Mengenang Arief Budiman, Akademisi dan Aktivis Tulen yang Egaliter
Oleh: Singgih Nugroho
Soe Hok Djin merupakan nama lahirnya sebelum berganti Arief Budiman (AB). Nama itu diberikan oleh Leila Charani Budiman teman sekelas di Fakultas Psikologi Universitas Indonesia, yang akhirnya dinikahi di tahun 1968, hingga kepulangannya pada Kamis (23 April 2020 dalam usia 79 tahun) di Rumah Sakit Ken Saras Ungaran. AB lahir di Jakarta, 3 Januari 1941. Ayahnya merupakan seorang penulis novel terkenal yang telah menghasilkan 21 novel. AB adalah anak ketiga dari pasangan Soe Lie Piet atau Salam Sutrawan dan Nio Hoe An (Anna Maria). Pasangan itu memiliki anak 5 orang yaitu Dien Pranata, Mona, Soe Hok Djin, Soe Hok Gie, dan Jeanne Sumual. Soe Hok Gie merupakan adik kandung langsung yang dikenal juga sebagai aktivis mahasiswa angkatan 1966.
Sebagaimana Soe Hok Gie, AB juga dikenal sebagai tokoh aktivis mahasiswa angkatan 1966 yang turut mendirikan Rezim Orde Baru. Dia bersama sejumlah tokoh ikut menandatangani Manifesto Kebudayaan pada 1963. Usai turut demonstrasi menurunkan Soekarno, belakangan AB menjadi sangat kritis terhadap model pembangunan Orde Baru yang sarat dengan pendekatan kekuasaan yang koruptif dan menimbulkan ketimpangan ekonomi. Dia masa awal Orba dia dikenal sebagai tokoh pelopor Aksi Golongan Putih, gerakan moral untuk menentang Pemilu pertama di masa Orba di tahun 1971 dan protes pembangunan Taman Mini Indonesia Indah (TMII) tahun 1972.
Sejak itu dia kerap harus menghadapi tekanan dan intimidasi dari penguasa Orba sehingga membatasi ruang geraknya di dalam negeri. Situasi itu mendorongnya untuk meneguhkan niat belajar di luar negeri. Perancis dan Amerika Serikat merupakan dua negara yang sempat menjadi tempat petualangan intelektualnya. AB berhasil meraih gelar PhD dari Harvard University dengan disertasi berjudul, “The Mobilization & the State Strategies in the Democratic Transition to Socialism: the case of Allende’s Chile di tahun 1970. Di tahun 1986, disertasi itu lantas diterjemahkan dalam bahasa Indonesia dan dipublikasikan penerbit Sinar Harapan Jakarta berjudul, “Jalan Demokratis ke Sosialisme: Pengalaman Chili di Bawah Allende.
Magnet Arief Budiman di Salatiga
Usai menyelesaikan studinya, di tahun 1981 dia hendak mudik ke Indonesia. Majalah Tempo Edis 23 Juli 2012, melaporkan meski lulusan Harvard University tapi dia kesulitan mencari pekerjaan di Indonesia. Universitas Indonesia dan Universitas Gadjah Mada Yogyakarta pun enggan menerimanya. Dalam situasi itu, Aries Tides Kattopo, sahabatnya, menyarankan AB melamar ke Universitas Kristen Satya Wacana (UKSW) Salatiga. Sutarno Rektor UKSW saat itu, merupakan karib Tides, menyambut baik tawaran itu, meski disertai rasa was-was dengan melihat kiprah AB yang kritis terhadap penguasa. Penerimaannya juga karena kebetulan saat itu UKSW belum memiliki pengajar berpredikat doktor. AB mengawali karir sebagai pengajar biasa dan berlanjut menjadi sekretaris program pasca sarjana.
Kehadiran AB di Salatiga, menjadikannya UKSW menjadi magnet bagi gerakan intelektual dan aktivisme yang kritis terhadap kekuasaan. Sikapnya yang kritis dan teguh sebagai oposan dengan cepat menarik perhatian bagi dosen dan mahasiswa progresif. Dia turut menginspirasi bagi lahirnya pengajar dan mahasiswa UKSW yang kritis dan juga menjadi tempat jujukan bagi banyak aktivis mahasiswa dari berbagai daerah. Program Pasca Sarjana Studi Pembangunan merupakan salah satu warisan pentingnya semasa mengajar di kampus tersebut. Dia juga turut menginiasi sejumlah lembaga masyarakat sipil seperti Yayasan Geni (Gemi Nastiti), Yayasan Persemaian Cinta Kemanusian (Percik) Salatiga dan Aliansi Jurnalis Independen (AJI) di Jakarta.
Sikap kritisnya terhadap pemilihan Rektor UKSW di tahun 1993 menyebabkan dia dipecat dengan tidak hormat di tahun 1994. Pemecatan itu berujung di pengadilan. Dengan dibantu Adnan Buyung Nasution dan pengacara di Salatiga, AB memenangi gugatannya. Tapi pihak manajemen kampus kala itu tidak mau mengembalikan haknya sebagai pengajar. Kondisi itu menimbulkan kemelut internal di UKSW hingga tahun pertengahan 1995. Sebagian pengajar dan mahasiswa yang bergabung dalam Kelompok Pro Demokrasi (KPD) mengundurkan diri secara massal dari UKSW. Dia lantas menjadi pengajar di Universitas Melbourne Australia sejak tahun 1997 hingga mencapai puncak karirnya sebagai guru besar di universitas tersebu dan pensius di tahun 2007. Di tahun 2015, kemelut UKSW itu telah diselesaikan melalui rekonsiliasi dengan permintaan maaf dan pemberian surat penghargaan dari manajemen UKSW ke AB. Sejak pensiun mengajar, sindrom parkinsonnya semakin menggerogoti kesehatannya. Sempat dirawat di sejumlah rumah sakit di Salatiga akhirnya dia menemui kolega yang sudah mendahuluinya di Rumah Sakit Ken Saras dan disemayamkan di Taman Makam Bancaan, Salatiga.
Kepergiannya membawa duka dan kenangan bagi banyak orang. Prosesi pemakamannya yang terjadi di masa pendemi Covid-19 membuat pihat keluarga membatasi pelayat. Situasi itu memunculkan rasa sepi untuk ukuran pemakaman seorang tokoh terkenal. Tentu saja itu tidak bisa menghalangi berbagai pihak untuk turut menghormatinya. Berbagai karangan bunga ucapan duka cita dari Presiden RI hingga para sahabatnya menjadi salah satu bukti ketokohannya dengan pergaulannya yang sangat luas.
Selain itu para kolega dan anak didiknya memberikan kesaksian pengalaman berinteraksi dengan AB antara lain melalui berbagai tulisan obituari di sejumlah media cetak dan jejaring media sosial. Anak didiknya di Yayasan Geni, merilis tulisan-tulisan yang dimuat dalam buku, “Arief yang Budiman” mengenang HUT AB ke 77 di tahun 2018 lalu. Sebagian tulisan kolega dalam buku, “Arief Budiman (Soe Hok Djin) Melawan Tanpa Kebencian”, terbitan Galang Press tahun 2018 juga dirilis di sejumlah media. Kesemuanya merupakan upaya untuk mengenang sosok, yang meminjam istilah Dr. Nico L Kana, koleganya di Program Studi Pembangunan UKSW, sebagai seorang yang dikenal di seluruh dunia namun rendah hati.
Arief Budiman dan Kampoeng Percik
Serupa dengan itu, keluarga besar Yayasan Percik (Persemaian Cinta Kemanusiaan) Salatiga untuk mengenang kepulangan AB di hari ketujuh (30/4-2020) mengadakan doa bersama secara daring. Acara dimulai dengan kesaksian sejumlah tokoh pendiri Yayasan Percik yang merupakan koleganya semasa mengajar di UKSW Salatiga. Dr. Pradjarta, Direktur Percik periode 1996-2020, mengenang AB sebagai tokoh penting kelahiran Percik. Secara formal dia tidak ikut mendirikan Percik, namanya tidak tercantung dalam 12 orang pendiri Percik. Namun demikian, scara spiritual AB berada di dalam proses-proses awal perintisan Lembaga Percik. Pada saat Pradjarta dan TH Sumartana pergi ke Jakarta untuk mencari dana bagi bagi Percik dan Dian/Interfidie, keduanya bertemu dengan St Sularto, Daniel Dhakidae, dan akhirnya bertemu dengan Jacob Utama. Setiap hendak menjelaskan tentang Percik, mereka bilang jika sudah menerima informasi dari AB. Sehingga AB telah menempatkan diri fund raiser dan voorijder yang membuka jalan bagi Perkembangan Percik di masa awal.
Keterlibatan AB di masa awal Percik juga ditunjukkan oleh upayanya menghubungkan Percik dengan pengusaha-pengusaha di Jawa Tengah pada saat ada ide mendirikan universitas Bawen. Pada saat AB harus ke Melborne untuk mengajar, dia juga berupaya membantu Percik dengan memberi program kecil untuk penelitian tentang kasus kekerasan di Pekalongan. Dia meminta hasil catatan wawancara untuk menjadi bahan kuliahnya di Australia. Di masa awal bantuan itu sangat berarti untuk Percik dalam menemukan rute perkembangannya. Sesudah dia mulai aktif mengajar di Australia, relasinya dengan Percik mulai terbatas. Keterlibatannya di Percik hanya terjadi pada saat-saat tertentu seperti ada waktu ada kegiatan di Percik di saat dia pulang liburan dari Australia. Meski demikian, dengan jaringannya yang luas dia kerap mempromosikan Percik kepada para koleganya.
Setyo Handoyo, pernah mengajar di Fakultas Hukum UKSW, punya kenangan yang mengubah cara pandangnya terhadap hukum. Semula dia adalah penganut hukum positif tapi setelah berdiskusi dengan AB, pandangannya berubah total, bahwa hukum itu adalah konstruksi aparat negara yang bisa sarat dengan kepentingan dalam konteks jamannya. Dia mengenang, di akhir tahun 1980-an, di ruang kerja LPIS (Lembaga Penelitian Ilmu-ilmu Sosial) UKSW, dia meminjam novel karya Pramudya Ananta Toer yang masih dalam bentuk draft ketikan. Karya itu adalah “Bumi Manusi”, “Anak Semua Bangsa”, “Jejak Langkah” dan “Rumah Kaca”. Sebagi orang hukum, dia memahami buku-buku tersebut merupakan karya yang dilarang oleh Kejaksaan Agung. Dalam diskusi dengan AB, dia memperoleh penegasan bahwa pembatasan kebebasan bereskspresi dan berpendapat merupakan salah satu ciri negara dengan sistem totaliter, untuk memberangus pandangan yang berseberangan dengan penguasa. Pandangan AB ini seperti selaras dengan bagian kesaksian Pradjarta di Kompas (26/4-2020) yang dikenang sebagai sosok yang menugaskan diri sebagai jembatan, yang bersih dari kepentingan. Di setiap diperhadapkan pada situasi konflik, AB tidak pernah memusuhi orang-orang yang kontra dengan pandanganya, tapi orang yang kontra itu justru harus diyakinkan. Baginya dilawan adalah ideologi bukan pribadinya.
Pribadi yang egaliter
Sebagai orang yang ditakdirkan tidak kuliah di UKSW, saya pribadi agak telat bertemu dengan AB. Sejauh ingatan, kali pertama bertatap muka dengan AB baru, mungkin diawal tahun 1996. Saat itu sebagai reporter muda Majalah Mahasiswa “DinamikA” dari IAIN Salatiga, saya diajak kawan senior wawancara dan memintanya menjadi narasumber diskusi di kampus IAIN Salatiga. Di pertemuan itu saya lebih banyak diam. Lebih tepatnya masih diliputi perasaan bingung, kagum, dan tidak percaya bisa bertemu sosok akademisi dengan reputasi internasional tapi ramah. Semasa SMA saya sudah mengikuti kiprah dan tulisannya terutama di Harian Kompas. Koran Kompas, Majalah Tempo, dan Suara Karya merupakan dua media yang biasa saya baca di rumah sendiri dan rumah kakak sepupu yang aktivis mahasiswa di satu universitas di Kota Magelang.
Singkat cerita, akhirnya dia memenuhi undangan kami dan di forum diskusi itu saya diminta menjadi moderatornya. Meski dengan tertatih-tatih tugas moderator itu bisa dijalankan. Ini menjadi pengalaman batin yang tidak terlupakan. Sejak itu kami kerap bertemu dan memintanya menjadi narasumber diskusi pro bono alias cukup hidangan ala kadarnya saja.
Bagi aktivis mahasiswa IAIN Salatiga kala itu, AB dan KH Mahfud Ridwan, pengasuh Ponpes Edi Mancoro merupakan tokoh-tokoh yang sering dijadikan patron, meski dia tidak pernah mau memposisikan demikian. AB merupakan narasumber yang baik untuk belajar tentang teori-teori dan sejarah gerakan sosial dan memahami konstelasi politik nasional kala itu. Sedangkan dengan Kyai Mahfud, kami belajar banyak tentang keterlibatan tokoh agama dalam aktivis sosial keagamaan. Kedua nya yang bersahabat baik itu, kini sudah berpulang keharibaan-Nya.
Sejak bergabung di Lembaga Percik di pertengahan tahun 2000, interaksi dengan AB semakin dekat. Dia yang sudah mengajar di Melbourne University Australia, setiap pulang kampung di Salatiga selalu bertandang ke Kampoeng Percik untuk berbagai informasi. Cerita tentang sosoknya yang egaliter dan manusiawi kerap menemukan contohnya yang kongkrit. Misalnya dalam komunikasi dengan koleganya di Percik semasa menjadi dosen di UKSW Salatiga, saling meledek dan hanya saling memanggil nama saja. Yang menarik, setiap pulang dari Australia, tokoh pertama yang ditemuinya adalah Ketua RT di Kemiri, area tinggalnya.
Pun dengan staf lebih yunior juga selalu menyapa dengan hangat dan bersahaja. Kami biasa menyapa dengan panggilan Pak Arief. Daya ingatnya atas nama orang pun sangat kuat. Suatu hari kami bertemu di depan Pasar Raya Salatiga. Dia menyapa duluan. Sembari bersapa ria dia memberitahukan adanya diskusi tentang Jaringan Islam Liberal di Kantor Percik (lama). Saat itu saya benar-benar tidak tahu karena baru pulang dari Surabaya dalam situasi galau karena gagal dalam seleksi wawancara dengan satu media terkenal. Sebagai orang Jawa, undangan itu seperti pertanda atau nasehat untuk tetap bekerja di Percik. Lain waktu, pernah saya mengirim email tentang permintaan padanya untuk memberi kata pengantar buku Pendidikan Pemerdekaan Romo Mangun. Sebagai pengingat, saya kasih pengantar identitas diri. Dia hanya kasih jawaban singkat, bila tidak lupa dengan saya. Sayang karena kesibukannya dan deadline, AB tidak bisa memenuhi permintaan ini. Seorang teman penulis di Salatiga, menyayangkan situasi itu, karena bisa menjadi catatan sejarah. Meski demikian, belakangan pada saat perayaan ulang tahun ke 77, dan ada rencana penerbitan buku, saya dengan Pak Pradjarta dan Mas Yoyok (Setyo Handoyo) turut menyumbang tulisan bersama di buku berjudul, “Arief Budiman (Soe Hok Djin) : Melawan tanpa Kebencian”.
Semasa di Ausie AB mengajar antara lain Mata Kuliah Islamologi. Pada saat itu isu terorisme yang melibatkan jaringan tokoh dan sebagian organisasi dengan label Islam sedang menjadi kajian baru. Sebagai akademisi dia ingin mencari kebenaran sesuai dengan fakta di lapangan. Di Tahun 2004 atau 2005, dia meminta tolong saya untuk menfasilitasi perkunjungan ke Ponpes Al Mukmin Ngruki Sukoharjo. Melalui seorang teman di Jogyakarta saya berhasil kontak dengan Ustadz Wahyudin, pimpinan Ponpes Ngruki. Dengan diantar sopir kami berdua berkunjung ke ponpes tersebut. Kami disambut baik, berdiskusi dengan rileks, dan diajak berkeliling area pondok. Saya pernah sedikit nakal padanya. Bermula dari tawaran salah satu ustadz yang menawari AB untuk ikut Salat Dhuhur berjamaah di masjid ponpes itu. AB tampak mati kutu. Sesaat saya sedikit menikmati situasi itu. Lantas saya gak tega. Kita sampaikan, akan Salat di Masjid searah jalan pulang ke Salatiga. Seperti menemukan jalan, AB pun dengan cepat mengiyakan perkataan saya.
Belakangan saya mendengar dia mulai rajin belajar Salat. Kala itu, AB sering mengaku bahwa ritual itu tidak tertib dijalaninya. Meski demikian, dia adalah sosok yang mudah terharu jika mendengar atau melihat ketidakadilan, bahkan yang termasuk personal. Pada satu wawancara di Stastiun TV Lokal Kebumen di tahun 2006 bersama dengan Rustiningsih, Bupati kala itu, dia keluar air matanya, ketika ada pemirsa TV via telepon mengeluh kondisi kehidupannya.
Di pagi harinya dia mengisi pertemuan Sobat, sebuah forum lintas Iman, yang diinisiasi oleh Lembaga Percik, Ponpes Edi Mancoro, dan Sinode Gereja Kristen Jawa. Selain AB, ada pembicara lain yaitu Mas Imam Aziz, Fauzan Al Anshori (MMI) dan Ibu Josien Folbert. AB memang turut membidani forum Sobat. Di pertemuan pertama pada Juni 2002, dia menjadi permbicara bersama dengan TH. Sumartana, KH. Mahfud dan Pak Pradjarta. Bahkan ketika kemudian Sobat Muda muncul, dia pun masih mau mengisi pembekalan bagi aktivis lintas iman dari anak muda Salatiga Raya ini.
Keterlibatannya di Percik terus berlanjut pada masa-masa berikutnya. Bahkan ketika di masa awal sakit, dia acapkali masih datang ke Kampoeng Percik, meski sudah dengan alat bantu berjalan. Semasa sakitnya semakin memburuk, AB kerap dirawat di Rumah Sakit. Kami pun sudah mafhum dengan ketidakhadirannya. Hanya saja begitu mendengar kabar duka ini, perasaan kaget dan kehilangan terasa demikian besar. Tuhan memang telah berkehendak tanpa bisa dipenggak. Selamat jalan Pak Arief. Selamat bertemu dengan para kolegamu yang telah mendahului. Saya bersaksi, Bapak adalah orang baik. Semoga Tuhan memberikan tempat terbaik.
Kampoeng Percik Salatiga, 11 Mei 2020 *) Singgih Nugroho adalah peneliti di Lembaga Percik untuk isu demokrasi dan pluralisme.