Hargai Manusia, Apapun Keyakinannya

Oleh: Mahasiswa PPL UIN Walisongo Salatiga

Refleksi Praktik Pengalaman Lapangan (PPL) Kajian Lintas Iman di Lembaga Percik Salatiga

Percik menjadi tujuan dari Praktik Pengalaman Lapangan (PPL) dari kelompok kami. Selain masih berada dalam lingkungan Salatiga, juga untuk menambah pengalaman baru berkecimpung dalam salah satu Non Goverment Organisation (NGO). Percik menjadi salah satu dari delapan tujuan yang dirancang oleh kampus dengan fokus kajian pada lintas iman. Beranggotakan delapan orang kami mulai merajut pengalaman dan menambah ilmu pengetahuan.

Tidak ada ekspektasi awal tentang Percik, yang kami tahu, kamu akan menjalankan PPL di lembaga yang berfokus pada kajian lintas ilman. Bahkan beberapa dari kami masih asing dengan lintas iman atau bersinggungan secara langsung dengan orang berbeda agama. Tentu perjalanan yang sudah dialami menjadi pengalaman dan pelajaran yang begitu berharga untuk dibawa pulang.

Awal kami datang, disambut dengan pepohonan yang begitu rimbun, lingkungan yang begitu asri dan semua masih terlihat alami, tak terpikirkan jika di Salatiga masih ada tempat yang begitu sejuk melebihi taman kota. Pagi itu sekitar pukul 10, kami menyusuri jalan setapak menuju tempat yang disepakati untuk penyerahan kelompok PPL dari DPL pada Kampung Percik. Mengawasi sekeliling, terlihat sepi, tidak ada orang, hanya ada bangunan joglo-joglo tua yang terlihat wingit, menambahkan kesan senyap pada tempat PPL kami.

Kami ditempatkan di perpustakaan, bangunan joglo tua yang asal usulnya dulu dari Blora. Buku-buku tua yang tersusun di rak-rak kayu menjadi teman kami selama satu bulan. Ditemani pak Agus, kami berada diperpus selama jadwal PPL, walaupun mungkin kami lebih banyak mengganggu konsentrasinya. Minggu-minggu awal kami masih canggung, ditambah dengan pengantar awal dari pak Singgih yang mengatakan bahwa Percik masih jarang kegiatan.

Satu minggu pertama kami mencoba beradaptasi dan mengenal percik lebih dalam dengan melakukan observasi, kajian literasi di perpus maupun bertanya pada beberapa staff yang ada. Kami lebih banyak berada di perpus karena masih bingung harus mengerjakan apa. Pada akhirnya kami memutuskan untuk mengagendakan kegiatan alternatif serta membantu semampunya. Ada beberapa agenda alternatif yang kami susun seperti perlombaan kemerdekaan, sarasehan kemerdekaan di Gereja bersama Sobat Muda, Live in Sobat Muda, dan berkunjung ke Nalen. Akan tetapi, sebagian besar agenda tersebut urung kami laksanakan saat masa PPL karena beberapa pertimbangan.

Selain merumuskan beberapa agenda, kami juga mulai melangkah dalam pembuatan video documenter tentang profil Percik. Minggu kedua dan ketiga di Percik, kami isi dengan perencanaan dan pencarian data mengenai video yang kami kerjakan. Mulai riset data dari beberapa buku maupun artikel yang ditemukan serta wawancara dengan beberapa staf Percik. Dari kegiatan tersebut, selain untuk melengkapi tugas video dokumenter, kami jadi lebih tau tentang Percik, mulai dari sejarah, visi misi, tujuan, agenda kegiatan, usaha untuk membumikan toleransi dan masih banyak lagi. Pada minggu ketiga, lima orang dari kami bermalam di Percik. Di tengah pepohonan yang menjulang tinggi, suasana sepi, ditambah rintik hujan menjadikan suasana malam terasa senyap. Akan tetapi, hal tersebut menjadi kenangan manis yang akan diingat.

Minggu terakhir disini, kami fokus menyelesaikan project video, dari data yang sudah dikumpulkan, kemudian dirajut menjadi cerita tentang Percik. Video dokumenter yang dibuat, menjadi kenangan bagi kami, sekaligus menjadi dokumen yang bisa disimpan Percik. Selain pembuatan video, kami juga mendapat pengalaman baru, bersinggungan dengan agama lain menjadi salah satunya.

Tidak bisa dinafikkan, bahwa Indonesia merupakan negara yang heterogen, akan tetapi kebanyakan dari kami jarang bersinggungan dengan orang yang berbeda agama. Kami hidup dilingkungan yang mayoritas Islam, sedang di Percik orang-orang memiliki latar belakang agama yang berbeda. Persinggungan tersebut menjadi culture shock yang akan terkenang. Awal perjumpaan terasa begitu canggung, karena jarang bertemu, berbicara dan berdiskusi dengan durasi waktu yang lama dengan orang yang berbeda agama. Awal bercengkrama menjadi kesan menarik, kami begitu hati-hati dalam berbicara karena takut menyinggung hal yang tidak diinginkan. Tetapi setelah beberapa hari bercengkrama, kondisi mulai mencair, perbincangan semakin renyah, bahkan kami berbicara tentang daerah asal sampai dengan rencana setelah kuliah. Setelah lama bersama, merasa senang bisa memiliki teman bicara yang berlainan agama, pada titik ini kami merasakan bahwa toleransi bukan hanya wacana yang tertulis, akan tetapi toleransi benar-benar kami rasakan dan jalani.

Konflik tentang agama sering kita dengar, baik dari media cetak maupun media online. Konflik memang terjadi, akan tetapi agama tidak pernah mengajarkan manusia untuk berkonflik apalagi klaim tentang kebenaran. Bahkan Islam dalam surat al Hujurat ayat 13 mengajarkan sebaliknya. 

يٰٓاَيُّهَا النَّاسُ اِنَّا خَلَقْنٰكُمْ مِّنْ ذَكَرٍ وَّاُنْثٰى وَجَعَلْنٰكُمْ شُعُوْبًا وَّقَبَاۤىِٕلَ لِتَعَارَفُوْا ۚ اِنَّ اَكْرَمَكُمْ عِنْدَ اللّٰهِ اَتْقٰىكُمْ ۗاِنَّ اللّٰهَ عَلِيْمٌ خَبِيْرٌ

Artinya: “Wahai manusia! Sungguh, Kami telah menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan, kemudian Kami jadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku agar kamu saling mengenal. Sesungguhnya yang paling mulia di antara kamu di sisi Allah ialah orang yang paling bertakwa. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha Mengenal.”

Pelajaran tentang toleransi juga diajarkan oleh Nabi Muhammad saw. Hal tersebut beliau contohkan ketika disepakatinya Piagam Madinah. Piagam ini terdiri dari empat bagian, bagian kedua dan ketiga lebih menekankan hubungan antara orang Islam dengan orang Yahudi. Inti dari perjanjian tersebut adalah mengatur hubungan antara orang Islam dan orang Yahudi agar tercipta kesetabilan di Madinah serta kota Madinah diharamkan dari peperangan dan bila terjadi perang semua orang wajib mempertahankam Madinah. Makna tersirat dari perjanjian ini tentu nilai toleransi yang ditanamkan oleh Nabi Muhammad saw kepada umatnya.

Toleransi menjadi bagian dari gerakan yang disebut humanisme, toleransi sudah lama dipraktikkan, akan tetapi konsepnya yang termaktub dalam humanisme menjadi bagian dari filsafat modern. Toleransi digaungkan secara lantang salah satunya oleh Mahatma Gandhi. Gandhi berusaha mendamaikan Hindu dan Islam yang ada di India yang pada akhirnya terpecah menjadi India dan Pakistan. Dari seruannya tentang toleransi agama, pada akhirnya Gandhi mati terbunuh oleh pengusung gerakan ekstrimis Hindu dari India. Dari pengalaman Mahatma Gandhi, mengingatkan kami pada salah satu tokoh pluralisme yang ada disekitar Salatiga, K.H. Mahfud Ridwan. Tentang toleransi Kyai Mahfud pernah mengatakan bahwa “hargai manusia, apapun keyakinannya, jika misalnya ada 99 perbedaan dan masih ditemukan 1 kesamaan, maka jadikan 1 kesamaan itu alasan untuk mengasihi”. Perjalanan kami di Percik begitu memberikan kesan yang bermakna. Dulu humanisme, pluralism, dan toleransi menjadi teori dan konsep yang ada diangan-angan. Akan tetapi setelah menjalani PPL di Kampung Percik, kami menyadari bahwa toleransi begitu dekat dan mahal harganya.

Tentang Penulis

Berita lainnya