Wisata Sejarah Lintas Iman
Perjumpaan adalah cara merayakan perbedaan tanpa memecah belah komunitas kita. Semboyan ini mengiringi perjalanan menuju tiga destinasi bersejarah di Kota Salatiga : Rumah Khalwat Roncalli, Rumah Dinas Danrem, dan Klenteng Hok Tek Bio. Wisata sejarah lintas iman diikuti oleh remaja dari berbagai komunitas berbeda latar belakang yang berasal dari Kota Salatiga dan sekitarnya. Tujuan utama kegiatan ini adalah mengenalkan tempat-tempat bersejarah di Kota Salatiga. Selain itu, memfasilitasi perjumpaan anak-anak remaja yang memiliki latar belakang yang berbeda. Agama, laki-laki, perempuan menjadi pembeda diantara mereka. Kegiatan ini juga diikuti oleh ABK (Anak Berkebutuhan Khusus). Melalui perjumpaan, anak-anak remaja peserta wisata sejarah lintas iman bisa merasakan keberagaman yang ada di sekililingnya. Pada akhirnya melalui perjumpaan dan merasakan keberagaman diharapkan mampu menumbuhkan sikap pada anak-anak remaja peserta wisata sejarah lintas iman untuk saling menghormati dan menghargai perbedaan.
Memperingati Hari Sumpah Pemuda 28 Oktober 2018 para pegiat lintas iman remaja menyelenggarakan wisata sejarah lintas iman. Remaja sebagai generasi penerus hendaknya mengetahui sejarah bangsanya. Salatiga, kota berhawa sejuk menyimpan banyak sejarah dalam perjalanan bangsa Indonesia. Tidak banyak orang tahu bahwa tiga bangunan bersejarah tersebut di atas menjadi saksi bisu tentang sejarah yang pernah terjadi di Kota Salatiga pada masa penjajahan Belanda. Dalam wisata sejarah lintas iman ini, peserta mengunjungi dan melihat langsung bangunan serta ruangan-ruangan dari masing-masing bangunan. Peserta juga berkesempatan mendengarkan langsung penjelasan tentang bangunan-bangunan bersejarah itu. Beberapa peserta mengajukan pertanyaan-pertanyaan untuk menambah pengetahuan mereka.
Rumah Khalwat Roncalli merupakan bangunan bersejarah yang terletak di Jalan Diponegoro (dulunya Toentangscheweg). Bangunan itu dulunya dikenal dengan nama Istana Djoeng Eng, milik pengusaha kaya asal Taiwan bernama Kwik Djoen Eng. Ornamen-ornamen hias yang melekat pada dinding luar maupun dalam bangunan menonjolkan budaya Tionghoa. Sekitar tahun 1930-an istana itu disita bank karena krisis ekonomi besar yang mengakibatkan Kwik Djoen Eng gulung tikar. Tahun 1949 Yayasan FIC-milik komunitas Katolik kemudian membeli istana Djoen Eng. Istana Djoen Eng sekarang dikenal dengan nama Rumah Khalwat Roncalli (Institut Roncalli) dan digunakan sebagai tempat berkegiatan komunitas Katolik.
Rumah dinas Komandan Korem (Danrem) 073 Salatiga yang terletak di Jalan Diponegoro, dulunya adalah vila milik Oei Tiong Ham, seorang Raja Gula se-Asia Tenggara. Oei Tiong Ham menguasai pasar gula di sebagian besar wilayah Asia Tenggara. Kala itu kepemilikan aset Oei Tiong Ham di Salatiga mencakup dari Mal Ramayana kini hingga sebagian besar wilayah Jalan Jenderal Sudirman Salatiga. Kepemilikan aset ini berimplikasi pada pembayaran pajak yang besar di Salatiga. Pembayaran pajak yang terbilang besar dari Oei Tiong Ham telah berkontribusi dalam pembangunan fasilitas Salatiga kala itu. Vila yang kini menjadi rumah dinas Danrem 073 itu pernah ditinggali Soeharto (Presiden ke- 2 Indonesia) tahun 1951-1953.
Klenteng Hok Tek Bio yang terletak di Jalan Sukowati tak kalah pentingnya. Sebuah prasasti pada dinding klenteng menyebutkan renovasi bangunan dilakukan tahun 1872. Artinya bahwa bangunan klenteng Hok Tek Bio sudah ada sebelum dilakukan renovasi dan patut diduga komunitas Tionghoa telah ada di Salatiga sebelum dibangunnya klenteng tersebut.
Komunitas Tionghoa telah menjadi bagian dari sejarah Kota Salatiga. Pada masa Hindia Belanda Salatiga sebagai kota terindah indah di Jawa Tengah, berhawa sejuk dan terletak strategis. Para pebisnis Tionghoa yang kaya raya pada waktu itu kemudian memilih Salatiga sebagai tempat tinggalnya. Itulah bagian dari sejarah Kota Salatiga. Tentu saja masih terdapat bangunan-bangunan tua lainnya yang menjadi bagian sejarah Kota Salatiga.
Sebagian besar remaja yang ikut dalam wisata sejarah lintas iman menyatakan bahwa mereka baru pertama kali mengunjungi bangunan-bangunan bersejarah tersebut. Pada umumnya mereka menyatakan senang mengikuti kegiatan ini. Isma, salah seorang peserta mengungkapkan, “Selama ini saya kurang senang dengan pelajaran sejarah, tapi dengan belajar secara langsung seperti tadi, sekarang menjadi senang dengan pelajaran sejarah. Secara khusus lebih cinta sama Kota Salatiga dan semakin mengenal Kota Salatiga.” Sementara Zahra menyatakan, “Bangga sebagai orang yang lahir di Kota Salatiga. Mengetahui bahwa pada masa penjajahan Belanda, Salatiga menjadi kota terindah di Jawa Tengah yang berhawa sejuk. Banyak orang-orang asing berlomba-lomba mendapatkan tanah di kota ini. Sehingga banyak bangunan megah dan beragam di kota ini. Berharap kota ini tetap terjaga sebagai kota sejuk dan tetap indah.” Khamidah juga mengungkapkan hal yang sama, “ Senang mengikuti kegiatan ini karena menjadi tahu ternyata orang-orang Tionghoa sangat berbakat. Bisa melihat jasa orang-orang Tionghoa pada masa lalu bagi Kota Salatiga.”
Tidak bisa dipungkiri bahwa diantara mereka terdapat beberapa anak yang baru saja bergabung dengan kegiatan Sobat Remaja ini sehingga perasaan canggung dan malu masih mereka rasakan. Seperti yang diungkapkan oleh Khamidah, “Meski awalnya saya merasa malu bertemu dengan orang baru yang belum saya kenal, tapi saya juga senang mengenal orang yang bermacam-macam agama, tetapi saya tidak membedakannya.” Ungkapan senada juga disampaikan oleh Isma, “Dengan semakin bertemu banyak orang baru, maka akan lebih tahu bahwa karakter orang itu sangat bermacam-macam, tinggal bagaimana kita bersikap.” Demikian juga Enda mengungkapkan, “Senang bisa bercanda bareng dan belajar bareng. Memiliki pengalaman baru dari mereka.”
Mereka berharap kegiatan seperti ini bisa diselenggarakan kembali di waktu mendatang. Mengunjungi bangunan-bangunan lain di Kota Salatiga untuk menambah pengetahuan. Kegiatan ini membantu untuk mengenal Kota Salatiga. [Cicilia Dwi Wuryaningsih]
Sumber :
Abel Jatayu, Wisata Sejarah Lintas Iman