Dari Salatiga untuk Perdamaian Indonesia
(Catatan Peringatan Hari Toleransi Internasional di Kota Salatiga tahun 2018)
Menjelang sore yang cerah, di hari Jumat 30 November 2018, kesibukan pedagang dan pembeli di Pasar Raya 2 Salatiga mulai berkurang. Sebagian besar pedagang yang sudah berdagang sejak pagi, mulai merapikan dagangan dan menutup kiosnya. Seiring dengan kesunyian di dalam pasar, kesibukan berganti di Kanopi dan halaman Pasar Raya 2. Di halaman pasar, yang terletak di jantung kota itu, beberapa pedagang makanan dan minuman mulai mempersiapkan dagangannya. Selain itu kesibukan lain juga terjadi di area Kanopi dan halaman depannya. Sejumlah warga dan anak-anak muda dari berbagai komunitas lintas iman dan etnis, tampak sibuk memasang tenda, menata kursi dan panggung di Kanopi. Seperti berkejaran dengan waktu, mereka tidak banyak bercakap atau bersenda gurau.
Hampir bersamaan dengan kumandang azan Salat Magrib dari Masjid Al Muttaqien pekerjaan hampir beres. Sebuah spanduk besar di Kanopi dengan tulisan, “Malam Puncak Peringatan Hari Toleransi Internasional Kota Salatiga tahun 2018: Dari Salatiga untuk Perdamaian Indonesia”, terpasang dengan gagahnya. Di bagian bawahnya itu, tampak logo penyelenggara kegiatan yaitu Pemerintah Kota dan Polres Salatiga, serta Setara Institute dan Yayasan Percik Salatiga. Kehadiranya seperti menjawab banyak pertanyaan dari berbagai warga yang penasaran dengan acara ini.
Ya, malam itu, merupakan puncak acara dari rangkaian kegiatan dalam rangka memperingati hari toleransi internasional di Kota Salatiga.Sebagaimana diketahui sejak tahun 1996 setiap tanggal16 November diperingati sebagai Hari Toleransi Internasional. Pada hari ulang tahun ke-50 PBB, 16 November 1995, negara-negara anggota UNESCO mengadopsi sebuah Deklarasi Prinsip-Prinsip Toleransi, antara lain menegaskan bahwa toleransi merupakan cara untuk menghindari ketidakpedulian, kekerasan, diskriminasi, dan marginalisasi di banyak negara. Sikap toleransi adalah bentuk pengakuan hak asasi manusia universal dan kebebasan fundamental orang lain. Dengan adanya keberagaman manusia, toleransi bisa menjamin kelangsungan hidup komunitas di setiap wilayah dunia.
Pada hari-hari menjelang acara ini, sejumlah individu dan komunitas lintas iman di Salatiga dan sekitarnya yang didukung oleh 4 lembaga itu telah mengadakan lomba film pendek dan poster bertema toleransi. Perlombaan itu bertujuan untuk memfasilitasi ekspresi dan kreasi warga dalam memaknai dan memperjuangkan toleransi di Kota Salatiga. Malam itu hasil penjuriannya akan dibacakan dan diberikah penghargaan bagi para pemenang perlombaan. Acara Malam Puncak Peringatan Hari Toleransi Internasional di Kota Salatiga tahun 2018 itu merupakan kali pertama di Kota ini yang melibatkan partisipasi banyak pihak, baik dari unsur instansi negara maupun masyarakat sipil.
Sekitar jam 7 malam, sebagian tamu undangan dan kelompok seni budaya pengisi acara telah datang ke area acara. JQH Al Furqon, group rebana dari Mahasiswa IAIN Salatiga, mengawali acara dengan menyanyikan lagu-lagu keagamaan bersyair Arab, dibuka dengan Shalawat Nabi Muhammad SAW dan diakhiri dengan lagu Deen Assalam. Lagu Deen Assalam ini, pertama kali dinyanyikan Sulaiman Al Mughni dan di Indonesia dipopulerkan oleh penyanyi Sabyan Gambus. Menilik liriknya, lagu iniingin menunjukkan Islam adalah agama pembawa perdamaian, dengan mengajak kepada semua umat Islam untuk bertoleransi dan saling menghormati.
Lagu ini dikumandangkan untuk menyongsong kehadiran para tamu yang sebelumnya transit di Rumah Dinas Walikota Salatiga. Mereka adalahForkompinda, dan pimpinan legislatif,Organisasi Pemerintah Daerah (OPD), Perguruan Tinggi, Organisasi Sosial Keagamaan, Organisasi Masyarakat Sipil, FKUB, Komunitas Lintas Iman, Bisnis,Seni-Budaya, serta tokoh masyarakat di Salatiga. Usai lagu ini kelar, diteruskan acara sesi pembukaan. Diawali dengan menyanyikan lagu Indonesia Raya, dan sambutan-sambutan dari Ketua Panitia (Singgih Nugroho), Direktur Riset Setara Institute (Halili), Kapolres (AKBP Yimmy Kurniawan), dan Walikota Salatiga (Agung Nugroho, Kepala Badan Kesbangpol). Pada bagian akhir sesi pembukaan, dilakukan doa bersama oleh tokoh lintas agama.
Lantas, acara dilanjutkan dengan pagelaran seni budaya, yang diramaikan oleh kelompok tarian etnik dari Forum Persaudaraan Bangsa Indonesia (FFBI Salatiga), dan Musikalisasi Puisi dari Kelompok Belajar Qoryah Toyyibah dan Teater Getar IAIN Salatiga. Puncak acara yang ditunggu adalah pengumuman pemenang lomba film pendek dan poster bertema toleransi. Berdasarkan keputusan dewan juri, yang dibacakan pembawa acara (Ahmad Alex Mufid dan Ambar Istiyani), film berjudul, “Perpective”,besutan kelompok R Visual Productionsebagai Juara I. Selanjutnya, film berjudul,“Weton Sindu”, karya Wik wik Production, dan film berjudul, “Tepo Seliro” (Arunika Production) sebagai juara II dan III.Sedangkan juara Harapan I adalah film berjudul, “Satu dalam Perbedaan”, karya C&N Production, dan “3 Sudut”, karya Pecandu Karya Production sebagai Juara Harapan II. Sementara itu, pemenang pertama lomba poster diraih oleh Sofyan Baihaqi, disusul oleh Ahmad Makdum dan Bram Kusuma. Para pemenang itu mendapat penghargaan Tropy dari Walikota dan Kapolres Salatiga beserta uang pembinaan dan piagam.
Salatiga sebagai Sumbu Perdamaian Indonesia
Serangkaian acara malam puncak itu antara lain ingin menjelaskan tentang latarbelakang, tujuan, sekaligus apresiasi, dan harapan dari kegiatan ini. Penyelenggaraan acara ini didorong atas dasar keinginan untuk ikut merawat kemajemukan (pluralitas) di kehidupansosial masyarakat di Indonesia termasuk Kota Salatiga. Sebab, keragaman itu telah menjadi modal sosial penting bagi pembentukan bangsa (nation building)baik secara politik maupun geografis,sehingga para pendiri bangsa ini dengan sadar memilih Pancasila sebagai dasar negara.
Di Kota Salatiga, keragaman agama dan etnis warganya menjadikan kota yang menurut data BPS (2016) dihuni oleh 186.420 jiwa kerap disebut sebagai salah satu miniatur Indonesia mini yang menjadi rumah yang nyaman bagi sekitar 32 suku. Praktek toleransi telah berjalan baik selama kurun panjang dan diakui oleh banyak pihak. Pada tahun 2015 dan 2017 misalnya, Setara Institute Jakarta memasukkan Kota Salatiga sebagai Kota Toleran di Indonesia. Dan di tahun 2018ini, Kota Salatiga kembali mendapat penghargaan dari Setara Institute.
Sebagai informasi, Setara Institute Jakarta melakukan penelitian Indeks Kota Toleran terhadap terhadap 94 dari 98 kota di Indonesia. Tujuan pengindeksan ini antara lain untuk mempromosikan kota-kota yang dianggap berhasil membangun dan mengembangkan toleransi di wilayahnya. Hal ini diharapkan memicu kota-kota lainnya untuk mengikuti, membangun, dan mengembangkan toleransi di wilayahnya.
Kota Toleran dalam studi indexingini, dijelaskan sebagai kota yang memiliki beberapa atribut yaitu, pertama, Pemerintah kota tersebut memiliki regulasi yang kondusif bagi praktik dan promosi toleransi, baik dalam bentuk perencanaan maupun pelaksanaan. Kedua, pernyataan dan tindakan aparatur pemerintah kota tersebut kondusif bagi praktik dan promosi toleransi. Selanjutnya, di kota tersebut, tingkat peristiwa dan tindakan pelanggaran kebebasan beragama/berkeyakinan rendah atau tidak ada sama sekali. Serta kota itumenunjukkan upaya yang cukup dalam tata kelola keberagaman identitas keagamaan warganya.
Penilaiannya antara lain menggunakan empat variabel, seperti regulasi pemerintah atau rencana pembangunan jangka menengah daerah (RPJMD) dan peraturan daerah. Variabel juga meliputi tindakan pemerintah sebagai respons peristiwa, regulasi sosial, dan demografi agama. Tidak kalah penting adalah tentang adanya kerjasama yang baik diantara pemerintah daerah dan masyarakat sipil dalam promosi toleransi.Dari dua kali hasil indexing itu Kota Salatiga selalu memiliki skor toleransi tertinggi bersama dengan Kota Manado, Pematangsiantar, Salatiga, Singkawang dan Kota Tual. Di tahun 2018 ini Salatiga menempati peringkat kedua dengan skor6.477. sedangkan peringkat pertama diraih Kota. Singkawang (6.513).
Adanya pengakuan ini memberi kebanggaan sekaligus tantangan bagi seluruh elemen di kota ini (Pemkot, institusi hukum dan keamanan, serta masyarakat sipil) untuk merawatnya agar lebih baik. Warga Salatiga (dan sekitarnya) harus mempelajari, mengamati dan memantau bahkan ketika Salatiga dalam keadaan damai agar kita bisa mengetahui, faktor-faktor yang bisa menjaga situasi damai tetap terpelihara. Jika potensi kekerasan mulai terdeteksi, kita bisa segera mengambil tindakan pencegahan sejak dini. Sehingga perlu peningkatan kerjasama diantara aparat negara dan masyarakat sipil dalam upayapencegahan terjadinya konflik bernuansa SARA di Kota Salatiga sekaligus meneguhkan tekad untuk menjadikan “Salatiga sebagai Sumbu Perdamaian Indonesia”.
(Ditulis oleh Singgih Nugroho).