Krisis iklim telah memicu munculnya banjir besar, banjir rob, dan gelombang tinggi air laut di kawasan pesisir Semarang dan Demak. Banjir rob yang kerap menggenangi pemukiman warga telah mengganggu kehidupan warga masyarakat dalam beraktivitas keseharian baik dalam bekerja, sekolah, serta aktivitas sosial keagamaan. Gelombang tinggi air laut bahkan menghancurkan bangunan rumah-rumah penduduk, memaksa penduduk melakukan renovasi/ perbaikan rumah secara berkala. Sebagian penduduk telah meninggalkan tempat tinggalnya karena rusak dan tak layak huni lagi. Kerugian material akibat kerusakan barang elektronik, kerusakan perabot rumah tangga, biaya renovasi rumah telah berdampak pada kehidupan perekonomian warga masyarakat. Sementara warga masyarakat yang mata pencahariannya terkait pada kondisi alam setempat seperti nelayan yang sangat bergantung pada hasil laut berpotensi tidak mendapatkan penghasilan karena ketika gelombang tinggi para nelayan tidak berani pergi melaut. Akibatnya perekonomian keluarga terancam.
Warga disabilitas, perempuan, anak-anak, dan lansia merupakan kelompok paling berisiko karena dampak krisis iklim. Peningkatan penyadaran akan risiko dan membangun daya tangguh masyarakat menjadi tujuan dalam training “Mitigasi Bencana dan Pemulihan Dampak Perubahan Iklim Berperspektif GEDSI”. Peserta yang hadir mewakili unsur pemerintah desa, tokoh agama, tokoh perempuan, tenaga pengajar, serta anggota masyarakat yang mempunyai pengalaman merawat anggota keluarga disabilitas terlibat aktif dalam berbagi pengalaman dan menanggapi materi yang disampaikan oleh fasilitator Cucu Saidah.
Kegiatan tersebut telah diselenggarakan pada tanggal 29, 30, dan 31 Januari 2025 oleh Lembaga Percik sebagai bagian mitra kerjasama konsorsium RACPA Indonesia-Filipina (Koalisi diantara Percik Salatiga, ESSC Manila, JRS AP, dan Caritas Australia). Kerja konsorsium RACPA berfokus pada riset dan advokasi tentang dampak perubahan iklim di kawasan pesisir (Semarang dan Demak – Indonesia) dan kepulauan (Nocnocan-Filipina).