MEMBANGUN RUANG BAGI PARTISIPASI PUBLIK DALAM PENGAWASAN ANGGARAN DAERAH: PROSPEK DAN TANTANGAN

MEMBANGUN RUANG BAGI PARTISIPASI PUBLIK DALAM PENGAWASAN  ANGGARAN DAERAH: PROSPEK DAN TANTANGAN*

Oleh : Slamet Luwihono **

Pengantar

Korupsi, kolusi, dan nepotisme atau yang lebih dikenal dengan KKN merupakan momok yang menakutkan bagi penyelenggaraan pemerintahan dari tingkat desa sampai tingkat pusat. Korupsi, kolusi, dan nepotisme menjadi musuh bersama dalam upaya penyelenggaraan negara yang bersih dalam rangka mencapai kesejahteraan masyarakat. Untuk mewujudkan penyelenggaraan negara yang bersih dan bebas dari KKN maka maka salah satu upaya yang dipandang perlu dilakukan adalah dengan membuka ruang bagi peran serta masyarakat dalam penyelenggaraan negara. Pemberian ruang kepada masyarakat untuk berperan serta ini sesuai dengan prinsip keterbukaan dalam negara demokrasi. Prinsip ini mengharuskan Penyelenggara Negara membuka diri terhadap hak masyarakat  untuk memperoleh informasi yang benar, jujur, dan tidak diskriminatif mengenai penyelenggaraan negara. Dibukanya ruang tersebut hendaknya juga diikuti dengan penyusunan perangkat hukum tentang peean serta masyarakat. Pembentukan peraturan tentang peran serta masyarakat ini dipandang perlu supaya selain masyarakat mengetahui hak, kewajiban, tanggung jawab serta mekanisme dalam berperan serta, masyarakat juga memperoleh perlindungan hukum dalam menggunakan haknya tersebut.

Sudah sekian tahun reformasi berlangsung, pemahaman masyarakat terhadap anggaran publik masih saja terkekang pada pemahaman lama bahwa anggaran publik merupakan “uang” pemerintah dan hanya pemerintah yang berhak mengelolanya.

 Sekilas tentang Anggaran Publik

Pada hakekatnya anggaran publik merupakan amanat yang diberikan rakyat kepada penyelenggara negara (ekskutif dan legislatif) untuk meningkatkan kesejahteraannya. Peningkatan kesejahteraan ini dilakukan dengan memprioritaskan anggaran untuk pemberian pelayanan umum bagi masyarakat. Dalam kenyataannya, masih sedikit dari masyarakat yang bisa memahami anggaran apalagi seluk beluk permasalahan yang ada dalam anggaran publik. Sebagian masyarakat masih menyederhanakan pemahaman tentang anggaran yang diartikan sebagai uang.[1] Dengan pemahaman yang sederhana itu, ketika sebagian rakyat memahami anggaran publik sebagai anggaran yang dikelola oleh pemerintah, masyarakat memahaminya  sebagai uang pemerintah[2]. Pemahaman yang demikian akan membawa akibat masyarakat akan menyerahkan sepenuhnya pengelolaan uang itu kepada pemerintahan, karena dalam pandangan masyarakat “uang” itu memang milik pemerintah. Masyarakat merasa tidak memiliki hak mencampuri pengelolaan uang yang dituangkan dalam penganggaran tersebut. Apabila hal demikian yang terjadi, sudah dapat dipastikan anggaran publik sebagai instrumen mensejahterakan rakyat sulit terwujud.

Dengan demikian pemahaman masyarakat tentang anggaran publik ini menjadi penting. Anggaran publik ini idealnya dijadikan instrumen akuntabilitas atas pengelolaan dana publik dan pelaksanaan program-program yang dibiayai dengan uang publik, sehingga anggaran publik ini paling tidak harus mencakup aspek-aspek antara lain: (1) aspek perencanaan; (2) aspek pengendalian; (3) aspek akuntabilitas publik.[3] Berbeda dengan anggaran-anggaran lainnya, anggaran publik ini mempunyai arti penting terutama bagi pencapaian kesejahteraan masyarakat karena:[4] (1) Anggaran publik merupakan alat bagi pemerintah untuk mengarahkan pembangunan sosial-ekonomi, menjamin kesinambungan, dan meningkatkan kualitas hidup masyarakat; (2) anggaran publik diperlukan karena adanya ketidakseimbangan antara kebutuhan dan keinginan masyarakat dengan ketersediaan sumber daya; (3) Anggaran diperlukan untuk meyakinkan bahwa pemerintah telah bertanggungjawab kepada rakyat.

Dengan demikian  kebijakan anggaran haruslah  ditujukan untuk menghormati (to respect), melindungi (to protect) dan memenuhi (to fulfill) hak-hak dasar manusia. Menurut Jim St. George[5], pengertian hak-hak dasar manusia tersebut sebagai hak ekonomi, sosial, dan budaya, yakni hak-hak dasar yang harus dipenuhi oleh setiap individu untuk membebaskan dirinya dari kemiskinan, keterasingan, dan keterbelakangan. Termasuk di dalamnya adalah hak untuk memperoleh makanan, pakaian, pendidikan, kesehatan, perumahan, dan pekerjaan. Penghormatan, perlindungan, dan pemenuhan hak-hak dasar itulah yang harus menjadi prioritas terpenting  dari pemerintah dalam menetapkan anggaran publik sebagai produk kebijakan. Ketiga tersebut (penghormatan, perlindungan, dan pemenuhan hak-hak dasar masyarakat) hendaknya dijadikan acuan dalam penyusunan kebijakan anggaran publik. Apakah kebijakan anggaran pro rakyat atau tidak sebenarnya dapat dilihat  antara lain dari paling tidak apakah memang muatan anggaran tersebut memenuhi ketiga hal tersebut.

Karena  essensi dasar dari kebijakan anggaran adalah pengelolaan uang masyarakat untuk kesejahteraan masyarakat, maka peran masyarakat dalam management anggaran mempunyai makna yang penting. Peran masyarakat di sini penting dilakukan untuk menghindari berbagai penyimpangan yang akhirnya justru merugikan masyarakat. Peran tersebut tidak hanya terjadi pada proses pelaksanaan tetapi sebaiknya mulai dari proses perencanaannya, supaya dalam proses perencanaan disusun dengan memperhatikan berbagai kepentingan, saran, dan kritik dari masyarakat. Semestinya penyusunan APBD memenuhi tiga syarat, yaitu:[6]  (1) Si pembuat keputusan dapat dimintai pertanggungjawaban oleh public (accountable); (2) Prosesnya tidak dilakkukan secara sembunyi-sembunyi, sehingga tidak mengindikasikan adanya korupsi dan kolusi (transparent); (3)  Proses itu juga terbuka untuk mengakomodasi opini kritis khalayak ramai (participated).

 Modus Kejahatan Korupsi Dalam Pelaksanaan Anggaran

             Dalam penelitiannya, Indonesian Corruption Watch (ICW) mengidentifikasikan beberapa modus kejahatan korupsi di APBD, sebagai berikut:[7]

  1. Penipuan  terhadap anggaran. Modus ini dilakukakan dengan cara mengambil pos anggaran yang bukan peruntukannya.
  2. Menciptakan anggaran baru. Caranya dengan menciptakan anggaran baru yang sebenarnya  tidak diatur dalam peraturan perundang-undangan.
  3. Mark up anggaran. Modus ini terjadi dengan cara melebihkan berbagai tunjangan yang telah diatur dalam peraturan perundang-undangan.
  4. Pengalokasian anggaran yang sebetulnya sama dengan anggaran lainnya. Misalnya APBD Kepulauan Riau, pos anggaran biaya pemeliharaan kesehatan dirinci lagi menjadi tunjangan kesehatan, biaya general check up,  dan biaya perawatan kesehatan, padahal  ketiga komponen ini tidak ada perbedaan yang mendasar.
  5. Pembuatan anggaran tanpa perincian. Modus ini dilakukan dengan cara membuat  anggaran dalam bentuk satuan tanpa diperinci lagi.
  6. Menghilangkan pos anggaran. Caranya dilakukan dengan cara menghilangkan  pos anggaran yang telah ditentukan dalam peraturan perundang-undangan.
  7. Pengalihan anggaran. Modus ini dilakukan dengan cara mengalihkan anggaran, misalnya seharusnya diberikan dalam bentuk jaminan asuransi tetapi kenyataannya dalam bentuk uang.

Partisipasi Publik Dalam Pengawasan Anggaran Daerah

1. Pengertian Partisipasi       

Sistem desentrasliasi diterapkan sebagai instrument untuk percepatan terwujudnya kesejahteraan masyarakat melalui peningkatan pelayanan publik, pemberdayaan, dan partisipasi masyarakat, serta daya saing daerah dengan tetap memperhatikan prinsip  demokrasi, pemerataan, keadilan, dan keistimewaan daerah. Anggaran public sebagai salah satu produk kebijakan dari pemerintah dalam pelaksanaannya haruslah tetap mengacu pada tujuan kerangka besar yaitu untuk mewujudkan kesejahteraan rakyat  melalui salah satunya partsipasi masyarakat. Partisipasi masyarakat merupakan salah satu nilai yang harus dikembangkan dalam otonomi daerah.

Gagasan partisipasi publik dalam pengawasan anggaran pada dasarnya adalah satu ide untuk memungkinkan keterlibatan masyarakat dalam proses politik, terutama dalam implementasi anggaran publik. Partisipasi masyarakat dalam implementasi anggaran publik ini merupakan upaya untuk melakukan  pembatasan  kekuasaan penggunaan anggaran supaya sesuai  dengan peraturan perundang-undangan yang ada, untuk melakukan control sosial terhadap pelaksanaan anggaran publik. Dengan adanya partisipasi dalam pengawasan anggaran publik, diharapkan pemerintahan tidak lepas kontrol dalam penggunaan anggaran publik.

Dewasa ini pengertian pelaksanaan partisipasi seringkali hanya ditujukan untuk kegiatan pembangunan (baca: proyek) di tingkat lokal; sementara partisipasi untuk kegiatan-kegiatan yang bersifat makro (baca: yang menyangkut kepentingan seluruh masyarakat  dan kegiatan yang menggunakan uang masyarakat), termasuk yang berkaitan dengan kebijakan, belum banyak mendapat perhatian. Padahal partisipasi untuk kebijakan makro juga penting dan mempengaruhi seluruh tatanan kehidupan masyarakat.[8] Conchelos (1985)[9] membagi partisipasi menjadi dua jenis, yaitu partisipasi dalam pengertian teknis dan partisipasi dalam pengertian politik. Partisipasi teknis diartikan sebagai “taktik” untuk mengikutsertakan masyarakat dalam aktivitas: mendefinisikan masalah, mengumpulkan data, menganalisa data dan mengimplementasikan hasilnya. Sedangkan partisipasi politik diartikan sebagai pemberian kekuasaan dan kontrol kepada masyarakat melalui pilihan-pilihan untuk beraksi, berotonomi dan berefleksi terutama melalui pengembangan dan penguatan kelembagaan. Kegiatan partisipasi teknis yang tidak dilandasi dengan partisipasi politis, tidak akan memberikan makna yang signifikan bagi pembangunan masyarakat secara keseluruhan.

Secara sederhana Larry W. Canter (1977) mendefinisikan peran serta masyarakat sebagai feed-forward information (komunikasi dari pemerintah kepada masyarakat tentang suatu kebijakan) dan feedback information (komunikasi dari masyarakat ke pemerintah atas kebijakan itu). Dari sudut terminologi peran serta masyarakat dapat diartikan sebagai suatu cara melakukan interaksi antara dua kelompok; Kelompok yang selama ini tidak diikutsertakan dalam proses pengambilan keputusan (non-elite) dan kelompok yang selama ini melakukan pengambilan keputusan (elite) (Arimbi HP dan Mas Achmad Santoso  1993: 1). 

2. Menyoal Partisipasi Masyarakat dalam Sistem Demokrasi Perwakilan

Terdapat asumsi, bahwa secara formal prosedural demokrasi sudah bisa berjalan dengan adanya lembaga trias politika yang menyatakan bahwa kekuasaan negara  hanya terdiri dari tiga jenis lembaga yaitu: pertama, kekuasaan legislatif yang mewakili berbagai golongan masyarakat  yang tugasnya membuat peraturan (undang-undang) dan mengontrol cara kerja serta kinerja lembaga ekskutif; kedua, ekskutif yang tugasnya melaksanakan undang-undangn untuk penyelenggaraan pemerintah sehari-hari dalam rangka memberikan pelayanan kepada masyarakat; ketiga, lembaga yudikatif yang mempunyai kekuasaan dan berfungsi menegakkan peraturan perundang-undangan. Adanya pembagian kekuasaan ini secara sederhana bisa dipahami dalam rangka untuk mencegah terjadinya penyalahgunaan kekuasaan dan kewenangan oleh pihak yang berkuasa dengan tidak menyerahkan segala urusan kenegaraan kepada satu orang atau satu lembaga saja. Dengan demikian diharapkan apabila antara ketiga lembaga tersebut saling melaksanakan fungsi dan tugasnya dengan baik maka demokrasi bisa berjalan.

Dalam kenyataannya, dalam penyelenggaraan demokrasi bernegara berdasarkan trias politika mengalami bias pada kepentingan institusi dan orang yang ada di institusi sendiri. Bias itu terjadi berdasarkan kenyataan yang sering terjadi bahwa, dalam negara banyak warga negara (masyarakat) yang kebutuhannya seringkali justru tidak sejalan atau berseberangan dengan institusi-institusi negara, bahkan dengan lembaga legislative yang dianggap mewakili warga masyarakat itu sendiri. Pada  kenyataannya seringkali lembaga-lembaga negara tidak menyuarakan dan memihak kepada masyarakat yang diwakilinya. Sistim demokrasi dengan penerapan trias politika nampaknya masih jauh dari prinsip-prinsip representatif.[10] Selanjutnya menurut Budi Rajab, sistem demokrasi yang dikembangkan faham trias politika mengingkari dictum sosiologis, yang dari pengalaman sejarah telah terungkap, bahwa sangat jarang ada institusi yang merepresentasikan secara utuh kepentingan pihak-pihak yang diwakilinya.

Menurut Jurgen Habermas,[11] demokrasi yang selama ini berlangsung lebih bersifat formal procedural. Artinya , penyelenggaraan hidup bernegara hanya dilaksanakan oleh lembaga-lembaga formal kenegaraan, yang isinya menunjuk pada relasi-relasi antara lembaga ekskutif, legislatif, dan yudikatif, tanpa ada keterlibatan institusi-institusi kemasyarakatan. Demokrasi yang demikian dipandang tidak cukup karena yang disebut wakil tidak selalu  sejalan bahkan bisa berseberangan  dengan masyarakat. Oleh karena itu perlu dikembangkan bentuk demokrasi partisipatif, yang memungkinkan warga masyarakat melalui institusi-institusi yang dibentuknya bisa ikut serta atau terlibat  langsung dalam penyelenggaraan negara, terutama dalam melakukan pengawasan atas cara kerja dan kinerja berbagai instutusi negara tersebut. Oleh karena itu  perlu dikembangkan  institusi yang ada di masyarakat untuk melakukan kontrol perilaku publik institusi kenegaraan dalam rangka melakukan pengendalian.

3. Prasyarat Partisipasi

Banyak terjadinya penyimpangan dalam anggaran terjadi karena adanya problem ketidakseimbangan penguasaan informasi antara masyarakat dengan pemerintah. Merebaknya perilaku korupsi di anggaran (APBD) karena tertutupnya akses informasi yang berkaitan dengan dokumen APBD. Paradigma bahwa dokumen APBD merupakan rahasia negara dan tidak semua orang dapat mengakses informasi tersebut. Padahal partisipasi dalam pengawasan anggaran hanya mungkin terjadi ketika warga memiliki informasi yang memadai tentang dokumen-dokumen public. Kebebasan dan kapasitas warga untuk mengakses informasi dan dokumen public menjadi indikator penting bagi kemajuan tahapan partisipasi[12] sebagai salah satu asas dalam penyelenggaraan negara yang baik. Asas keterbukaan ini diartikan sebagai asas yang membuka diri terhadap hak masyarakat untuk memperoleh informasi yang benar.

Supaya dapat dipahami oleh masyarakat, seluruh pendapatan dan belanja daerah harus dicantumkan dalam APBD sebagai dokumen daerah, disusun dalam bentuk yang jelas dan dapat dimengerti oleh  masyarakat. Ini sebagai salah satu bentuk akuntabilitas dalam penyelenggaraan negara. Asas akuntabilitas[13] sebagai salah satu asas dalam penyelenggaraan negara menghendaki bahwa setiap kegiatan dan hasil akhir dari kegiatan penyelenggaraan negara harus dapat dipertanggungjawabkan kepada masyarakat atau rakyat sebagai pemegang kedaulatan tertinggi.

4. Titik Rawan Penyimpangan

Titik rawan penyimpangan dalam pelaksanaan anggaran pada umumnya terjadi pada praktek pengadaan barang dan jasa, meskipun pada titik-titik lain juga masih terbuka kemungkinan terjadi penyimpangan. Pelaksanaan anggaran yang diwujudkan dalam praktek pengadaan barang dan jasa ini terbagi menjadi tiga, yaitu: swakelola, penunjukan langsung, dan tender. Proses yang harus diawasi adalah proses tender karena selama ini tender seringkali dipahami sebagai proses yang penuh dengan nuansa KKN.

Untuk menghindari praktek penyimpangan dalam pelaksanaan pengadaan barang dan jasa diperlukan transparansi, akuntabilitas, dan partisipasi. Transparansi diperlukan dalam hal, misalnya:[14] (1) dibukanya informasi mengenai proyek-proyek swakelola, penunjukkan langsung, dan tender, (2) diumumkannya daftar pemenang tender, (3) dibukanya akses informasi, (4) diumumkannya kualifikasi kontraktor pemenang tender, dll. Sementara itu untuk mendorong partisipasi dalam pengawasan anggaran publik perlu dilakukan hal-hal sebagai berikut: (1) public harus didorong untuk bisa turut serta mengaudit manfaat dari satu kegiatan, (2) pengaturan mekanisme penyampaian keluhan terhadap ketidakpuasan masyarakat terhadap suatu pembangunan, serta batas waktu penyelesaian keluhaan.

5. Bagaimana Partisipasi Publik Dalam Pengawasan terhadap Anggaran dilakukan?

            Partisipasi masyarakat dalam hal pengawasan public merupakan pekerjaan yang panjang dan terus menerus karena anggaran yang sudah disahkan dilaksanakan dalam kurun waktu satu tahun dan selama itu juga pengawasan harus dilakukan. Selain itu pelaksana anggaran tersebut mencakup banyak unit kerja. Oleh karena itu lembaga-lembaga bentukan masyarakat dapat menjadi sumber informasi tentang program/proyek/kegiatan yang akan dilaksanakan pada tahun anggaran tertentu, khusunya pada masyarakat yang menjadi sasaran kegiatan. Bila terjadi penyimpangan masyarakat penerima manfaat dari suatu program tersebut diharapkan peran aktifnya untuk menginformasikan  kepada lembaga-lembaga masyarakat atau langsung kepada DPRD.

Selain mekanisme tersebut, sebenarnya dalam melakukan pengawasan terhadap pelaksanaan anggaran publik, masyarakat dapat mengacu pada PP No. 68 Tahun 1999 tentang Tata Cara Pelaksanaan Peran Serta Masyarakat Dalam Penyelenggaraan Negara sebagai peraturan pelaksana dari UU No. 28 tahun 1999 Tentang Penyelenggaraan Negara yang Bersih dan Bebas dari KKN.

Salah satu tujuan PP 68 tersebut adalah sebagai upaya menyeimbangkan pelaksanaan hak dan kewajiban antara pengguna hak (masyarakat) dengan kewajiban pemberi informasi (penyelenggara pemerintah). Peraturan Pemerintah ini memberikan hak kepada masyarakat untuk menyampaikan keluhan, saran, atau kritik tentang penyelenggaraan negara yang dianggap tidak sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Meskipun disadari bahwa seringkali penggunaan hak ini tidak efektif, karena tidak ditanggapi dengan baik dan benar. Ini bisa terjadi karena dalam PP ini tidak ada sanksi hukum bagi lembaga berwenang yang mengabaikan informasi dari masyarakat.

Selanjutnya menurut Penjelasan Umum PP ini Penyelenggara Negara bertanggungjawab atas setiap pemberian informasi dan pelayanan kepada masyarakat. Untuk itu penyelenggara negara diwajibkan untuk memberikan jawaban  atau keterangan sesuai dengan tugas dan fungsinya masing-masing. Oleh ketentuan ini pelaksanaan kewajiban tersebut  diimbangi dengan kesempatan untuk menggunakan hak jawab berupa bantahan terhadap informasi yang tidak benar dari masyarakat.

Menurut PP 68 ini, peran serta masyarakat dalam penyelenggaraan negara dalam rangka mewujudkan Penyelenggara negara yang bersih  bisa berbentuk: (a) hak mencari, memperoleh, dan memberikan informasi mengenai penyelenggaraan negara; (b) hak untuk memperoleh pelayanan yang sama dan adil dari Penyelenggara Negara; (c) hak menyampaikan saran dan pendapat secara bertanggungjawab terhadap kebijakan penyelenggara negara; (d) hak memperoleh perlindungan hukum dalam hal melaksanakan haknya tersebut dan dalam hal diminta hadir dalam proses penyelidikan, penyidikan dan disidang pengadilan sebagai saksi pelapor, saksi, atau saksi ahli, sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. Perlu memperoleh perhatian yang lebih adalah hak memperoleh perlindungan ini, karena seringkali masyarakat enggan memberikan informasi berkaitan dengan penyelenggara negara karena kurangnya perlindungan hukum ini. Banyak  kasus menunjukan bahwa pihak pemberi informasi/pelapor justru menjadi tersangka. Hal ini menjadi penyebab tidak efektifnya peran serta masyarakat.

Setiap Penyelenggara Negara yang menerima permintaan masyarakat untuk memperoleh informasi tentang penyelenggaraan negara wajib memberikan jawaban atau keterangan sesuai dengan tugas dan fungsinya dan tetap memperhatikan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Meskipun ada kewajiban bagi penyelenggara negara untuk memberikan jawaban, tetapi PP ini tidak memberikan batasan waktu serta sanksi apabila tidak memberikan jawaban. Dalam pelaksanaan peran serta masyarakat hal ini tentu akan menjadi hambatan tersendiri.

Peran serta masyarakat ini dapat dilaksanakan melalui mekanisme:

  1. Pemberian informasi mengenai penyelenggara negara sebagai hak masyarakat harus dilakukan secara tertulis dan disampaikan kepada instansi terkait atau Komisi Pemeriksa yang harus disertai dengan data-data: a. nama dan alamat pemberi informasi dengan melampirkan kartu identitas; b. keterangan mengenai fakta dan tempat kejadian yang diinformasikan; c. dokumen atau keterangan lain yang dapat dijadikan alat bukti.
  2. Informasi yang disampaikan tersebut harus juga ditembuskan kepada: a. Pimpinan MPR jika perbuatan tersebut dilakukan oleh anggota MPR; b. Pimpinan DPR  jika perbuatan tersebut dilakukan oleh anggota DPR; c. Presiden jika perbuatan tersebut dilakukan oleh Menteri atau pejabat yang setingkat Menteri atau Kepala Kepolisian Negara; d. Ketua Mahkamah Agung  jika perbuatan tersebut dilakukan oleh Hakim Agung, Hakim Tinggi, atau Hakim; e. Ketua Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) jika perbuatan tersebut dilakukan oleh anggota BPK; f. Ketua Dewan Pertimbangan Agung (DPA) jika perbuatan tersebut dilakukan oleh anggota DPA; g. Pimpinan DPRD Propinsi jika perbuatan tersebut dilakukan oleh anggota DPRD Propinsi atau Gubernur; h. Pimpinan DPRD Kabupaten/Kota  jika perbuatan tersebut dilakukan oleh anggota DPRD Kabupaten/Kota, Bupati atau Walikota;  i. Pimpinan Pejabat tertentu,  jika perbuatan tersebut dilakukan oleh pejabat yang mempunyai fungsi strategis atau pejabat negara yang lain sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku.

Selanjutnya PP ini menghendaki informasi yang disampaikan oleh masyarakat disampaikan secara bertanggungjawab dengan mengemukakan fakta yang diperolehnya, menghormati hak-hak pribadi seseorang sesuai dengan norma-norma yang diakui umum dan mentaati hukum dan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Pengaturan mekanisme di atas diharapkan dapat menjadi pedoman bagi masyarakat yang ingin berperan serta dalam mewujudkan penyelenggara negara yang bersih dan bebas dari KKN serta diharapkan dapat mendorong peran serta masyarakat.

Lebih penting dari sekedar pengaturan tentang mekanisme dan pemberian perlindungan dan kepastian hukum, adalah upaya pemberdayaan masyarakat supaya mempunyai kemampuan dan terlebih keberanian memberikan informasi dan melaporkan tentang praktek penyelenggaraan negara. Untuk itu dibutuhkan kualitas sumber daya manusia yang dapat mendukung bagi terwujudnya penyelenggara negara yang bersih. Upaya pemberdayaan masyarakat ini penting dilakukan karena esensi utama peran serta masyarakat adalah masyarakat aktif. Tanpa masyarakat aktif peraturan tentang peran serta masyarakat dalam penyelenggaraan negara yang bersih dan bebas KKN akan tidak efektif.

6. Tantangan-Tantangan dalam Pengawasan Anggaran oleh Publik

Dalam upaya untuk berpartisipasi dalam pengawasan anggaran, masyarakat seringkali menghadapi beberapa kendala. Kendala-kendala tersebut bisa berasal dari diri masyarakat sendiri dan bisa juga berasal dari pemerintahan. Kendala-kendala tersebut antara lain berupa:

  1. Sistem yang terbangun belum memberikan ruang yang luas, aman, dan memadahi bagi pengembangan partisipasi dalam pengawasan public terhadap anggaran publik.
  2. Masih rendahnya kesadaran masyarakat bahwa anggaran publik merupakan bagian dari kehidupan sosial-politiknya yang oleh karenanya harus juga diawasi.
  3. Masih rendahnya kapasitas atau kemampuan masyarakat untuk melakukan pengawasan. Dalam melakukan pengawasan terhadap anggaran dibutuhkan kemampuan membaca angka-angka yang ada dalam dokumen anggaran serta kemampuan menganalisis angka-angka tersebut. Sementara itu kemampuan masyarakat untuk membaca serta menganalisis dokumen anggaran masih rendah. Partisipasi membutuhkan sumber daya manusia yang berkualitas karena esensi dari partisipasi adalah masyarakat aktif. Tanpa masyarakat aktif, ruang partisipasi yang sudah terbuka tidak akan dapat dimanfaatkan secara optimal.
  4. Belum terbangun kemauan politik (political will) dari sebagian besar Pemerintah untuk menciptakan transparansi anggaran. Anggapan bahwa pemerintah telah menerima mandat yang penuh dari masyarakat merupakan sumber dari ketidakterbukaan pemerintah dalam hal anggaran publik. Dengan demikian akses masyarakat untuk memperoleh informasi sebagai prasyarat partisipasi menjadi tidak ada.
  5. Belum terbangun kemauan politik (political will) dari legislative untuk melibatkan masyarakat dalam pelaksanaan fungsi kontrol terhadap anggaran. Bahkan dalam banyak kasus oknum anggota DPRD terlibat dalam berbagai penyimpangan pelaksanaan anggaran[15].
  6. Sudah berkembangnya kultur tanpa partisipasi dalam pelaksanaan anggaran, sehingga partisipasi sering dimaknai sebagai ekspresi resistensi.
  7. Sistem informasi anggaran masih bersifat pasif. Untuk mendapatkan informasi, masyarakat sendiri yang harus mencari informasi berkaitan dengan keuangan daerah. Sistem ini jelas tidak mendorong inisiatif masyarakat untuk mengambil bagian dalam proses pengawasan terhadap pengelolaan keuangan.
  8. Perangkat hukum yang dapat menjadi dasar yang memberikan jaminan bagi partisipasi masyarakat masih minim. Perangkat hukum yang memberi ruang bagi partisipasi masyarakat ini penting karena selain supaya masyarakat mengetahui hak, kewajiban, tanggungjawab serta mekanisme dalam berpartrisipasi, masyarakat juga memperoleh perlindungan hukum dalam menggunakan haknya tersebut.

 Rekomendasi.

Berkaitan dengan uraian etrsebut di atas, hal-hal yang penting dilakukan dalam rangka mendorong partisipasi masyarakat dalam pengawasan anggaran public adalah sebagai berikut:

  1. Perlu dilakukan upaya penyadaran kepada masyarakat akan pentingnya partisipasi dalam pengawasan pelaksanaan anggaran publik.
  2. Perlu dilakukan penguatan kapasitas masyarakat misalnya dengan pelatihan-pelatihan tentang anggaran dan analisis anggaran sebagai bekal melakukan pengawasan terhadap pelaksanaan anggaran public.
  3. Selalu mendorong dibukanya ruang-ruang partisipasi dalam pengawasan terhadap anggaran publik terutama di tingkat lokal.
  4. Diperlukannya UU tentang kebebasan memperoleh informasi sebagai prasyarat utama bagi pelaksanaan partisipasi dalam pengawasan oleh masyarakat terhadap anggaran public. Atau paling tidak upaya yang bisa menciptakan akses informasi yang mudah bagi masyarakat berkaitan dengan perolehan informasi dokumen publik.***

End Note

* Makalah disampaikan pada Seminar “Peran Masyarakat  Dalam Pengawasan Anggaran Daerah”, diselenggarakan atas kerjasama: KPBH ATMA Pati dengan Delegasi Uni Eropa di Indonesia, Hotel Kurnia, Sabtu 28 Mei 2005.

** Peneliti pada Pusat Penelitian Dinamika Politik Lokal (P2PL) Lembaga Percik Salatiga dan Fasilitator Pengembangan Metode dan Peningkatan Kapasitas FPPM-Bandung.

[1] Ini tampak dari hasil assessment di Denpasar, Manado, Samarinda, dan Mataram, mereka memahami anggaran adalah uang. Lihat Luh Nyoman Dewi T, Membangun  Kontrol Rakyat terhadap Anggaran Lokal, PSPK, Jakarta, 2003, hal. 2.

[2] Pemahaman ini tampak dalam ungkapan-ungkapan masyarakat ketika, misalnya ada alokasi anggaran untuk bangunan fisik di lingkungannya, masyarakat mengatakan bahwa bangunan itu merupakan bantuan dari pemerintah, padahal uang untuk membangun tersebut merupakan uang yang diperoleh dari rakyat yang memang diperuntukkan untuk membiayai program-program pembangunan dan pelayanan umum bagi masyarakat.

[3] Dr. Mardiasmo, MBA, Akt., “Akuntansi Sektor Publik”, dalam Luh Nyoman Dewi T, Membangun  Kontrol Rakyat terhadap Anggaran Lokal, PSPK, Jakarta, 2003, hal. 2.

[4] Lihat Ibid

[5] Dalam  Ihsan Haerudin, “Anggaran Pro Rakyat Miskin”, Bujet, Edisi 9/Oktober 2003, hal. 48 – 49.

[6] Agus Priyanto, “Mendorong  Partisipasi Publik untuk Transparansi APBD”, Bujet, Edisi 10/Nopember – Desember 2003, hal. 43-44.

[7] Dalam Ibid

[8] Lihat Ganjar Kurnia, “Jangan Ada Rahsia Diantara Kita”, Bujet, Edisi 3, Pebruari 2003, hal. 43-44.

[9] Dalam Ibid, hal. 43.

[10] Budi Rajab, “Pengawasan Masyarakat atas Institusi Kenegaraan”, Bujet, Edisi 10 / Nopember-Desember 2003, hal. 46.

[11] Dalam Ibid.

[12] Suhirman, “Mendefinisikan Partisipasi: Penelusuran Awal Atas Konsep, Tahap, Dan Dinamika Partisipasi”, Makalah disampaikan dalam Pertemuan Forum Pengembangan partisipasi Masyarakat ke-7 (PF VII FPPM) di Ngawi, 15 – 18 Juli 2003.

[13] Asas akuntabilitas dan asas keterbukaan merupakan dua asas dari tujuh asas penyelenggaraan negara yang baik yang dicantumkan dalam UU No. 28 Tahun 1999 tentang Penyelenggaraan Negara yang Bersih dan Bebas dari KKN. Asas-asas ini tercantum dalam pasal 3 UU tersebut.

[14] Lihat, Notulensi Forum Regional FPPM di Pati, 3-5 November 2004.

[15] Mengenai kasus-kasus penyimpangan APBD oleh anggota dewan, Lihat Bujet, Edisi 06/Th II/Juli 2004, “Data Kasus Korupsi DPRD Yang  Terungkap Dan Diproses Selama 6 Bulan Pertama Tahun 2004”, yang bersumber dari ICW up date 26 Juli 2004/ www.antikorupsi.or.id.

Tentang Penulis

Berita lainnya