Pradjarta Dirdjosanjoto
Percik-Salatiga.
Pendahuluan:
Saya memiliki kenalan seorang pendeta yang tinggal di kota Pekalongan. Pada saat saya mengunjungi rumahnya dia berkata bahwa sebagai seorang pendeta, dia merasa sangat beruntung karena tinggal di dekat sebuah masjid. Walaupun dipisahkan oleh sebuah pagar tembok setinggi satu setengah meter, namun dia dapat mendengar dengan jelas suara azan, ceramah-ceramah dalam pengajian yang dilakukan oleh imam di masjid setiap pagi, (khususnya di bulan Ramadan), dan khotbah pada setiap hari jumat. Dengan demikian dia merasa tahu tentang Islam.
Namun pada saat saya bertanya kepadanya apakah dia pernah bertemu dengan imam atau pengurus masjid itu, dan apakah dia juga mengenal siapa-siapa yang sering bersembahyang di masjid itu, dia mengakui secara terus terang bahwa walaupun telah lebih dari 15 tahun dia tinggal di situ, dia tidak mengenal dan belum pernah mencoba mengunjungi mereka. Mengapa?
Sebagai salah seorang pemimpin Kristen, sesungguhnya seringkali ia berkeinginan untuk mengunjungi imam atau pengurus masjid di samping rumahnya itu. Keinginan itu semakin dirasakan setelah pada tahun 1997 di Pekalongan meletus kerusuhan massa yang mengakibatkan beberapa gereja dirusak dan beberapa toko cina dibakar. Hanya saja hingga saat kami bertemu itu, ia masih merasa ragu-ragu dan sedikit takut untuk mengambil prakarsa untuk mengunjungi mereka. Salah satu sebabnya adalah karena ia merasa tidak cukup yakin apakah perkunjunganya itu akan memperoleh sambutan yang baik.
Di Indonesia khasus seperti teman pendeta saya itu bukanlah istimewa. Banyak pendeta dan orang Kristen lainnya mengenal Islam hanya dari jauh. Walaupun dilingkungan keluarga acap kali ada sanak famili yang beragama Islam, namun pembicaraan tentang perbedaan agama jarang dilakukan. Orang menghindari pembicarakan tentang perbedaan agama karena topik itu dianggap topik sensitive, yang dengan gampang dapat menimbulkan konflik. Di lingkungan Kristen pembicaraan tentang Islam, atau mengenai orang-orang Islam disekeliling mereka, atau mengenai syariat dan Negara Islam, yang mereka sering disebut sebagai ’bahaya Islam’, umumnya hanya dalam lingkungan internal yang tertutup (seperti bybelkring) saja. Tentu tanpa kehadiriran orang Islam yang mereka bicarakan. Dengan demikian mereka hanya mengenal Islam dari ‘kacamata’ Kristen yang mereka miliki, yang didalamnya sering mengandung banyak bias dan prejudis.
Khususnya pada masa pemerintahan Suharto, pertemuan antar para pemimpin agama memang sudah beberapa kali terjadi. Hanya saja pertemuan-pertemuan itu lebih merupakan acara-acara serimonial. Banyak pertemuan-pertemuan dialog (disebut sarasehan) memiliki agenda yang telah diatur oleh pemerintah. Dalam dialog semacam itu kehadiran salah seorang pemimpin agama dianggap telah mewakili seluruh umat beragama yang diwakilinya. Tentu saja anggapan semacam itu tidaklah mencerminkan keadaan yang sesungguhnya. ’Dialog’ yang terjadi sesungguhnya pun hanyalah formalitas saja, karena apa yang berlangsung telah discenariokan oleh pemerintah.
Sejak empat atau lima tahun terakhir, diskusi mengenai hubungan antara agama, konflik social dan kekerasan banyak memperoleh perhatian. Di Indonesia agama memang masih memiliki kekuatan/ pengaruh yang besar dan dalam banyak kasus mengambil bagian dalam munculnya konflik social dan kekerasan. Namun sebaliknya, acap kali agama terlibat dalam upaya pencegahan. Yang jelas agama sesungguhnya jarang sekali menjadi satu-satunya factor penyebab timbulnya konflik dan kekerasan.
Penelitian Percik di Pekalongan menunjukkan bahwa dibalik kerusuhan tahun 1997 yang sepintas lalu sering dilihat sebagai konflik agama, sesungguhnya melibatkan banyak factor yang bersifat ekonomi dan politik. Di kota yang terkenal sebagai kota batik itu, para pengrajin batik tradisional yang membuat batik sebagai home industri telah banyak yang bangkrut karena kalah bersaing dengan industri batik sutera yang memakai mesin modern. Banyak kampung di Pekalongan tergusur oleh kompleks industri yang membuang limbahnya ke sungai yang bagi penduduk miskin memiliki banyak fungsi (mandi, mencuci, dan WC umum). Banyak kampong juga tergusur oleh menjamurnya proyek-proyek real-estate yang mahal, yang hanya terbeli oleh orang kaya. Pasar-pasar tradisional dirombak menjadi mal dan pasar modern sehingga bakul-bakul kecil tidak lagi memperoleh tempat untuk berjualan di situ. Para tukang becak dan tukang sado, kalah bersaing dengan mobil-mobil angkutan kota, atau tidak boleh beroperasi lagi karena dianggap mengganggu kelancaran lalu lintas. Dalam situasi yang demikian jurang social antara yang miskin dan yang kaya semakin jauh. Sekat-sekat social semakin lebar. Masyarakat Indonesia semakin keras berkembang menjadi masyarakat plural yang segregatif (segregated plural society). Agama ironisnya, seringkali justru berperan memperkuat segregasi itu sehingga menambah potensi konflik. Banyak gereja yang hanya memiliki sedikit sekali program yang diperuntukkan bagi kepentingan umum. Gereja acapkali tak siap atau terlambat untuk merespon terhadap berbagai perubahan masyarakat khususnya bila perubahan itu menyangkut kepentingan umum semata. Sebaliknya Gereja lebih banyak berperan menjadi benteng untuk memperjuangkan dan mempertahankan kepantingan Kristen semata.
Situasi yang kurang lebih sama juga terjadi di lingkungan lembaga keagamaan Islam. Kerjassama antar agama untuk menangani persoalan umum sekalipun sudah mulai tumbuh di banyak tempat, namun masih dapat dikatakan teramat sedikit.
Pengalaman Percik.
Percik merupakan sebuah organisasi independent di Salatiga untuk penelitian social, demokrasi dan keadilan social. Lembaga ini didirikan pada tahun 1996 oleh beberapa orang dosen, peneliti dan aktivis kegiatan social yang sebelumnya bekerja di UKSW.
Menjelang pemilu tahun 1999, pemilu multi partai pertama di Indonesia setelah jatuhnya pemerintahan Suharto, Percik bersama dengan banyak NGOs di Indonesia melaksanakan program voters education. Dalam program ini hendak dijelaskan kepada masyarakat umum tetang hak-hak mereka sebagai warganegara dalam pemilu.
Dalam melaksanakan program itu, ada persoalan besar yang pada saat itu dihadapi oleh siapapun yang ingin melaksanakan Voter education yaitu tiadanya infrastruktur organisasi politik yang dapat dipakai secara efektif untuk mencapai masyarakat luas, khususnya untuk lapisan masyarakat yang paling bawah. Pada masa pemerintahan Suharto, birokrasi dipakai sebagai mesin politik untuk menjalankan pendidikan politik oleh pemerintah. Organisasi lain dilarang. Konsep-konsep dasar mengenai nilai-nilai demokrasi, keadilan social, hak-hak azasi manusia, dsb tidak dapat disampaikan secara bebas dan terbuka. Demikian pula mengenai hak-hak warga Negara dalam pemilu; hak untuk memilih partai yang diinginkannya secara bebas, rahasia, dan tanpa paksaan atau tanpa intimidasi. Itu sebabnya Percik berinisiatip mengajak berbagai organisasi keagamaan (termasuk didalamnya adalah gereja dan pesantren2) untuk ikut melakukan voters education terhadap warganya.
Pada awalnya inisiatif Percik ini kurang ditanggapi dengan antusias karena di lingkungan gereja masih terdapat pandangan yang kuat bahwa gereja tidak boleh bersinggungan dengan soal politik. Kami mencoba meyakinkan bahwa voters education itu bersifat non partisan, tidak memihak salah satu partai politik, dan yang dilakukan bukanlah pendidikan politik tetapi pendidikan kewarganegaraan (civic education)
Di kebanyakan tempat ternyata kerjasama diantara para relawan (folunteer) yang berlatar belakang agama yang berbeda berjalan dengan sangat baik, dan penuh semangat. Secara berpindah-pindah program ini berhasil menyelenggarakan 58 kali diskusi yang mengambil tempat di gereja-gereja dan pesantren.
Pengalaman ini mereka anggap sebagai pengalan baru yang sangat menyenangkan dan mengesankan karena individu-individu dan institusi dari agama yang berbeda-beda dapat bekerjasama dengan baik dalam melakukan sesuatu bagi kepentingan umum yang lebih luas daripada kepentingan sendiri.
Sesudah selesai pemilu, banyak CBO multi agama yang tidak bubar, tetapi tetap memelihara hubungan dan melakukan kegiatan bersama: sebuah benih kerjasama sudah ditaburkan.
Di Pekalongan kelompok belajar bersama multi agama ini aktif mencoba mencairkan hubungan antar agama dengan secara terbuka. Mereka secara bersama mencoba mengumpulan fakta mengenai kerusuhan massal yang pernah mereka alami. Di Salatiga kelompok belajar bersama yang memiliki akar sejarah yang lebih panjang, berkembang menjadi semacam krisis centre yang bersama-sama mengusahakan pengadaan sembako bagi masyarakat miskin.
Sarasehan Kyai dan Pendeta.
Sekitar dua tahun yang lalu atas prakarsa Deputat Keesaan Sinode GKJ, Wisma Santri Edi Mancoro dan Lembaga Percik, bertempat di pesantren Gedangan, sebuah pesantren dekat Salatiga, diselenggrakan sebuah sarasehan yang secara khusus diperuntukkan bagi para Kyai dan Pendeta. Lima belas kyai dan 15 pendeta dari berbagai daerah di Jawa tengah diundang untuk ikut dalam sarasehan tersebut. Dari setiap daerah yang diundang diupayakan agar kyai dan pendeta yang hadir memiliki jumlah yang sama. Yang menarik adalah banyak diantara para peserta yang walaupun datang dari kota yang sama namun ternyata tidak pernah bertemu dan saling kenal sebelumnya.
Dalam pertemuan yang berlangsung selama dua hari mereka diminta untuk menentukan agenda bersama, khususnya mengenai apa yang ingin mereka bicarakan selama dua hari itu.
Karena tidak ada agenda yang harus ditentukan sebelumnya, ada banyak usulan mengenai apa-apa yang penting untuk dibicarakan. Disini mulai ada keharusan untuk melakukan kompromi-kompromi. Pembicaraan awal sering kali terasa kaku, menegangkan, bahkan kadang-kadang diskusi berkembang kearah keras. Namun suasana kaku dan berjarak itu ternyata berubah secara drastis pada saat istirahat, makan bersama, atau juga pada saat mereka ngobrol menjelang tidur. Mereka, para peserta, tidur bersama di dalam ruang gereja atau di pesantren dimana pertemuan itu diadakan di lantai hanya dengan beralaskan kasur. Namun inilah saat dimana mereka mulai satu sama lain mengenal secara pribadi. Secara relax mereka mampu membicarakan isu-isu yang secara formal tidak mungkin untuk dibicarakan. Melalui proses ini kemudian mereka menjadi teman. Percik mencoba mengembangkan jaringan diantara mereka itu dengan mengundang mereka dalam berbagai kegiatan Percik. Satu diantaranya adalah dalam seri diskusi mengenai fundamentalisme.
Sewaktu tragedi bom muncul di banyak tempat, kami sangat terkejut pada saat salah seorang kyai mengundang saya dan beberapa pendeta untuk datang kepesantrennya. Ternyata di sana telah hadir beberapa kyai yang telah menyiapkan suatu pernyataan yang mengutuk kekerasan tersebut, bahkan menyebutkan bila pelaku bom itu ternyata orang Islam (karena pada saat itu belum dapat dipastikan siapa mereka), mereka minta maaf.
Dalam proses dialog juga nampak bahwa dialog dengan rekan sendiri ternyata jauh lebih alot. Beberapa peserta yang drop out baik dari peserta Islam maupun Kristen, ternyata pada umunya disebabkan karena adanya perbedaan paham dengan peserta lain yang justru seagama, khususnya menyangkut sejauhmana batas-batas toleransi dapat diberikan kepada kelompok agama lain. Dengan demikian dalam proses dialog lintas iman semacam itu, yang pada dasarnya merupakan proses berkembangnya identidas baru, didalamnya juga mengandung potensi dan stimulasi untuk munculnya fundamentalisme.
Setelah satu tahun program ini berjalan, peserta yang ikut dalam sarasehan itu telah menjadi lebih dari tiga kali lipat. Peserta-peserta baru pun datang dari berbagai latar belakang agama (Islam, Kristen, Hindu, Budha. Kong Hoe Choe, Kebatinan, Kejawen, dan Sedulur Sikep (komunitas Samin) dan dari berbagai kota lain di Jawa Tengah dan DIY. Persolan-persoalan yang dibicarakan ternyata sangat bervariasi. Beberapa isu yang umumnya dianggap sensitive seperti perkawinan antar agama, pengajaran agama di sekolah, mulai dapat dibicarakan secara terbuka. Sebagian peserta masih sangat hati-hati untuk mengambil kesepakatan bersama, namun keberanian untuk secara terbuka membicarakan persoalan-persoalan yang dulunya dianggap sensitive, pastilah merupakan suatu kemajuan besar.
Di Indonesia dibawah pemerintahan Orde Baru yang sentralistik, hegemonic dan totaliter, forum-forum dimana orang dapat mengutarakan pikirannya secara bebas hampir dapat dikatakan telah langka. Adanya forum warga lintas agama telah menggantikan fungsi yang hilang itu di tingkat local. Dalam mendorong tumbuhnya forum-forum warga tersebut pendekatan Percik mengutamakan prinsip-prinsip: mendorong partisispasi masyarakat seluas mungkin; mendorong kemampuan masyarakat sipil untuk dapat merumuskan permasalahan mereka bersama berdasarkan prinsip “permasalahan lokal sedapat mungkin dirumuskan dan di carikan pemecahannya oleh sumber-sumber lokal”; menghindari pendekatan yang bersifat monilitik; dan lebih menekankan pada proses daripada tercapainya hasil yang telah ditargetkan sebelumnya.
Program forum warga pada dasarnya merupakan program pemberdayaan civil society di tingkat local. Selama ini tiadanya civil society dan institusi-institusi demokrasi yang kuat pada tingkat local, menyebabkan bahwa berbagai bentuk intervensi dari luar terhadap kehidupan lokal berlangsung dengan gampang. Banyak kasus-kasus konflik yang sumber penyebabnya sesungguhnya berada di Jakarta, dan dengan gampang di transfer ke tingkat lokal. Hanya kalau civil society di tingkat lokal kuat, pengaruh itu dapat dicegah atau dikurangi.
Pendekatan yang bersifat monolitik sedapat mungkin dihindari, mengingat pendekatan tersebut pada dasarnya selain bertentangan dengan pluralitas, juga akan memperlemah civil society, dan dengan demikian memperkuat peran agen pusat di daerah. Sementara itu prinsip penekanan lebih kepada proses, dari pada tercapainya hasil yang ditargetkan, menuntut kesabaran dan adanya keharusan untuk selalu mengutamakan partisipasi yang setara dari sebanyak mungkin pihak dalam keseluruhan proses. Dalam pertemuan-pertemuan forum warga, selain kelompok-kelompok keagamaan setempat, juga ikut diundang pejabat pemerintahan lokal, anggota DPRD, bahkan juga orang-orang dari perguruan tinggi dan lembaga-lembaga riset.
Di beberapa daerah, antara lain misalnya di Pekalongan, forum sarasehan itu telah berkembang dengan forum-forum baru yang pesertanya tidak lagi hanya para pemimpin agama, namun juga para pemuda dan wanita. Sejauhmana perkembangan posistif ini akan mampu menghilangkan ketegangan hubungan antar agama masih harus ditunggu, karena harus diakui perkembangan positif ini bisa jadi telah ikut merangsang perkembangan kelompok fundamentalisme yang juga semakin aktif. Sejak akhir tahun yang lalu telah ada kesepakatan antara Percik dengan SOW untuk bekerjasama dalam mengembangkan forum warga lintas agama ini ( yang juga disebut forum belajar bersama). Kerjasama itu menyangkut pengambangan forum berlajar bersama di Indonesia yang pelaksanaannya ditangani oleh Percik. Forum serupa juga dikembangkan di Belanda oleh kerkinactie . Dalam dunia yang mengglobal sekarang ini, berbagai kejadian atau fenomena yang bersifat local tidak dapat dilepaskan dari berbagai kejadian yang ada di berbagai bagian dunia lainnya. Kerjasama Percik-SOW itu akan memungkinkan adanya proses belajar bersama berupa saling tukar pengalaman yang berbeda, serta sekaligus akan saling mendorong dan memperkuatkan satu sama lain.