Oleh: Haryani Saptaningtyas
Pencemaran Sungai Citarum lebih diakibatkan karena perilaku manusia. Mengakui bahwa sungai memiliki hak, melebihi fungsi dan kegunaannya dan bahwa sungai memiliki karakter spiritual, physical dan metaphysical yang melekat, dapat mempengaruhi perilaku hubungan manusia terhadap sungai.
Pendahuluan
Pertama kali melihat langsung sungai Citarum tahun 2013, saya hanya bisa tertegun. Tak kuasa membayangkan air sungai yang dipenuhi tumpukan sampah adalah sumber air bersih bagi warga Jakarta, Bekasi, Karawang, Purwakarta, dan Bandung. Paparan tentang dampak kesehatan akibat Bakteri E-coli karena banyaknya kotoran manusia yang mencemari sungai, menjadikan gambaran tentang sungai ini begitu mengerikan. Ancaman kesehatan pun menjadi nyata. Kebutuhan akan hidup, tampaknya membuat masyarakat di sekitar masih bergantung pada sungai ini.
Sejak tahun itu, saya mulai intensif mengumpulkan informasi baik primer maupun sekunder terkait sungai ini dan agama. Tidak hanya karena saya bagian dari peneliti di proyek Citarum, tetapi paparan ahli dari Indonesia dan Belanda yang tergabung dalam the Alliance Project Water, Health and Development telah menyentuh keimanan saya. Sebagai seorang Muslim saya malu. Bagaimana saya menjelaskan fakta bahwa mayoritas penduduk di sekitar Citarum adalah muslim dan pertanggung jawaban keimanan melihat sungai yang kotor.
Dalam agama kami, Islam mengajarkan untuk mencintai kebersihan dan menjadikan kebersihan sebagian dari iman, tetapi nyatanya kami gagal merawat sungai. Padahal banyak hadist mengajarkan bagaimana nabi dan umatnya harus merawat sungai dan sumber air. Contohnya hadist larangan membuang kotoran di aliran sungai. Kritik keimanan inilah yang kemudian mengantarkan saya menulis disertasi terkait persepsi tentang pencemaran dan purifikasi dan perilaku masyarakat. Celah ini menjadi refleksi internal bahwa jika tidak ada yang salah dalam ajaran keagamaan, mengapa banyak kerusakan di Bumi. Lalu bagaimana pertanggung jawaban sosial seorang muslim sebagai khalifah di muka bumi. Idealnya agama bisa dijadikan sumber etik berperilaku dalam hubungan manusia dan alam.
Mengkaitkan agama dan pencemaran sungai menjadi sangat relevan karena secara umum di Indonesia, agama masih dijadikan rujukan sumber nilai dan etika. Menurut survei WIN/Gallup (2016) menyebut bahwa orang Indonesia umumnya mengklaim dirinya sebagai seorang yang agamis (58% responden) dan 30% mengaku tidak sebagai orang yang agamis. Agamis dalam survei ini didefinisikan sebagai seringnya pergi ke tempat ibadah dan percaya kepada Tuhan dan hari akhir[1]. Alasan ini pula yang mendorong Gubernur Jawa Barat, memakai hukum Islam untuk menghentikan dan melarang orang membuang sampah di sungai. Tindakan mengharamkan perilaku buruk ini diharapkan efektif menghentikan pencemaran sungai[2].
Menggunakan metode analisis wacana kritis, salah satu temuan dalam penelitian saya adalah bahwa wacana pencemaran (pollution) dan pensucian (purification) terkait erat dengan praktik hidup sehari-hari. Temuan inilah yang akan dipaparkan dalam artikel ini sebagai bentuk self-critic dan upaya memproduksi wacana baru bahwa sungai Citarum memiliki karakter spiritual yang perlu diakui.
Selanjutnya melalui tulisan ini juga dipaparkan pentingnya pemerintah dan masyarakat untuk mengakui hak yang melekat pada sungai Citarum. Dengan pengakuan hak ini, hubungan antara manusia dan sungai dapat diubah. Sungai tak lagi dilihat dalam konteks fungsi dan kemanfaatannya, tetapi dilihat sebagai entitas hidup yang perlu dihormati oleh manusia.
Membaca Data dan Mulai self kritik
Secara metodologis, penelitian ini dilakukan di dua desa yang berada di DAS Citarum[3]. Satu desa yang dipilih berkarakter tradisional yang berada di tepian sungai Citarum dan secara langsung terkena proyek pelurusan atau normalisasi sungai. Lokasi kedua adalah sebuah kampung perkotaan di tepian anak sungai Citarum. Di dua desa tersebut terdapat makam leluhur dan penduduknya meyakini bahwa dulunya sungai Citarum dikeramatkan. Saat ini oleh pemerintah daerah, desa ini dijadikan desa wisata ziarah di mana makam dan air sumur menjadi dua simbol hubungan tanah dan air. Setiap minggu ratusan peziarah mencari berkah dan mengambil air sumur untuk menghilangkan kesialan dan persoalan hidup. Sementara di sebuah kampung, dampak urbanisasi telah mendorong penduduk yang dulunya petani dan terikat dengan sungai, harus berubah mata pencaharian menjadi buruh dan menjauh dari sungai yang telah tercemar. Tetapi tidak bagi penduduk miskin. Mereka terpaksa kembali ke sungai mencari plastik dan karung bekas untuk dicuci di pinggiran sungai yang telah tercemar. Sungai yang tercemar tampaknya menjadi harapan terakhir bagi penduduk miskin perkotaan. Melalui comparative study ini, kita mengetahui bahwa atas nama pembangunan, hubungan sungai dan manusia telah berubah.
Sementara itu, perspektif masyarakat terhadap pencemaran sungai bersifat acuh tak acuh. Kebanyakan penduduk di dua wilayah menganggap pencemaran sebagai sesuatu yang ‘normal’ yang diartikan sesuatu yang sudah biasa terjadi, dilihat, dialami oleh penduduk. Bahkan bagi generasi muda, pencemaran sungai menjadi sesuatu yang ‘normal ‘ karena telah terjadi sejak mereka dilahirkan. Bau, kotor dan berubah warna adalah bagian dari hidup. Demikianlah pencemaran sungai ini didefinisikan berdasarkan pengalaman masa lalu dan masa kini.
Sungai yang tercemar juga dianggap ‘normal’ yang berarti terjadi sebagai akibat dari pembangunan dan industrialisasi. Hal ini terjadi akibat kuatnya hegemoni materialism dan lemahnya posisi masyarakat. Di wilayah urban, kita bisa melihat bagaimana masyarakat yang semula memiliki hak atas tanah dan terikat kuat dengan sungai, terpaksa menjual tanah karena tergiur uang. Profesi petani secara berangur angsur berubah menjadi buruh dan pengumpul limbah pabrik dan plastik. Lingkungan yang semula hijau berubah menjadi ladang sampah. Dengan demikian pencemaran dianggap sebagai sesuatu yang tak terelakkan.
Sementara saat ini, sungai yang telah tercemar hanya dijadikan tempat pembuangan sampah dan limbah baik industri dan rumah tangga. Data terkait sumber pencemar yang dimuat dalam dokumen the Executive summary, water and sanitation Program, technical paper in titled Downstream Impacts of Water Pollution in the Upper Citarum River, West Java, Indonesia. Economic Assessment of Interventions to Improve Water Quality (2013; iv) [4]menyebut bahwa pencemar terbesar adalah limbah rumah tangga (64%) yang diidentifikasi melalui BOD, sementara limbah industri dan pertanian sebanyak 36%.
Sayangnya apa yang sering kita baca melalui media masa terkait penyebab pencemaran Sungai Citarum adalah industri. Karena terlalu fokus pada industri sebagai sumber masalah, masyarakat seolah tidak menyadari bahwa perilaku sendiri yang secara signifikan memperparah kondisi pencemaran sungai. Tentu saja, ini menjadi hambatan utama bagi upaya mengatasi pencemaran sungai. Masyarakat secara umum tidak menyadari bahwa perilakunya telah merusak sungai dan menjadi persoalan besar dan terberat dari upaya program Citarum Harum yang digagas Presiden. Persoalan ini juga diakibatkan karena kuatnya cara pandang antroposentris. Sungai hanya dilihat dalam konteks kegunaan untuk mendukung hajat hidup manusia. Sebagai akibatnya terjadi kerusakan alam dan sungai yang hebat. Ketika sungai sebagai sumber air telah rusak, maka dicarilah alternatif sumber sungai yang lain, yakni menggali sumur permukaan dan sumur artesis (bor). Meskipun, menggali sumur dianggap sebagai melanggar mitos.
Karakter spiritual Sungai Citarum
Melalui penelitian ini diketahui bahwa dalam sejarahnya, sungai Citarum yang merupakan sungai terpanjang dan terbesar di Tatar Sunda, pernah disebut sebagai ‘Bangawan’. Menurut kamus bahasa Sunda – Belanda, ‘Bangawan’ berarti Groot river atau sungai yang besar dan diagungkan. Menurut Coolsma,(1884,29), Bangawan[5] berarti ‘Agoeng’ yang dalam bahasa lokal dihubungkan dengan supernatural. Akan tetapi saat ini kata ‘Bangawan’ ini tidak lagi digunakan dan bahkan tidak banyak dikenali. Bahkan beberapa informan dalam penelitian ini hanya menyebutnya sebagai ‘Citarum’ atau ‘walungan’ (sungai yang agak besar). Uniknya beberapa informan di wilayah perkotaan, menunjuk sungai sebagai ‘solokan’ (anak sungai) yang kadang dikatakan sebagai ‘selokan’ yang lebih menunjuk pada fungsi sungai sebagai saluran pembuangan. Perubahan penyebutan kata ini sebenarnya menggambarkan bagaimana interaksi kita terhadap sungai telah berubah sepanjang sejarah.
Dulu sungai Citarum pernah dihubungkan dengan kekuatan supernatural sehingga disebut sebagai Bangawan. Penyebutan ini terkonfirmasi dengan cerita beberapa informan yang dulu menganggap air sungai citarum memiliki fungsi karomah (sacred water). Akan tetapi saat ini fungsi karomah dari sungai hanya terjadi dibeberapa titik sungai yang dianggap masih bersih. Umumnya di daerah hulu dan bermata air, seperti di Ciwidey, ritual mandi (purifikasi) berdasar tradisi Sunda Islam masih dilakukan. Selain di sumber mata air yang relatif masih bersih, tradisi ritual mandi ini juga biasanya dilakukan di daerah dimana makam keramat para karuhun berada. Tujuan dari ritual mandi ini dihubungkan dengan keberkahan dan upaya mencari ketenangan dan penyelesaian dari persoalan hidup, seperti sakit dan kemiskinan atau hutang.
Selain ritual mandi, mitos yang terkait dengan sungai juga masih didengar. Sebagian informan mengakui bahwa roh penunggu di sungai Citarum akan menolong semua anak keturunan dan tidak akan menganggu. Itu sebab ketika banjir besar terjadi, penduduk asli tidak pernah merasa takut dan kebanyakan memilih tidak mengungsi. Dengan demikian, masih ada jejak spiritualisme di sepanjang sungai Citarum yang seharusnya dihormati.
Pentingnya pengakuan hak atas sungai
Saat ini perhatian pemerintah terhadap upaya normalisasi sungai Citarum sangat besar. Mimpi presiden bahwa dalam kurun waktu tujuh tahun Citarum dapat kembali bersih menjadi puncak perhatian pemerintah Indonesia terhadap sungai ini. Sungai Citarum tidak lagi dianggap milik dan persoalan masyarakat sunda, tetapi dicitrakan sebagai wajah keseriusan visi ‘bersih’ pemerintah Indonesia. Tentu ini membanggakan.
Akan tetapi harus kembali diingat bahwa persoalan mendasar dari pencemaran sungai adalah masalah perilaku, kebiasaan masyarakat berikut cara pandangnya. Dengan demikian perlu dekonstruksi pemikiran dari cara pandang kita terhadap sungai. Sungai yang semula dianggap sebagai penunjang hidup manusian, harus dilihat sebagai entitas yang memiliki hak, terutama karakter spiritual seperti yang telah dijelaskan diatas. Melalui cara pandang ini, diharapkan masyarakat tak lagi melihat pencemaran sebagai sesuatu yang ‘normal’.
Gerakan yang mengakui bahwa sungai memiliki hak, diawali dari sungai Gangga di India dan sungai Whanganui di Selandia Baru. Dengan memberikan status hukum yang sama antara sungai dengan manusia diharapkan akan mengubah cara berpikir manusia bahwa hubungan manusia dan alam melebihi sifat materialism, sehingga hubungan yang tercipta akan lebih bersifat etik. Selandia Baru dan India telah mengakui hak hak yang melekat pada sungai, yang tak sekedar terjebak pada fungsi penggunaan. Sungai diakui memiliki sifat spiritual, fisikal dan metaphisik. Hubungan yang bersifat etik ini mulai berkurang sejak era industrialisasi dan justru melekat kuat didasarkan pada pengalaman masyarakat lokal[6].
Penutup
Mengakui bahwa sungai Citarum memiliki hak yang berkarakter spiritual, diharapkan perilaku masyarakat akan berubah. Selanjutnya misi menjaga ‘Ruh Citarum’ diharapkan bisa menghidupkan kembali nadi sungai Citarum yang pernah dikeramatkan dan dibanggakan oleh masyarakat Sunda.
[1] Definisi agamis didalam survey ini terkait dengan seringnya seseorang pergi ketempat ibadah untuk beribadah dan mengaku percaya kepada Tuhan dan kehidupan akhirat (http://gallup.com.pk/wp-content/uploads/2017/04/Global-Report-on-Religion-2.pdf)
[2]http://citarum.org/info-citarum/berita-artikel/515-pesantren-lingkungan-di-citarum.html(visited 11 June 2017)
[3]Berdasar peta DAS sungai RCMU –Bapenas tahun 2013(134),kedua lokasi bagian dari Sub Das Citarum Hulu Segmen I. Sumber http://citarum.org/citarum-knowledge/pusat-database/data-spasial/basemap/210-peta-segmentasi-sungai-citarum/file.html(visited 18 September 2017)
[4]According to Executive summary, water and sanitation Program, technical paper in titled Downstream Impacts of Water Pollution in the Upper Citarum River, West Java, Indonesia. Economic Assessment of Interventions to Improve Water Quality (2013; iv) shows data analysis of the sources of water pollution indicates that 64% of biological oxygen demand in the Citarum River is produced by domestic and municipal activities, compared with 36% from industrial or agricultural activities combined. The significant number of people lacking access to improved sanitation in the upper Citarum River basin explains the relatively high contribution of domestic and municipal activities: 60% in rural areas and 35% in urban areas.
[5]Bangawan means great river (sungai yang Agung) or groote rivier, die in de zee uitloopt; Enil de Nijl- also means Agoeng, een groote stroom (Coolsma, 1884. 29). Other words are waloengan voll. tji-waloengan, rivier, stroom, tji of tjai – rivierwater. Vgl. wahangan, soesoekan en solokan (Coolsma; 1884,416) . This research finds that the word ‘bangawan’ is no longer used, even the current generation of Sundanese do not recognized the word ’Bangawan’ to indicate the great river of Citarum.
[6]https://www.theguardian.com/global-development-professionals-network/2017/apr/21/rivers-legal-human-rights-ganges-whanganui?CMP=share_btn_fb
*) Haryani Saptaningtyas (Alumni FP UNS angkatan 1994 – Staff Peneliti Percik – Salatiga)
Diambil dari:
https://ikatani.id/duniausaha-12-Mencari.Ruh.di.Citarum.yang.Keruh.(Menuju.Citarum.Harum).html