Sobat merupakan forum lintas iman yang lahir dari gejolak relasi antar agama di Indonesia. Forum yang awal mulanya diinisiasi sebagai wadah klarifikasi antara Ulama dan Pendeta ini, seiring berjalannya waktu menjadi forum besar yang diminati oleh kelompok dan komunitas agama-agama lainnya. Hingga saat ini tercatat ada 32 simpul yang berasal dari berbagai daerah yang ada di Jawa Tengah dan DIY, ikut dalam kegiatan forum Sobat. Tidak hanya terbatas pada agama “resmi” yang diakui oleh Negara, namun Sobat begitu terbuka dengan keberadaan agama maupun kepercayaan yang sering kali diasingkan keberadaanya bahkan dianggap sebagai ancaman oleh beberapa oknum atau kelompok lainnya.
Keberadaan Sobat dapat dihayati sebagai penjelmaan dari pluralisme yang mencoba memberikan kenyamanan bagi umat beragama untuk berdialog tanpa kepalsuan. Sobat bukanlah forum kaku yang kehadirannya hanya sekedar seremonial saja, tetapi bisa menjadi tempat untuk saling mengenal dan berkeluhkesah atas berbagai pesoalan-persoalan yang sering kali dipendam sendiri dan pada akhirnya melahirkan kecurigaan-kecurgiaan kepada umat lainnya.
Pada 29-30 November 2023 kemarin, forum Sobat kembali dilaksanakan. Kabupaten Tegal dipilih menjadi tempat pertemuan kali ini, mengingat selama 20 tahun Sobat berjalan, Kabupaten Tegal belum pernah menjadi tuan rumah. Tepatnya pelaksanaan dilakukan di Pendapa Wiragati Kejawen Maneges, salah satu tempat sakral bagi penganut kepercayaan Kejawen Maneges. Dengan mengangkat Tema “Memperkuat Gerakan Lintas Iman untuk Adaptasi Perubahan Iklim” berbagai pertanyaan terkait peran agama dalam mengatasi perubahan iklim akibat aktivitas manusia modern menjadi diskusi yang begitu menarik dan dinikmati para peserta dialog.
Meskipun bukan menjadi topik yang seksi untuk dibahas di tengah pergulatan politik menjelang pemilu 2024 maupun gejolak perang yang terjadi di belahan bumi lainnya, namun isu lingkungan masih sangat relevan untuk dibahas sampai saat ini. Transformasi pembahasan yang menjurus pada perubahan iklim bukanlah sebuah langkah untuk meninggalkan dasar pijakan dari lahirnya forum Sobat yang semulanya sebagai titik temu antarumat beragama, namun untuk menjawab pertanyaan “sebagai kelompok yang begitu besar apakah agama dapat berdampak dalam mitigasi persoalan perubahan iklim ? “
Disaat tanah longsor, banjir, kekeringan, dan kelaparan melahap habis kedamaian dan ketentraman di bumi, para pemuka agama masih sibuk mengkhotbahkan surga dan neraka. Khotbah yang didengungkan terdengar begitu tidak relevan dengan krisis alam yang tampak jelas di depan mata kita. Krisis yang berakar pada prilaku manusia yang begitu rakus menjadi faktor utama dalam perubahan iklim dunia. Eskalasi ketegangan politik, ekonomi, dan sifat konsumtif yang begitu tinggi menjadi pemantik dari eksploitasi atau pemerkosaan alam yang secara membabi buta.
Dalam skala lokal disebutkan oleh salah satu perwakilan simpul Wonosobo bahwa pembukaan lahan-lahan galian c merupakan masalah di daerah mereka. Begitu juga dalam penjelasan oleh Pdt. Harno Sakino, perwakilan dari simpul Klaten yang menjelaskan bahwa aktivitas pengerukan hasil bumi di gunung merapi akan menutup mata air yang mengaliri Klaten. Dua contoh aktivitas yang menyumbang krisis iklim tampak begitu dekat dengan kehidupan kita. Selain itu dalam paradigma akademis dijelaskan selain aktivitas industri penggunaan bahan bakar, listrik, dan pembakaran lahan menjadi prilaku manusia yang cukup besar menyumbang gas rumah kaca yang berperan meningkatkan suhu panas di bumi.
Peristiwa ini menjadi ironi bagi manusia saat ini. Atas nama kemajuan, ekonomi, dan kenyamanan, manusia rela menginjak-injak ekosistem bumi, menindas makhluk hidup lainnya demi memenuhi keegoisannya. Padahal dalam setiap agama di ajarkan untuk mengelola hawa nafsu, untuk merawat, dan menjaga alam sekitar. Menurut Kyai Marjuki, salah satu peserta dialog;Dalam ajaran islam ditegaskan bahwa manusia adalah wakil yang dititipi alam semesta untuk merawat dan menjaganya.
Seharusnya manusia bisa memanfaatkan alam tanpa harus menghancurkannya sama seperti lebah yang menyerap sari bunga tanpa menghancurkan bunga tersebut. Manusia perlu mengendalikan diri serta mengingat bahwa alam juga akan dipakai oleh generasi selanjutnya. Maka dari itu agama dapat digunakan sebagai inspirasi dalam merawat alam. Ajaran agama bisa dipakai untuk melakukan sesuatu di lingkungan kita.
Sebagai tuan rumah banyak paparan yang dilontarkan oleh Prof. Dr. Purwo Susongko terkait ajaran Kejawen Manages. Sebagai seorang penasihat beliau tampak begitu memahami ajaran Kejawen Manages dalam aspek historis dan filosopi. Sangat menarik mendengar penjelasan mengenai Wewarah Kejawen Maneges. Diantara delapan ajaran Kejawen Maneges, ada dua nilai ajaran yang secara implisit erat kaitannya dengan penjagaan alam sekitar, yaitu “Tan kena Anyidra mring urip sekabehane (ora mateni sekabehe): Jangan membunuh apa saja, dan “ Tan Ngrusak Jagad iku (ora ngrusak sekabehe): Tidak merusak apa saja”.
Melalui ajaran ini para penganut kepercayaan Kejawen Maneges dilarang untuk membunuh dan merusak apa saja. Hal ini tentu menjadi pedoman hidup yang akan dilaksanakan hingga akhir hayat, dan tentunya bila masuk kedalam konteks alam dan lingkungan kedua ajaran ini merupakan manifestasi dari peran agama atau kepercayaan dalam memitigasi permasalahan lingkungan maupun iklim secara global.
Penghayatan terhadap nilai-nilai luhur ini membentuk umat yang dapat menahan hasrat dan kerakusan dalam memburu makhluk hidup seperti binatang, merusak lingkungan seperti penebangan dan pembakaran hutan, mencemari air, dan tindakan lainnya yang menjurus pada perusakan ekosistem alam.
Peran agama sangat penting dalam menjaga kelestarian alam. Sebagai sebuah komunitas yang memiliki pengaruh besar di masyarakat, agama tampaknya memiliki kekuatan untuk mengedukasi masyarakat terutama para pemangku kebijakan. Mengingatkan serta menyadarkan penyimpangan prilaku masyarakat terhadap lingkungan merupakan langkah konkret dalam menjaga lingkungan. Melalui forum Sobat, gerakan-gerakan menjaga lingkungan, kegiatan advokasi, dan edukasi dapat disemarakkan. Kolaborasi dan sinergitas lintas iman menjadi modal utama dalam beradaptasi dan mitigasi terkait permasalahan iklim yang kian berkecamuk.
By Agung Bukit