(Kado Buat Emeritas Pdt Harno Sakino MTh)
Oleh: Pradjarta Dirdjosanyoto.
“Saya tidak pernah membayangkan kita bisa seakrab ini. Tadi malam kita gojeg seperti itu, tadi pagi juga. Kalau saya pikir sambil makan tadi, ini sesuatu yang sangat indah, kita bisa bercakap-cakap. Pak Azis[Kyai dari pesantren Sawangan, Magelang–pen] bisa diuleng uleng wong pirang-pirang Ini sesuatu yang sangat luar biasa, dan kalau ini saya ceriterakan kepada teman-teman [pendeta ] mungkin mereka tidak percaya “ .
Langkah Awal Membangun Kembali Komunikasi dan Persahabatan Lintas Iman.
Ungkapan di atas dikemukakan oleh Pendeta Efrayim Pangripto (pendeta GKJ Kabluk, Semarang,) pada sesi evaluasi dan refleksi di akhir Sarasehan Ulama dan Pendeta yang berlangsung pada tgl 27-28 Juni 2002 di pesantren Edi Mancoro, Gedangan, Tuntang. Sarasehan tersebut dihadiri oleh 35 peserta dan diselenggarakan bersama atas prakarsa Deputat Keesaan Sinode GKJ, Kyai Mahfudz Ridwan dari Pesantren Edi Mancoro, serta Lembaga Percik Salatiga. sebagai wujud keprihatinan bersama terhadap eskalasi ketegangan sosial, konflik, kerusuhan dan bahkan kekerasan bernuansa agama yang di awal tahun 2000 an marak di banyak tempat di Indonesia.
Pada awalnya oleh sebagian peserta, sarasehan di Gedangan ini ditanggapi secara skeptis. Tanggapan seperti itu tidaklah mengherankan. Banyak pertemuan dialog antar agama berlangsung secara formal atau seremonial belaka. Agenda dan jalannya pembicaraan sudah diatur dengan rinci sebelumnya. Bahkan beberapa pertemuan ’dialog’ antar agama diadakan untuk tujuan kosmetik; sekedar untuk menunjukkan bahwa seolah2 hubungan antar agama, khususnya diantara para tokohnya, “semua baik2 saja”. Sebagai sebuah drama naskah lakon sudah ditentukan sebelumnya.
Dalam hal hubungan antara agama di Indonesia, salah satu kenyataan yang harus diakui adalah bahwa hubungan antar agama semakin tergantung pada pengaturan dan prakarsa penguasa (pemerintah). Sayangnya dengan alasan untuk mengurangi kemungkinan terjadinya konflik, kebijakan pemerintah di bidang hubungan antar agama cenderung bersifat memisahkan (isolasi). Akibatnya adalah bahwa hubungan langsung antar agama yang sehat dan alami tanpa disadari terus menurun. Apalagi ruang publik bebas dimana penduduk dengan berbagai latar belakang dapat berbaur dan berinteraksi secara bebas menjadi semakin langka, tergusur oleh kepentingan politik dan bisnis yang semakin eksklusif. Sekat-sekat sosial keagamaan pun menguat seperti nampak dari munculnya fasilitas dan tempat pemukiman (seperti realestate) dengan identitas (keagamaan) yang ekslusif .
Sejak digagas, sarasehan Gedangan ingin keluar dari corak dialog yang sekedar seremonial, formal dan kosmetik. Itu sebabnya dalam undangan yang dikirimkan kepada calon peserta yaitu beberapa Ulama dan Pendata serta aktivis sosial keagamaan di Jawa Tengah dan DIY, tertulis: “ …. Dialog ini mempunyai tujuan untuk memberi kesempatan kepada para pesertanya agar dapat saling mengenal secara intens, srawung secara akrab, dan berani untuk saling bertanya tentang apapun secara terbuka. Dengan cara demikian sekat-sekat psikologis, kekakuan, dan kekawatiran dapat dicairkan. Kami menyadari bahwa sangat besar kemungkinan forum ini tidak menghasilkan apapun, …..” Jalannya sarasehan pun nyaris tanpa agenda yang dipersiapkan sebelumnya, ( kecuali sebuah tema yang terpampang di dinding berbunyi “ Menghilangkan Sakit Hati Antar Umat yang Lahir oleh Sejarah”). Tidak mengherankan bila kemudian perbincangan terkadang berlangsung sangat panas dan keras khususnya saat isu-isu seperti islamisasi, kristenisasi, ataupun hamilisasi (sebagai cara pemaksaan perpindahan agama) secara tak terhindarkan terlontar dalam perdebatan.
Namun demikian suasana panas tersebut ternyata segera mencair pada saat istirahat untuk makan, mandi dan sholat. Kesempatan untuk ngobrol sambil bergurau secara lepas hampir tanpa batas terbuka luas pada saat itu. utamanya saat menjelang tidur bersama rame-rame di lantai dengan beralaskan tikar atau kasur seadanya . Relasi yang kaku, canggung yang secara sepele sering diakibatkan oleh kehati-hatian yang muncul dari rasa ketidak tahuan tentang apa yang sebaiknya dilakukan dalam menghadapi pembicaraan dengan tokoh yang berbeda agama, sirna tenggelam dalam suasana keakraban. Moment-moment seperti itu juga membuka peluang yang baik bagi diperbincangkannya berbagai topik, dari yang sangat ringan dan remeh hingga yang sangat serius, sensitif dan berat; secara terbuka dan santai.
Dalam perjalanan waktu forum yang semula terbatas untuk Ulama dan Pendeta, berkembang menjadi forum lintas iman ( lintas agama dan golongan keagamaan). Berbagai macam kelompok keagamaan seperti Sedulur Sikep, kelompok kebatinan atau penghayat kepercayaan, Ahmadiyah, dsb pun ikut bergabung dalam jaringan ini. Keakraban, keterbukaan dan pengalaman2 lain yang mengesankan dari petemuan Gedangan dinilai oleh para pesertanya sangat berharga untuk dihidupkan dan ditularkan sebagai upaya untuk membangun kembali komunikasi dan relasi-relasi yang terbuka dan jujur diantara individu, tokoh, umat, maupun kelompok2 keagamaan yang dalam perkembangan di masyarakat dirasakan semakin terpisah2, terkotak-kotakan dan rawan bagi munculnya bebagai ketegangan sosial dan konflik.
“Sobat” yang artinya persahabatan sejati dan akrab dirasakan sangat cocok dengan pendekatan dan semangat yang mendasari gerakan yang semula dinami dengan Farum Sarasehan Ulama dan Pendeta. Itu sebabnya setelah beberapa kali berganti nama, pada akhirnya nama Sobat yang dilestarikan. Pendekatan sobat dirasakan sangat bermanfaan dalam memperbaiki kekurang pahaman atau cara pemahaman yang salah terhadap agama atau ‘orang lain’ yang acapkali diwarnai oleh sikap buruk sangka yang muncul dari sudut pandang dan kepentingan internal ‘lingkungan sendiri’ semata.
Sobat: Jaringan Lokal Multi Guna
Dalam kurun waktu 10 tahun sejak petemuan Gedangan, gerakan Sobat telah melahirkan sekitar 30 simpul di Jawa Tenganh dan DIY. Simpul pada dasarnya merupakan jaringan lintas iman lokal yang terbentuk secara sukarela. Dalam jaringan tersebut bergabung beberapa individu yang umumnya adalah para tokoh dan aktifis lintas iman dan lintas golongan setempat. Para anggota jaringan ini bisa berbeda2 diantara satu simpul dengan simpul lainnya tergantung dari konteks lokal masing2 tempat. Pertemuan Sobat pada umumnya diselenggarakan secara bergantian dengan tempat yang berpinda-pindah. Tema2 sarasehan sangat bervariasi dan dipilih bedasar isu ataupun kebutuhan mutkhir yang sedang dihadapi oleh masyarakat setempat. Walau demikian isu-isu regional dan nasional dapat menjadi pilihan topik untuk perbincangkan dengan menghadirkan beberapa nara sumber baik dari dalam maupun luar lingkungan Sobat sendiri.
Perlu dikemukakan bahwa belajar bersama melalui sharing pengalaman di masing2 simpul merupakan acara yang selalu diselenggarakan dalam setiap pertemuan simpul. Disadari bahwa belajar dari keberhasilan maupun kegagalan dari simpul lain merupakan cara yang paling efektif untuk menarik pelajaran dari pengalaman empirk orang lain, sambil sekaligus menghormati kebersamaan dan kesetaraan. Sementara itu secara pelahan jaringan sobat telah berkembang menjadi jaringan multi guna khususnya dalam berbagai upaya untuk mengatasi permasalahan2 lokal denganmemakai sumber2 lokal yang tersedia. Persoalan2 seperti pendirian tempat ibadah, mengatasi bencana alam, mengembangkan pengamanan bersama dalam menghadapi kerusuhan dan kekerasan, melestarikan lingkungan hidup yang baik, dsb jaringan Sobat ikut membantu dalam mencari jalan keluar. Dengan demikian jaringan Sobat telah berkembang menjadi jaringan lokal multiguna.
Sekedar beberapa contah, beberapa hari setelah kerusuhan Temanggung meledak, dilaksanakanlah diskusi bersama diantara para pegiat Sobat untuk mencari cara guna mencegah agar kerusuhan yang bernuansa agama itu tidak merembet ketempat lain. Salah satunya adalah dengan menyelenggarakan pertemuan Sobat di Wonosobo, dimana bupati diundang beserta berbagai kelompok dan organisasi keagamaan setempat. Perlu dicatat bahwa dalam pertemuan di Wonosobo ini telah hadir pula para pengikut Ahmadiyah dan islam Aboge setempat. Menhadapi beberpa kali ancaman teror di Klaten dan sekitarnya, jaringan Sobat belerjasama dengan aparat kepolisian melakukan koordinasi dalam mejaga keamanan dan mencipkan ketenteraman. Pada saat bencana Merapi terjadi, jaringan Sobat, khususnya yang memiliki tempat yang tidak jauh dari Bencana ikut dalam upay memberikan bantuan kepada para penyitas. Di Gubug simpul lokal Sobat bersama para petani mengembangkan tanaman padi organik dan memasarkan beras hasilnya melalui jaringan Sobat dengan nama SOLIHI (Sobat Lingkungan Hidup). Bekerjasama dengan beberapa sekolah dan gereja di Australia melalui program UTF (Uniting Through Faith ) Sobat terlibat dalam program pertukaran kunjungan sebagai bentuk kerjasama untuk mengembangan pendidikan multikulturalisme. Masih banyak contoh2 lain yang dapat ditambahkan untuk menunjukkan bahwa Sobat telah mendorong terciptanya Jaringan Lokal Multi Guna.
Dalam perjalanan waktu, tanpa disadari, melalui persahabatan dan pergaulan yang semakin intens telah tumbuh beberapa nilai, norma dan ‘tradisi’ yang menjadi komitmen bersama sesama pegiat Sobat. Sebagian dari nilai2 itu diambil dari kearifan lokal warga Sobat.. Nilai seperti ‘Sinten Remen’ yang yang mengandung prinsip kebebasan dan keikhlasan misalnya, diadopsi dari nilai yang dianut oleh komunitas Sedulur Sikep. Nilai2 lain seperti menghargai perbedaan, keterbukaan serta menjunjung tinggi keberbagaian, berkembang menjadi etika pergauluan lintas iman antar sesama pegiat Sobat.
Tentu saja perkembangan Sobat tidaklah berlangsung tanpa kegagalan dan hambatan. Di beberapa kasus Sobat gagal dalam ikut menjembatani konflik2 laten yang ada di masyarakat setempat sehingga jaringan sobat tidak dapat tumbuh dengan baik. Namun dipihak yang lain gerakan Sobat telah pula menginisasi dan menginspirasi tumbuhnya beberapa kegiatan lintas iman seperti Kata Hawa (kegiatan lintas iman khusus untuk kaum perempuan), Sobat Muda (kegiatan lintas iman untuk remaja), Sobat Anak, Sobat Lingkungan Hidup, dsb. Sesuai dengan namanya masing2 program tersebut memfokuskan kegiatan mereka dalam kegiatan2 yang bersifat katagorikal.
Apresiasi untuk pdt. Harno Sakino.
Dalam daftar hadir peserta sarasehan Ulama dan Pendeta di Gegangan th 2002 nama Pdt Harno Sakino tidak ada, karena memang dia tidak ikut hadir disana. Tidak dapat diketahui secara pasti mengapa ketidak hadiran itu. Namun sesungguhnya perhatian Pak Harno terhadap soal2 hubungan antar agama sudah mulai beberapa tahun2 sebelumnya. Bersama-sama dengan Pdt Indrianto pak Harno ikut dalam Forum Kebersamaan Umat Beragama (lebih dikenal sebagai FKUB plat hitam) di Klaten. Pada tahun 1999 untuk kepentingan penulisan Tesis S2 nya tentang peran simbol-simbol keagamaan dalam konflik agama, pak Harno melakukan penelitan di kecamatan Ganti Warno. Penelitain ini selain memberi pendalaman bagi pemahamannya terhadap persoalan hubungan antar agama di tingkat lokal, juga memberi kesempatan untuk berkenalan secara pribadi dengan para tokoh agama, tokoh politik dan birokrat setempat yang menjadi informan kunci bagi penelitiannya. Itu sebabnya pada saat muncul perkelahian yang bermula dari arena pertandingan Voley di Ganti Warno, pak Harno ikut berperan secara non formal dalam mencari penyelesaian secara kekeluargaan. Pada tahun 2007 sifat pembawaannya yang tenang, bijaksana dan kebapaan, serta keaktifanya dalam soal2 hubungan antar agama di Klaten ini membawanya menjadi anggota Forum Kerukunan Umat Beragama di Klaten (lebih dikenal sebagai FKUB kerukunan atau FKUB plat merah) dengan kedudukan sebagai Sekretaris bidang rekomendasi.
Kedekatan pak Harno dengan lingkungan Muslim ditunjukkan oleh ungkapan spontan dari gus Jazuly, seorang kyai dan tokoh muda NU yang mengatakan bahwa Pak Harno adalah wakil atau utusan NU di lingkungan gereja. Menurut gus Jaz dimata para aktivis muda lintas agama di Klaten, pak Harno sangat dihormati sebagai salah satu sosok kebapaan yang bijaksana yang sering dimintai nasehat tentang berbagai persoalan lintas iman di Klaten yang secara politis bersumbu pendek.
Di lingkungan Sobat, kedudukannya beberapa kali di Deputat Keesaan Sinode GKJ, menjadikan Pak Harno acap kali diminta untuk duduk sebagai wakil GKJ dalam Tim Pemrakarsa, sebuah tim yang dibentuk sebagai ‘dewan penasehat’ Sobat. Dengan dukawal oleh sang istri, Pak Harno hadir dalam berbagai pertemuan tim pemrakarsa di rumah Kyai Mahfudz Ridwan, sekalipun sesungguhnya dia telah tidak lagi duduk dalam Deputat Keesaan Sinode GKJ. Beberapa pertemuan simpul diikutinya, sekalipun pertemuan tersebut dilaksanakan di tempat yang jauh di pelosok desa pegunungan.
Pada tahun 2006 bersama beberapa pendeta dan kyai ( diantaranya adalah kyai Azis Amsuri dari pesantren Sawangan, kyai Marzuki Kurdi, pdt Nani Minarni dan Pdt Dian Sunu Prakosa), beserta dengan beberapa staf Percik (Singgih Nugroho; Agung Waskitoadi dan Haryani Saptaningtyas) pak Harno ke Belanda untuk mengunjungi Sohbet, program lintas iman di Negeri Belanda untuk mempertemukan imam2 masjid Turki dengan beberapa gereja lokal di Negeri Belanda.
Keinginan Pdt Harno untuk mengembangkan kader2 muda lintas iman di lingkungan gereja nampak dari semangat dan dukungannya dalam mendorong para pendeta muda ikut bersobat ria.
Harapan Lanjut:
Emiritas bagi pak Harno mudah2an hanya akan berarti perubahan status kepegawaian di lingkungan organisasi kegerejaan . Kita semua berharap bahwa dari segi waktu, perhatian, tenaga dan pemikiran, sumbangan pak Harno dalam membangun jembatan persobatan lintas iman untuk kemanusiaan justru akansemakin meningkat. Semoga.
One thought on “Perjalanan Bersama Membangun Persahabatan Lintas Iman “Sobat””
Comments are closed.