang ini berisi pesan-pesan penting untuk mengajak masyarakat setempat menjaga lingkungan mereka.
Puncak acara ditandai dengan penanaman mangrove di sekitar kawasan pesisir Tambakrejo. Para peserta yang terdiri dari komunitas nelayan, mahasiswa, serta organisasi masyarakat sipil bersama-sama menanam bibit mangrove sebagai langkah awal dalam program Kawasan Pemulihan Pesisir (KPP) yang diinisiasi oleh WALHI dan DMC – Dompet Dhuafa.
Komitmen Bersama untuk Masa Depan Pesisir
Acara ini menjadi momentum penting dalam upaya menyelamatkan pesisir Jawa dari krisis ekologi yang semakin mengancam. Dengan adanya kolaborasi lintas sektor, diharapkan kesadaran masyarakat semakin meningkat dan upaya rehabilitasi lingkungan pesisir bisa berkelanjutan.
Percik, sebagai salah satu lembaga yang hadir, mendukung penuh inisiatif ini dan terus mendorong riset serta advokasi untuk kebijakan lingkungan yang lebih berkelanjutan. “Pemulihan pesisir tidak bisa dilakukan sendiri, ini butuh kerja sama semua pihak.”